Fenomena Gen Z di Dunia Kerja: Ketika ‘Soft Skill’ Dianggap Lebih Utama

Fenomena Gen Z di Dunia Kerja: Ketika ‘Soft Skill’ Dianggap Lebih Utama

Fenomena Gen Z di Dunia Kerja: Ketika 'Soft Skill' Dianggap Lebih Utama
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Bagaimana cara mengukur kemampuan komunikasi seseorang hanya dari CV atau profil LinkedIn-nya? Apakah soft skills yang diutamakan itu benar-benar dimiliki, atau hanya jargon untuk mempermanis profil?

Jika ditanya, “apa yang penting buat sukses di dunia kerja?”, mungkin jawaban yang akan muncul adalah memiliki skill teknis yang mumpuni, kerja lebih keras lagi, atau paling mentok, ya, deket sama atasan.

Namun, seiring berjalannya waktu, jargon baru tiba-tiba muncul: soft skill. Ngobrolnya lancar, kerja sama tim oke, negosiasi jago—semua itu sekarang mendadak jadi ‘mata uang’ baru di dunia kerja.

Dan kalian bisa tebak siapa yang mempopulerkan istilah tersebut. Yup, Gen Z.

Gen Z, generasi yang baru merambah pasar kerja belakangan ini merasa bahwa tanpa soft skills, mendapat kerja atau bertahan ditempat kerja akan terasa sulit.

Apalagi kalau skill teknisnya masih pas-pasan, mau tidak mau mereka harus survive dengan mengandalkan soft skills yang mereka miliki untuk menutupi hard skills yang kurang mereka kuasai.

Hal ini telah membawa perubahan besar dalam cara kita memandang keterampilan kerja. Aspek-aspek soft skills seperti komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas jadi lebih ditekankan ketimbang hard skills yang lebih teknis.

Pertanyaannya, apakah benar soft skills sekarang lebih penting daripada hard skills? Atau ini cuma mitos yang diembuskan para pelatih pengembangan diri?

Baca Juga: Memahami Populisme dalam Dunia Kerja: Bagaimana Caranya Agar Tidak Jadi Budak Korporat

Soft Skill vs Hard Skill: Kenapa Gen Z Lebih Menekankan yang Pertama?

Fenomena ini jelas menarik perhatian. Di berbagai seminar kerja atau pelatihan, kita sering mendengar betapa soft skills seperti critical thinking, komunikasi, dan manajemen emosi dianggap esensial.

Terlebih, gen Z tumbuh di era digital, di mana akses ke pengetahuan teknis bisa dilakukan hanya dengan beberapa klik saja. Ketika Google sudah tahu segalanya, hard skills seperti dianggap bisa dipelajari kapan saja.

Menurut penelitian dari LinkedIn, 92% perekrut sepakat bahwa soft skills sama pentingnya, bahkan lebih penting, daripada hard skills. Di dunia kerja yang semakin dinamis, kemampuan berkolaborasi, menyelesaikan masalah secara kreatif, dan beradaptasi dengan cepat menjadi sangat krusial.

Namun, jika kita tarik benang merahnya, alasan utama dari fenomena ini sebenarnya sederhana saja: teknologi. Kita hidup di era di mana pekerjaan teknis sudah banyak diambil alih oleh sistem atau mesin. Misalnya, akuntansi yang dulu dikerjakan manual sekarang bisa diselesaikan dengan software canggih seperti QuickBooks atau Xero.

Sedangkan keterampilan seperti menjalin hubungan dengan klien, berkomunikasi secara efektif di tengah rapat, atau memotivasi tim untuk tetap produktif, adalah hal yang tidak bisa—atau belum—dikuasai oleh mesin.

Sebagai contoh, di sebuah perusahaan teknologi di Jakarta, ada seorang programmer bernama Budi. Meski kemampuan coding-nya di atas rata-rata, ia kesulitan mempertahankan pekerjaannya karena sering konflik dengan rekan kerja.

Di sisi lain, Tika, seorang manajer proyek dengan pengetahuan teknis yang pas-pasan, sukses mempertahankan posisinya karena keahliannya dalam bernegosiasi dan menyelesaikan konflik di dalam tim.

Bahkan, sekarang bila kita perhatikan secara seksama, banyak HRD dari berbagai perusahaan beralih ke wawancara berbasis perilaku (behavioral interview), di mana kandidat diminta menceritakan pengalaman mereka dalam menghadapi situasi tertentu.

Tujuannya jelas: menilai soft skill mereka, seperti ketahanan emosional, cara menyelesaikan masalah, dan kecakapan berkomunikasi.

