Jogjakarta Itu Nerakanya Transportasi Publik, Jangan Merantau ke Sini Kalau Gak Punya Kendaraan Pribadi!

Jogjakarta Itu Nerakanya Transportasi Publik, Jangan Merantau ke Sini Kalau Gak Punya Kendaraan Pribadi!

Jogjakarta Itu Nerakanya Transportasi Publik
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Yang ingin saya sampaikan dari pengalaman naik Trans Jogja adalah bus tidak melewati daerah tempat tinggal mahasiswa karena hanya fokus ke daerah wisata!

Saya terus terang saja di awal: Jogjakarta itu nerakanya transportasi publik. Jangan sekali-kali kamu merantau ke sini tanpa bermodalkan kendaaran pribadi. Kalau tidak, siap-siap saja duitmu mampus dikoyak-koyak ojol!

Percayalah, saya tidak sedang menakut-nakuti siapapun. Memangnya apa yang diharapkan dari transportasi publik di Jogjakarta?!

Apa? Trans Jogja? Itu hanya formalitas belaka. Rutenya aja nggak niat dibikin untuk kebutuhan masyarakat, melainkan untuk wisatawan.

Latar belakang yang mengarahkan saya pada kesimpulan ini karena ada suatu momen ‘sial’ yang menyadarkan saya betapa pentingnya mempunyai kendaraan pribadi di sini.

Kesialan itu bermula ketika saya menjual motor matic saya demi motor custom—ya, saya juga menyadari kecerobohan ini—dengan niat biar terlihat keren dan gagah. Eh, tapi ujung-ujungnya bukan kegagahan yang terpancar, melainkan kelumpuhan, alias mogok mulu anying.

Bolak-balik ke bengkel tanpa hasil yang memuaskan. Beres nggak, boncos iya! Alhasil, saya sering meminjam motor temen untuk berangkat kuliah. Untungnya dia kuliah kelas karyawan. Jadi, kalau pagi bisa dipinjam. Tapi, masalahnya nggak bisa setiap hari dipinjam juga.

Percayalah, nggak punya kendaaran pribadi itu serasa jadi beban banget. Apalagi ketika pacaran saat itu, saya jalan-jalan pake motor doi… hiks, syedih sekali.

Enam bulan lamanya saya tidak punya motor karena bermasalah, dan tahu nasib sial yang terjadi berikutnya? Yaps, duit saya boncos untuk naik ojol.

Cacatnya Trans Jogja

Mungkin ada yang bertanya, kenapa nggak coba naik Trans Jogja daripada ojol? Jujur saja, selama ‘musibah’ motor itu terjadi, tak pernah sedikitpun terbesit di benak saya untuk memakai Trans Jogja sebagai moda transportasi.

Ya, bijimana mau make bos, busnya aja nggak lewat kos saya di daerah Selokan Mataram Cepit Baru. Jadi, sebenarnya Trans Jogja ini dibikin untuk siapa, sih?

Pun, kalau mau make Trans Jogja, saya harus jalan kaki terlebih dahulu dan jaraknya nggak deket. Trotoarnya juga tidak memadai, dan tidak semua jalan ada trotoarnya juga! Kita diajari untuk malas jalan kaki emang ini, mah.

Supaya tidak sekadar julid, saya pun akhirnya membuktikan sendiri bagaimana sangat tidak efektifnya naik transportasi umum di Jogja. Saya melakukan eksperimen kecil-kecilan dengan mencoba naik Trans Jogja.

Konyol memang karena saya juga tidak punya tujuan mau kemana. Hanya sekadar ingin membuktikan tuduhan saja. Toh, saat itu motor saya juga sudah bisa dipake karena sudah ganti, heuheu.

Lebih konyolnya lagi, saya naik motor baru ini untuk pergi ke halte dan parkir di Pakuwon Mall. Soalnya letak halte dari kos saya itu jauh.

Kalau saya memaksakan jalan kaki, bisa-bisa mandi keringat. Apalagi cuaca panas Jogja yang tak rimbun oleh pohon, kecuali dua buah di alun-alun itu, hehe….

Oke. Jadi, perjalanan dimulai dari Halte Pakuwon Mall. Bus yang saya tumpangi kemudian melaju ke kota melewati berbagai tempat wisata, seperti Tugu dan Malioboro.

Lalu, di halte dekat terminal Giwangan, saya berpindah bus. Di sana, saya baru tahu kalau naik Trans Jogja cukup bayar sekali, asal tidak turun dari halte saja.

Selama perjalanan saya mengamati potret daerah istimewa melalui jendela Trans Jogja. Kernetnya sampai bertanya sebenarnya saya mau turun di mana, heuheu. Ya, saya cuma jawab mau keliling-keliling saja.

Kemudian, bus kedua yang saya tumpangi melaju melewati Kotagede hingga ke bandara Adjisucipto. Dari sana, saya ganti bus lagi untuk kembali pulang ke halte Pakuwon Mall.

Jadi, poin yang ingin saya sampaikan dari perjalanan Trans Jogja ini adalah bus tidak melewati daerah tempat tinggal mahasiswa karena hanya fokus ke daerah wisata!

Jakarta Surganya Transportasi Publik dan Jogja adalah Nerakanya

Tidak ingin membanding-bandingkan sebenarnya, tapi khusus untuk transportasi publik ini memang beda kalau kamu tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Bagi saya, di sana itu surganya transportasi publik.

Teman saya saja, yang tinggal di Cikarang dan kerja di Jakarta, tidak perlu khawatir soal berangkat dan pulang kerja.

Berbagai pilihan tersedia, deh, pokonya. Mau naik KRL bisa, bus bisa, MRT juga bisa. Hanya satu yang nggak bisa, gulingin Heru Budi…. hahaha.

Kereta cepat Whoosh—yang nggak seberapa penting itu—juga dibangun di Jakarta. Selain itu, angkutan umum dipermudah dengan adanya Jaklingko. Ia sangat teratur dan terintegrasi seperti praktik korupsi.

Yang bikin semakin iri lagi dengan Jakarta dan sekitarnya ialah konon baru-baru ini ada wacana mengenai pengadaan ruang baca di transportasi publik.

Lha, Jogja, yang katanya kota Pendidikan, boro-boro mikirin ke sana. Mahasiswa bisa menggunakan fasilitas transportasi publik untuk kuliah aja sulit.

Bahkan, saya belum pernah dengar ada teman yang nggak punya motor berangkat kuliah pake Trans Jogja. Pake ojol semua.

Cerita Teman yang Tidak Punya Kendaraan Pribadi

Sependek ini, ada tiga teman saya yang tidak mempunyai kendaraan pribadi di Jogja. Teman pertama memilih kos dekat kampus karena sadar tidak ada transportasi publik yang bisa diharapkan, dan juga supaya tidak keluar uang untuk ojol.

Untungnya, dia orang yang mageran dan kurang suka jalan-jalan. Tapi, sekalinya jalan-jalan, dia harus menghubungi satu persatu temannya, termasuk saya, untuk booking dibonceng. Ribet, kan. Ya, kali, tidak jalan-jalan di kota Pendidikan wisata ini.

Nah, kalau teman yang kedua, dia satu organisasi dengan saya. Setiap kali ada kegiatan atau rapat, mau gak mau dia harus pesan ojol. Lagi-lagi karena tidak ada transportasi publik yang menjamah sudut-sudut Jogja.

Dua tahun dia bertahan seperti itu. Syukur-syukur kalau ada rekannya yang searah dengan kosnya. Lha, kalau tidak? Ya, mampus dikoyak-koyak ojol.

Lalu, untuk teman ketiga ini, percaya atau tidak selama tiga tahun kuliah bareng bisa dipastikan dia keluar hanya ketika salah satu dari kami ada yang menjemput.

Bukan berarti dia nggak pernah pesan ojol. Tapi, kata dia, “duit gua bakal boros kalau tiap ngopi harus pake ojol.” Sepertinya curhatan macam ini tidak akan keluar kalau tinggal di Jakarta.

Penulis

Rizky Fajar NA

Vivamus, moriendum est
Opini Terkait
FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel