Saya lahir dan besar dipinggiran jalan. Rumah saya terletak persis dipinggiran jalan pantura. Jalan besar yang membentang sepanjang pesisir pantai utara. Biasa dilalui hilir mudik moda transportasi baik besar maupun kecil. Bisa dikatakan jalan yang melintas depan rumah adalah akses utama (sebelum ada tol Cipali) laju roda perekonomian nasional.
Aktivitas mobil-mobil besar seperti truk dan tronton menandakan pengiriman barang melalui jalur darat dengan skala besar. Sedangkan bus-bus mengangkut penumpang baik jarak antar kota hingga provinsi. Saya rasa dua kendaraan besar tersebut adalah kendaraan yang merajai jalur lintas utara ini.
Jika saya hitung, tingkat kecelakaan yang disebabkan oleh kedua kendaraan ini paling banyak terjadi. Dan korbannya jelas kendaraan roda dua yang ugal-ugalan, ceroboh, dan lengah ketika malaikat Izroil tiba-tiba saja datang dan membonceng di jok belakang. Sepanjang pengalaman yang saya rasakan sih gitu, banyak korban kecelakaan yang langsung mati ditempat. Merasa korbannya mati, yang nabrak langsung ngacir. Ngerinya melebihi korban tabrak kawin lari ditikung teman, hiii.. horor banget yak.
Hidup dipinggiran jalan besar bagi Anda yang belum terbiasa, jelas akan merasa sangat terganggu. Pagi, siang, sore, hingga malam mobil tak pernah berhenti menderu. Yaps, sangat bising tentunya. Bising bikin pusing, pusing buat tidur tak nyeyak, ditambah terbayang-bayang malaikat Izroil.
Selain itu, hidup dipinggiran jalan itu capek. Bayangkan saja jika setiap hari rumah Anda selalu diselimuti debu jalanan yang berterbangan tertiup roda yang melaju kencang menyapu tanah. Jadi kiranya saya mah cuma dapat kebul debunya doang, duitnya mah boro-boro. Dan lebih menderitanya, hampir setiap hari saya harus bersih-bersih. Menyapu, mengepel, dan mengelap rumah yang tidak saya kotori sendiri. Sesak bukan?
Untung saja hati ini masih utuh walau sudah digilas roda-roda asmara dan ditikung teman. Ah sudahlah, toh hati ini tidak menjadi butiran debu. Itu hanya sisi lain kisah yang ingin saya curhatkan. Pantura sarat cerita. Deru transportasi itu tidak hanya membawa arus ekonomi, tapi jjuga kisah kehidupan. Ya, deru laju transportasi angkutan berat ditengah hiruk pikuk jalanan pantai utara.
Singkat cerita, di tempat saya bernaung ini banyak menjamur kawasan-kawasan industri dengan segala macam pabrik didalamnya. Wilayah-wilayah ini sebut saja Jabodetabek dan sekitarnya. Salah satunya kota kelahiran saya tercinta yang dulu lebih dikenal sebagai kota lumbung padi, sekarang lebih dikenal sebagai lumbung baut dan mur.
Terang saja begitu, sebab alih fungsi lahan pertanian terganti oleh baja-baja yang ditanam kedalam tanah. Hal itu menandakan gairah ekonomi di sektor industri melaju dengan cepat seiring deru mesin dan hasrat para pemilik modal. Maka, angkutan berat seperti truk dan tronton adalah moda transportasi darat dengan tujuan distribusi barang bernilai ekonomis ke wilayah-wilayah yang menjadi target pasar. Sederhananya, tuntutan pasar membuat roda ekonomi berputar searah mengikuti perilaku konsumen.
Jika sudah begitu, industri butuh roda-roda transportasi untuk memenuhi hasrat konsumen. Imbasnya, pekerja seperti sopir truk mati-matian harus kerja keras banting tulang demi memuaskan hasrat pemilik modal yang menderu-deru. Lantas bagaimana dengan hasrat para sopir yang terpaksa meniggalkan sang istri, pacar,atau peliharaan kimcilnya? Tentu saja jajan di jalan.
Ngomong-ngomong soal menderu-deru yang seru dan terdengar lebih nikmat, kebanyakan sopir jajan di warung pinggiran jalan. Wajib anda ketahui, disepanjang jalan pantura, Anda akan menemukan berbagai macam jenis warung. Mulai dari warung kelontong, warung tape, hingga warung makan penyedia ‘daging mentah’. Bagi para sopir truk menu ‘daging mentah’ menjadi menu favorit untuk menambah energi.
Menu ini sangat digandrungi para sopir yang mayoritas berkelamin lontong. Pekerjaan memaksa mereka bertarung paruh waktu untuk tetap bisa menyambung hidup. Akhirnya, resiko pekerjaan ini menjadi hambatan bagi para sopir pria yang tidak ingin lontongnya basi. Walau sebenarnya tidak semua sopir truk suka ‘daging mentah’.
Deru desah itu menjadi kelu kesah tersendiri bagi para sopir truk yang jauh dari orang-orang tersayang, atau bujangan jomblo seperti (Coli)rul -salah satu penulis Sediksi- untuk sekedar pelepas dahaga disaat nafsu pemilik modal menderu-deru. Maklum saya katakan karena seks adalah kebutuhan dasar manusia (jare Maslow sih ngunu).
Jika dilihat dari kacamata ekonomi, hal ini sah-sah saja, “lu jual, gua beli”. Akan tetapi, hal itu masih menjadi kemelut dalam masyarakat kita. Pasalnya, harga daging mentah terlampau mahal dan mengandung kadar air akibat gelonggongan. Setidaknya saat daging mentah menjadi kemelut dalam negeri, para sopir truk mampu menunjukan performa yang luar biasa. Bekerja hingga larut, bertaruh dengan resiko nyawa, malamnya jajan dan masih kuat. Bandingkan saja dengan kinerja anggota legislatif yang rapatnya sambil tidur, resiko nyawa minim, eh, suka jajan tapi bentaran nge-crit duluan. Kuatan mana hayo?
Lagipula kalau dipikir-pikir lagi, kalau cuma main pakai sabun, bakal banyak pabrik gulung tikar karena para supirnya lemas tak bergairah (capek duluan karena tangan pegal-pegal). Bahkan akan ada banyak mafia-mafia macam Don Jon yang suka nyabun sampai lecet. Terkahir, menurut Orang Sunda kenikmatan itu “Beuteung seubeuh, kanjut baseuh” (Perut kenyang, *titit basah). Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan.