Ironi KPU di Balik Gugurnya Anggota KPPS

Ironi KPU di Balik Gugurnya Anggota KPPS

Ironi KPU di Balik Gugurnya Anggota KPPS
Ilustrasi oleh Arkandy Velkan Gisaldy

Saya turut berduka cita atas anggota KPPS yang telah gugur. Semoga amal ibadahnya diterima dan semoga KPU segera bangun supaya pemilu tidak menjadi budaya pengancam nyawa 5 tahunan. 

Seandainya ada pertanyaan tentang hal apa yang paling saya benci dari pemilu, maka terus terang, saya akan menjawab dengan lantang: Ironi KPU terhadap anggota KPPS. 

Rasanya, saya tidak perlu menjelaskan banyak-banyak soal itu. Dikutip dari Tempo, pada pemilu 2019, ada sekitar 894 anggota KPPS yang gugur. Kelelahan menjadi faktor utama para abdi negara itu menutup mata.

Sialnya, di pemilu 2024, kejadian memilukan ini kembali berulang. Per 23 Februari kemarin, Kompas melaporkan bahwa sudah ada 94 anggota KPPS yang gugur di pemilu 2024.

Melihat kenyataan itu, sangat wajar kalau saya mengatakan KPU tampak ironi terhadap anggota KPPS. Kepribadian KPU seolah-olah seperti alter ego; satu sebagai penyelenggara pemilu dan satunya sebagai pencipta budaya pengancam nyawa 5 tahunan.

Saya sendiri merupakan anggota KPPS tahun 2024 yang masih hidup di tengah-tengah kondisi tim KPPS saya yang bisa dikatakan bekerja di luar kebiasaan.

Jika biasanya petugas KPPS saat hari H bertugas selama 24 jam atau kurang dari itu, tim KPPS saya bekerja lebih dari 24 jam. Kerjaan kami baru selesai pada pukul 10:00 WIB di tanggal 15 Februari 2024.

Dari sini, saya jadi paham betul betapa banyaknya kekurangan KPU di balik gugurnya anggota KPPS di tahun 2019 dan 2024. 

Baca Juga: Aksi Setengah Hati Penanaman Pohon Serentak ala KPU

Tidak Adanya Keseriusan dalam Menyeleksi Calon Anggota KPPS

Saya pikir, meskipun hanya anggota KPPS, profesi ini tetap tak boleh dianggap remeh. Tugas-tugas yang dikerjakan serta waktu dan tenaga yang harus dikorbankan jelas bukan sembarang tanggung jawab yang bisa diemban oleh semua orang.

Nah, sialnya, seleksi penerimaan calon anggota KPPS ini (sepengalaman saya) prosesnya tak begitu serius. Seolah-olah, KPU lewat SIAKBA (Sistem Informasi Anggota KPU dan Badan Ad Hoc) memperbolehkan semua orang mencalonkan diri menjadi anggota KPPS asalkan orang itu mampu menyetor berkas-berkas persyaratan anggota.

Mengingat fakta banyaknya anggota KPPS 2019 dan 2024 yang meninggal karena kelelahan, maka harusnya ada semacam kriteria yang perlu diperhatikan untuk menyeleksi calon anggota.

Minimal, usia dan kondisi kesehatan perlu lebih dipertimbangkan dalam proses penyeleksian. Dalam hal ini, KPU sebenarnya sudah memberi syarat semacam itu. Namun, pihak rekrutmennya lah yang meremehkan persyaratan tersebut.

Beberapa anggota KPPS di daerah saya pun ada yang secara usia tidak memenuhi persyaratan KPPS. Usia mereka melebihi 55 tahun.

Kalau perkara surat keterangan sehat, saya tak berani memastikan kecacatannya. Yang jelas, dengan adanya data dari Kompas yang menyebutkan bahwa 15% anggota KPPS 2024 yang meninggal berusia di atas 55 tahun, SIAKBA perlu dimaksimalkan lagi untuk menyaring calon anggota KPPS.

Sebab, hal itu saya pikir juga menjadi salah satu faktor pendukung untuk melindungi nyawa calon anggota KPPS.

Perlunya Keseriusan dalam Penunjukkan Ketua KPPS

Tak hanya perihal anggotanya. Penunjukkan seseorang jadi ketua KPPS pun memerlukan keseriusan. Selain pengalaman, saya pikir seorang ketua KPPS setidaknya harus punya ketegasan dan kompetensi. Apalagi, kalau mayoritas anggotanya baru kali pertama menjadi petugas KPPS. 

Lalu, apakah ada ketua KPPS yang ditunjuk secara tidak serius? Jawabannya, ada, meskipun tidak semuanya. Di beberapa tim KPPS teman saya serta di tim KPPS saya sendiri, cara penunjukkan seorang ketua itu benar-benar ngawur. 

KPU pusat pun tak memberikan prosedurnya. Fakta yang saya temui di lapangan ada dua versi. Ada yang ditunjuk langsung oleh PPS (Panitia Pemungutan Suara), ada pula yang ditunjuk oleh anggota tim KPPS-nya sendiri.

Namun, dari keduanya, benar-benar tak ada semacam syarat ketat yang tertulis sebagai dasar penunjukannya.

Ya, memang tugas KPPS ini tanggung jawab semua anggota. Akan tetapi, perbedaan honor di antar ketua dan anggota membuat penunjukkan ketua KPPS harusnya tak boleh ngawur.

Bahkan, kalau saya boleh usul, dalam satu tim KPPS setidaknya harus ada dua orang yang punya rekam jejak kompetensi saat sebelumnya menjadi petugas KPPS. Satu sebagai ketua, satunya lagi sebagai wakil ketua.

Terkait kenapa harus dua orang, saya akan jelaskan di akhir pembahasan. Yang pasti, penunjukkan ketua KPPS ini tak boleh dianggap remeh.

Sebab, pada beberapa tim KPPS yang saya temui terlihat bahwa ketua KPPS yang kurang tegas dan kompeten adalah salah satu penyebab kinerja antar anggota jadi tak karuan. 

Hanya Mengedepankan Bimtek ketimbang Aspek Simulasi dan Manajerial

Saya sebenarnya cukup mengapresiasi KPU karena menyediakan puluhan halaman pdf dan slide PPT yang isinya penuh dengan teknis penyelenggaraan pemilu.

Cuman yang saya heran adalah kenapa KPU hanya mengedepankan teknis saja. Bimtek (bimbingan teknis) memang penting. Tapi saya rasa, aspek simulasi juga tak kalah pentingnya. 

Simulasi penyelenggaraan pemilu ini sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa KPU di kota maupun kabupaten.

Tapi sayangnya, KPU pusat, setahu saya, tidak mewajibkan bahkan memerintahkan hal itu. Hanya KPU di beberapa daerah saja yang punya inisiatif menyuruh TPS-nya mengadakan simulasi.

Saya pikir, akan amat sangat baik kalau seandainya KPU pusat mewajibkan simulasi kepada semua TPS se-Indonesia.

Sebab, hal itu akan semakin memantapkan pemahaman setelah sebelumnya mendapat bimbingan teknis. Apalagi, untuk beberapa orang yang baru kali pertama menjadi anggota KPPS.

Kalau saya boleh usul lagi, anggota KPPS juga perlu diberikan pemahaman manajerial. Setidaknya, berikan lah pemahaman manajemen risiko ketika, misalnya, ada orang yang formulir C6-nya tertukar saat pemungutan suara, bagaimana mengatasi kotak suara yang jumlah surat suaranya tidak sesuai daftar pengguna surat suara, dan risiko-risiko tak terduga lainnya.

Bahkan, Databoks pun mencatat laporan dari Bawaslu bahwa ada 19 masalah semacam itu pada pemilu 2024 ini. Jadi, dengan adanya manajemen risiko, saya yakin potensi anggota KPPS menderita akan sangat minim.

Tidak Diberlakukannya Metode Penghitungan Suara Dua Panel

KPU pusat sebenarnya sempat mengusulkan inovasi untuk mengurangi penderitaan anggota KPPS, yaitu dengan menerapkan penghitungan suara dua panel. Inovasi ini sederhananya 7 anggota KPPS dibagi menjadi 2 bagian dalam penghitungan suara.

Namun, usulan itu ditolak oleh Komisi II DPR RI. Alasannya ada tiga. Pertama, karena dianggap terlalu mepet mengingat pemilu saat itu tinggal lima bulan lagi.

Kedua, metode tersebut dapat mengakibatkan kesalahan pencatatan perolehan suara karena menimbulkan dua bunyi. Ketiga, metode itu akan mengakibatkan penambahan anggaran karena harus merekrut satu PTPS (Pengawas Tempat Pemungutan Suara) lagi dalam satu TPS.

Buat saya, ketiga alasan itu menunjukkan DPR RI terlalu naif. Kenapa? Karena kalau melihat fakta di lapangan, kebanyakan PTPS itu hanya bertugas memfoto hasil pemungutan suara. Serius, benar-benar tak ada pengawasan lebih.

Jadi, kalau seandainya metode tersebut diberlakukan dan PTPS bertugas selayaknya pengawas, harusnya tidak perlu penambahan anggota PTPS lagi.

Satu PTPS bisa kerja lebih maksimal mengawasi bahkan membantu anggota KPPS dalam perhitungan suara dua panel.

Pada titik inilah kenapa tadi saya mengusulkan dua orang yang punya rekam jejak kompetensi. Ketua untuk panel A, wakil ketua untuk panel B.

Persoalan memunculkan dua bunyi saat perhitungan suara pun, menurut hemat saya, bukan hal yang rumit. Sebab, hal itu bisa diatasi dengan memanfaatkan anggaran mendirikan TPS yang cukup banyak itu. 

Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa jumlah anggaran di kebanyakan TPS masih tersisa jutaan lebih. Anggaran itu harusnya bisa dimaksimalkan, entah dibuat untuk mendirikan dua tempat khusus dalam satu TPS untuk penghitungan suara, atau alternatif lainnya. 

Sebagai penutup, saya turut berduka cita atas anggota KPPS yang telah gugur. Semoga amal ibadahnya diterima dan semoga KPU segera bangun supaya pemilu tidak menjadi budaya pengancam nyawa 5 tahunan. 

Eh, tapi, ada lagi yang juga tidak kalah penting: Semoga pemilu masih ada di tahun 2029 mendatang!

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis

Achmad Fauzan Syaikhoni

Pemuda yang kadang menulis dengan marah, serius, juga ala kadarnya.
Opini Terkait
Dear Mental Health Professional…
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel