Saya akan membagikan tips untuk Anda. Siapa tahu bermanfaat. Kalaupun dirasa lebih banyak mudharatnya, abaikan saja.
Tips ini berdasarkan kisah nyata saya. Mungkin beberapa di antara Anda, ada yang belum tentu mempercayai kisah saya ini. Layaknya sebuah film atau buku motivasi yang memasang embel-embel ‘berdasarkan kisah nyata’, saya sengaja pasang kalimat itu untuk menarik perhatian Anda. Bukankah Anda, para pembaca di Indonesia, suka kisah-kisah (nyata atau tidak) untuk memotivasi dan menginspirasi hidup Anda yang sebenarnya baik-baik saja?
Anda lebih suka dimotivasi, bukan diajak berdiskusi, iya kan? Saya tidak heran bila Anda lebih suka diceramahi. Jadi, kali ini saya akan berkhotbah pada Anda. Ini tips untuk Anda. Tak banyak, cukup satu saja. Catat, satu saja.
“Saat sedang berkumpul dan ngobrol, hindari topik pembicaraan tentang agama”
Ngerumpi dimana saja, baik itu di kafe, warteg, ruang kelas, emperan toko, grup whatsapp, kolom komentar status facebook, kolong jembatan, antrian WC umum, antrian pembagian sembako atau tempat lain yang sekiranya berpotensi memunculkan ruang obrolan.
Kenapa? Karena topik agama, saat ini, telah jadi topik paling sensitif melebihi pipi bayi baru lahir yang mudah alergi. Ketika Anda mendiskusikan topik agama, Anda lebih cenderung ingin disetujui, bukan disangkal. Anda hanya ingin mendengarkan hal-hal yang sekiranya menguatkan argumen Anda dan mengabaikan bahkan menafikan argumen yang berlawanan.
Saya kira, saya tidak salah untuk beropini seperti itu.
Argumen itu saya sarikan dari hasil pengalaman pribadi. Suatu ketika di Bulan Desember, saya dan tiga orang kawan semasa SMA berkumpul di sebuah tempat makan di sekitar Jalan Soekarno Hatta Malang. Untuk menghargai privasi kawan SMA saya ini, saya akan menyebut nama mereka dengan inisial saja, yaitu S, B dan C.
Kawan SMA. Mohon diingat hal tersebut. Apa yang Anda rumpikan saat Anda bertemu dengan kawan SMA yang terpisah setelah sekian lama tak pernah bersua? Tentunya cerita-cerita masa SMA atau kehidupan teman SMA lainnya yang sedang tidak hadir di pertemuan itu.
Tentang si U yang baru saja menikah dan sedang berbulan madu, misalnya. Atau tentang si E yang anaknya sudah berumur lebih dari satu tahun. Atau mungkin tentang si A yang dulu pendiam, namun sekarang karirnya moncer sebagai dokter hewan. Atau tentang si W yang baru saja naik jabatan di bank. Intinya ngomongin orang lain yang sama-sama kami kenal atau membicarakan hal-hal yang sama-sama kami tahu.
Kenapa topik kami selalu condong kesitu? Karena akan sangat canggung kami membicarakan orang yang salah satu dari kami tidak kenal. Misal si C dan si S membicarakan tentang orang yang saya dan si B tidak kami kenal. Jelas, obrolan akan menjadi tidak asyik. Satu atau dua orang tidak akan berpartisipasi dalam perbincangan karena ia tidak kenal atau tidak paham pada topiknya. Kami bisa saja berbicara tentang pekerjaan kami masing-masing (ehm, saya belum bekerja dan belum lulus kuliah), menanyakan bagaimana pekerjaan si S atau bagaimana bisnis si B. Tapi tentunya tidak akan seasyik membicarakan teman lainnya yang sama-sama kami kenal, bukan? Akuilah, bahwa masing-masing dari Anda lebih suka membicarakan teman yang sedang tidak ada di tempat.
Ketika saya, si B dan si C sedang asyik membicarakan si H, si S menjadi jengah dengan topik dan itu tergambar jelas di raut mukanya. Apa pasal? Ia bosan membicarakan teman lainnya yang sedang tidak berada di situ dan merasa berdosa. “Kita berdosa karena sedang ngomongin si H. Dia akan masuk surga, karena kita terus-terusan membicarakannya!”, begitu kata si S dalam bahasa daerah saat itu.
“Baguslah, dia masuk surga karena kita omongin,” potong saya.
“Iya, tapi kita yang berdosa”, jawab si S.
Di kepala saya, tiba-tiba terbayang John Constantine di film Constantine (2005). Di akhir film, John Constantine berkorban, dengan cara bunuh diri (dosa terburuk), masuk neraka agar Isabel Dodson keluar dari neraka. Dalam hati saya bertanya, “Maukah saya masuk neraka agar teman saya masuk surga?”
“Pokoknya, kita ganti topik sajalah”, potong si S, “Kita diskusi, tukar pikiran tentang aksi 411 dan 212 saja. Atau tentang bagaimana seorang yang beragama bertindak.”
Saya menurutinya. Maka kami berdua, mengabaikan si B dan si C, berdiskusi tentang aksi itu dan berargumen dengan pemahaman masing-masing. Tentunya, tidak lupa menyitir ayat-ayat atau argumen tokoh agama atau tokoh intelektual. Dan yang terjadi adalah debat kusir yang tidak berujung pada konklusi dan lebih mengutamakan emosi.
Bagi si S, ada beberapa hal prinsipil yang tidak bisa diusik dan tidak perlu ditanyakan kebenerannya. Masalahnya adalah hal prinsipil bagi si S, bagi saya masih bisa diragukan kebenarannya. Singkat kata, sudut pemahaman kami tentang agama kami sendiri ternyata berbeda, walaupun di kolom KTP kami, agama kami sama. Maka kami menutup obrolan dengan ketidaksepakatan. Sepakat untuk tidak sepakat. Dengan suasana yang tidak nyaman tentunya.
Itulah. Diskusi satu agama dengan cara langsung bertatap muka saja, tidak bisa mencapai konklusi yang mencerahkan. Bagaimana dengan diskusi sesama agama di dunia maya? Bagaimana dengan diskusi lintas agama di dunia maya? Pernahkah Anda menemui sebuah forum diskusi agama di dunia maya yang berujung pada konklusi? Bukan konklusi yang dihasilkan, yang terjadi justru putusnya tali pertemanan. Caci maki dan saling menyalahkan. Unfriend, blok, unfollow, report dan bahkan mengafirkan satu sama lain.
Maka, kalau Anda ingin pertemanan Anda dengan kawan-kawan Anda langgeng selama-lamanya, hindarilah perbincangan bertopik agama. Cari topik lain, entah itu film, buku, fashion, sandal presiden, om telolet om, bulu kucing, baut motor, gelas pecah, rumput stadion atau apa saja. Dan ingat, jangan kait-kaitkan dengan agama. Masyarakat Indonesia, walaupun banyak yang sudah sarjana, masih belum semuanya bisa bertoleransi di dunia nyata, apalagi di dunia maya.
Saya sekuler yak? Duh, alamat dicap kafir nih.
NB: Beberapa gagasan maupun argumen yang saya lontarkan di tulisan ini bukanlah murni gagasan atau argumen saya pribadi. Saya membacanya di buku-buku dan tulisan tertentu, tapi sengaja tidak saya cantumkan nama penulis atau penggagas awalnya. Saya lakukan itu untuk menghindari kesan serius. Ingat, ini portal opini santai, bukan jurnal ilmiah.
Semisal Anda meminta saya menunjukkan teori-teori yang menjadi dasar argumen saya, saya tidak berkeberatan menunjukkan atau mendiskusikannya. Sila datang ke Omah Diksi untuk berdiskusi sambil icip-icip kopi disana. Kita ciptakan forum diskusi yang meriah, dengan kopi yang murah, pelayanan ramah dan pilih topik diskusi apa saja, terserah. Kali saja setelah diskusi, gagasan kita bisa diterima redaksi Sediksi juga.