Sebagai anak hasil perkawinan yang sebagian besar bersuku Jawa dengan gado-gado Melayu dan sedikit Batak, saya merasakan banyak stereotipe menempel dalam kesukuan saya, seperti halnya banyak suku di Indonesia yang pasti punya stereotipe-nya masing-masing di mata suku lainnya.
Bhinneka Tunggal Ika; berbeda-beda, tetapi satu juga. Ah, masa bodoh dengan itu.
Pasalnya, sebagai perempuan Jawa di tanah Medan atau istilah bekennya pujakesuma (putra-putri Jawa kelahiran atau keturunan Sumatra), saya hanya dipandang seperti remah-remah debu hasil proyek atasan yang tak kunjung selesai. Eh, maksudnya, dipandang remeh-temeh.
Ditambah, karakter Kota Medan yang sok keras dan petentengan akan berbanding terbalik dengan stereotipe kelembutan perempuan Jawa.
Makanya, meski Kota Medan tidak melulu soal Batak seperti salah kaprah banyak orang, saya mengambil contoh suku Batak karena stereotipe suku inilah yang paling kontras dengan suku saya, Jawa.
Baca Juga: Agak Sulit Menjadi Laki-laki (di) Madura
Si Superlemot dan Penurut Ulung
Penisbatan tak tertulis terhadap setiap suku kelihatannya akan mengalir terus-menerus ke anak cucu generasi berikutnya. Apesnya, stigma negatif yang menempel malah menjadi tolok ukur menilai karakter pribadi suatu suku.
Misalnya, sebagai perempuan Jawa yang lahir dan besar di Medan, saya berkali-kali mendapati orang-orang suku non-Jawa mengolok-olok saya dengan stereotipe si “superlemot” atau “penurut” yang gampangan.
Ya, meski saya tidak pernah merasa ditindas (bully) atau entah saya yang sepertinya memang sudah kebal serta tidak sadar karena kuping yang kebas, tetap saja saya seperti dianaktirikan oleh suku non-Jawa.
Padahal tidak semua suku Jawa pasti lemot atau penurut yang gampang disuruh-suruh. Meski saya sendiri mengakui bahwa saya termasuk people pleaser (tidak enakan), uhuk!
Saya yakin ini terjadi bukan karena faktor suku Jawa saya, tetapi karena saya memanglah demikian.
Nah, ngomong-ngomong soal stereotipe yang dialamatkan pada kesukuan saya, ini mungkin muncul dikarenakan orang Jawa konon selalu menjadi kaum politik dan ningrat sehingga karakter lemah lembut, halus, dan basa-basi makin melekat.
Seperti yang tercantum di dalam buku Nrimo Ing Pandum: Cara Berbahagia Ala Orang Jawa karya Asti Musman, perempuan Jawa memang terkenal dengan kekalemannya, yang kemudian menjadi cikal bakal perempuan Jawa divonis lemot.
Maka, jangan heran jika ada mamak-mamak Batak—stigmanya berbanding terbalik 180 derajat dengan orang Jawa—yang tidak ingin menikahkan anak laki-lakinya dengan perempuan Jawa karena termakan stereotipe yang masih kental menempel ini.
“Halah, mijak taik aja enggak penyet, kek mana pulak mau ngurus anak nanti?”
Artinya, menginjak kotoran saja tidak sampai benar-benar terlindas, bagaimana mau mengurus anak nantinya?
Itu adalah satu dari sekian banyaknya omongan yang pernah saya dengar dari mamak-mamak Batak. Saking lemah lembut dan lemotnya perempuan Jawa, menginjak kotoran yang lembek saja tidak bisa.
Sepengamatan saya, memang suku Batak terbilang ketat dalam pemilihan pasangan. Terlebih karena mereka harus menurunkan dan mengajarkan marga kepada generasi penerus, khususnya anak laki-laki. Berbeda dengan suku Jawa yang tidak menomorsatukan suku sebagai syarat dalam pemilihan pasangan.
Tapi, lagi-lagi, ini hanya sepengamatan dan pengalaman pribadi saja. Jadi, mohon maaf, bukan bermaksud ingin menyamaratakan semua mamak-mamak Batak seperti itu.
Saya tahu betul bahwa mereka tidak selalu demikian. Luarnya saja yang kebanyakan seperti mamanya Shinchan, tapi dalamnya saya yakin seperti Hello Kitty atau ibu peri Cinderella yang sangatlah penyayang.
Dan kalau saya pikir-pikir lagi, laki-laki Batak memang nampaknya harus menikah dengan sesama Batak, terlepas dari segala vonis yang dijatuhkan kepada perempuan Jawa.
Ungkapan saya barusan bukan berarti laki-laki Batak sama sekali haram menikah dengan perempuan Jawa. Saya berkata demikian, mengingat latar belakang budaya dan karakter yang berbeda dapat merumitkan suatu hubungan.
Merayakan Perbedaan di Lingkungan Multikultural
Secara sekilas, kehidupan sosial keseharian perempuan Jawa di Medan sebetulnya tidak ada masalah apa-apa. Toh, saya juga tidak kesulitan bergabung dengan lingkaran pertemanan non-Jawa.
Bahkan, geng-geng saya sejak sekolah dasar sampai kuliah berisi dengan teman-teman dari beragam suku. Mulai dari suku Melayu, Padang, Aceh, Sunda, Mandailing, Batak, Banjar, sampai Tionghoa.
Dalam hal pertemanan, keberagaman suku ini benar-benar tidak masalah karena hidup di Medan berarti harus siap dengan homogen etnis.
Hanya saja, bagi saya, batasnya cukup sampai pertemanan, tidak sampai menikah. Kalau sampai terjadi, meski mungkin keluarga inti merestui, pasti ada saja mulut-mulut dari keluarga besar atau tetangga yang bergunjing.
Tapi, tetap saja, meski tidak begitu kesulitan dalam bersosialisasi, saya kadang kala merasa ingin sekali menyamar menjadi orang Batak saja, khususnya ketika berada di tengah-tengah obrolan orang asing yang sebagian besar bersuku Batak
Saking frustrasinya, saya kerap berselancar di internet untuk mencari-cari marga mana yang terlihat keren atau cocok untuk saya dan tentunya tidak jauh-jauh dari latar belakang orang tua.
Sialnya, kalau dipikir-pikir lagi, wajah Jawa saya terpampang nyata di mata-mata perbatakan ini, walaupun logat Jawa saya sama sekali nol dan lebih dominan ke logat Medan.
Alhasil, niat berbohong itu pun saya urungkan. Meski orang lain mungkin akan (berusaha keras) percaya dengan kebohongan saya, hati saya ciut duluan jika membayangkan akan “dites” macam-macam terkait pertanyaan seputar perbatakan.
Mulai dari silsilah rumit yang harus dipahami, asal muasal, adat istiadat, hingga bahasanya sendiri. Ah, saya jadi merinding duluan jika mengingat itu.
Makanya, dalam lubuk hati terdalam, saya menyesal karena tidak belajar bahasa Batak dengan ayah saya sewaktu masih hidup dulu. Meski bersuku Jawa, beliau lahir dan besar di Simalungun lalu merantau ke Medan sehingga sangat fasih berbahasa Batak.
Padahal, kalau setidaknya bisa memahami apa yang orang Batak katakan, saya bisa pamer kebohongan dengan luwes masuk dalam obrolan teman Batak yang kerap berbahasa asli ketika bertemu.
Apalagi, terlepas dari sifat tidak enakan tadi, saya pada dasarnya bukanlah orang yang lemah lembut seperti cap yang menempel pada perempuan Jawa.
Ya, mungkin memang beginilah terlahir sebagai perempuan Jawa di tanah Sumatra. Meski terasa menyebalkan, pada akhirnya saya tidak bisa sepenuhnya mengontrol pikiran orang lain.
Saya tidak bisa membuang asumsi pada orang yang menelan mentah-mentah stereotipe itu. Jadi, daripada pusing dan sakit hati, saya memutuskan untuk merayakan ke-bhinneka-an ini menjadi bahan hiburan. Saya harus legawa bahwa perbedaanlahyang membuat sesama saling memahami.
Lagipula, yang namanya stereotipe, kan, kadang-kadang bisa benar, kadang-kadang bisa salah. Tergantung bagaimana menilai pengaruh suatu budaya di lingkungan yang terbilang multikultural, seperti Medan.
Suku Jawa yang memegang erat tata krama dalam kehidupan sehari-hari tidaklah menjadikan perempuan Jawa mutlak lemah lembut gemulai nan lemot.
Sama halnya dengan suku Batak. Saya tidak bisa serta merta menilai bahwa suku tersebut memiliki sifat keras atau vokal hanya dari logat serta bahasa mereka yang khas. Begitu pula dengan suku-suku lainnya.