Jadi, meski kandidat memiliki CV yang “gemerlap”, kalau tidak bisa membuktikan bahwa mereka bisa bekerja sama dengan baik di bawah tekanan, peluang mereka sering kali tergerus.

Fenomena Overclaim Soft Skills di Kalangan Gen Z

Sekarang, mari kita bicara tentang sisi lain dari koin ini: kecenderungan beberapa anggota Gen Z yang “menjual” soft skills mereka secara berlebihan.

Saya sendiri pernah melihat seseorang di LinkedIn yang mengklaim bahwa ia “memiliki kecerdasan emosional tingkat tinggi” atau “mampu beradaptasi dengan perubahan global dengan cepat” dan lain sebagainya.

Ini bukan sekadar flexing, tapi sebuah tren yang mengarah pada overclaim. Pasalnya, banyak dari klaim ini yang sulit untuk diverifikasi.

Bagaimana cara mengukur kemampuan komunikasi seseorang hanya dari CV atau profil LinkedIn-nya? Apakah soft skills yang diutamakan itu benar-benar dimiliki, atau hanya jargon untuk mempermanis profil?

Tak jarang, saat masuk ke dunia kerja, ditemukan ada jarak antara apa yang diiklankan dengan kenyataan di lapangan. Akhirnya, masuk kerja cuma jadi target omelan bos dan bahan suruh senior. Terus ngadu ke medsos dengan dalih tempat kerja toxic. Hadeuhh!

Jangan Lupakan Hard Skill!

Meski soft skills semakin dianggap penting, bukan berarti hard skills bisa dilupakan begitu saja. Beberapa pekerjaan masih membutuhkan keahlian teknis yang mendalam, seperti di bidang teknologi, kedokteran, dan teknik.

Bahkan di pekerjaan yang membutuhkan kreativitas sekalipun, hard skills tetap menjadi fondasi. Seorang desainer grafis, misalnya, perlu menguasai alat desain seperti Adobe Illustrator atau Figma sebelum ia bisa membuat karya yang luar biasa.

Tim Cook, CEO Apple, pernah mengatakan bahwa perusahaan teknologi tidak hanya mencari orang-orang yang pintar secara teknis, tetapi juga yang bisa berpikir kritis dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik.

Meski Apple mempekerjakan ribuan insinyur perangkat lunak, mereka juga membutuhkan orang-orang yang bisa menjembatani antara teknologi dan pengguna—dan di sinilah soft skills menjadi sangat krusial.

Jika dianalogikan, peran hard skills seperti sebuah tiket masuk bioskop. Tanpa tiket masuk, kita tidak bisa masuk ke gedung bioskop, tapi tanpa kemampuan komunikasi yang baik, film yang kamu tonton mungkin tidak akan kamu pahami sepenuhnya.

Jadi, apakah soft skills lebih penting daripada hard skills di dunia kerja saat ini? Jawaban yang paling bijak adalah: tidak ada yang lebih penting.

Antara soft dan hard skills itu saling melengkapi. Di satu sisi, soft skills memungkinkan seseorang untuk menjadi lebih fleksibel, adaptif, dan kolaboratif di lingkungan kerja yang terus berubah. Di sisi lain, hard skills tetap menjadi dasar yang kuat untuk memahami konteks pekerjaan secara lebih teknis.

Gen Z harus memahami bahwa meskipun mereka memiliki kemampuan komunikasi dan kreativitas yang unggul, keahlian teknis tetaplah penting. Dunia kerja masa depan membutuhkan individu yang mampu menggabungkan kedua jenis keterampilan ini dengan seimbang.

Sebagaimana pepatah lama mengatakan, “Orang yang serba bisa selalu lebih berharga daripada orang yang hanya ahli dalam satu hal.”

Meskipun kita bisa menjadi pemecah masalah yang hebat, tanpa kemampuan teknis untuk mengeksekusi solusi tersebut, ide kita hanya akan berakhir di meja rapat—atau lebih buruk lagi, dalam obrolan grup WhatsApp.

Bagi saya, soft skills dan hard skills itu bak kopi dan gula. Terpisah rasanya berbeda, tapi ketika menyatu barulah kenikmatan yang sebenarnya terasa. Jadi, siapkah kamu menyeduh keduanya dalam cangkir kehidupan wahai para gen Z?

Penulis

Ari Rusli

Gen Z yang merangkap sebagai generasi sandwich. Pekerja digital yang suka nulis, baca, dan ngobrol. Sok idelis.
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel