Sulitnya Menjadi Perokok Perempuan di Indonesia, Sering Dicap Nggak Benar!

Sulitnya Menjadi Perokok Perempuan di Indonesia, Sering Dicap Nggak Benar!

Perokok perempuan dice nakal?
Ilustrasi oleh Arik Velkan Gisaldy

Masyarakat sering kali melupakan bahwa merokok adalah suatu pilihan individu, dan setiap orang, tanpa memandang jenis kelamin, berhak untuk membuat keputusan mengenai gaya hidup mereka. 

Merokok, selama ini, telah menjadi suatu aktivitas yang sering kali dihubungkan dengan berbagai stereotip dan penilaian dari masyarakat. 

Bagi banyak orang, citra seorang perokok seringkali terbatas pada laki-laki yang berkumpul di pojok-pojok kafe atau di atas motor mereka, sementara perempuan yang merokok seringkali dipersepsikan sebagai “perempuan nakal.” 

Pandangan tabu terhadap wanita yang merokok ini bukan hanya menciptakan ketidakadilan gender, tetapi juga menunjukkan sikap masyarakat yang masih terjebak dalam norma-norma tradisional yang telah lama usang.

Masyarakat sering kali melupakan bahwa merokok adalah suatu pilihan individu, dan setiap orang, tanpa memandang jenis kelamin, berhak untuk membuat keputusan mengenai gaya hidup mereka. 

Melalui pembahasan tiga aspek kunci, yaitu stereotip, kesetaraan gender, dan hak atas keputusan pribadi, saya akan menguraikan mengapa pandangan masyarakat tentang wanita yang merokok perlu direvisi.

Stereotip terhadap Perempuan Perokok di Indonesia

Bagi saya yang terlahir dan besar di kehidupan desa dengan bermacam kebiasaan dan norma yang cukup ketat (kuno) di sana, secara gamblang memandang wanita merokok itu nakal.

Di desa, setidaknya tempat tinggal saya, merokok itu hanya diperuntukkan untuk laki-laki, kiranya begitu aturan tak tertulis dan perempuan tidak punya tempat untuk itu.

Satu-satunya perempuan yang merokok yang pernah saya ketahui di desa itu hanya ‘dukun’ anak, profesi itu memang identik dengan rokok, entah sebagai ritual atau apa tapi hal itu melekat. 

Stereotip seperti itu tidak hanya saya rasakan di desa saja, tapi juga di kota ketika saya beranjak menempuh Pendidikan tinggi, bedanya di kota banyak wanita lebih berani mendobrak stereotip itu dan saya yakin di banyak tempat lainnya, atau bahkan ini adalah pandangan umum.

Stereotip terhadap perempuan yang merokok tidak hanya menggambarkan masyarakat yang terbelenggu oleh norma sosial, tetapi juga menggambarkan bagaimana perempuan selalu dinilai lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki. 

Mengapa Perempuan Merokok Sering Dicap Nakal?

Perempuan yang merokok seringkali digambarkan sebagai tidak sopan, kurang anggun, atau bahkan sebagai individu yang kurang tahu aturan. Ini adalah pandangan yang tidak hanya tidak adil, tetapi juga membuktikan betapa budaya patriarki kita masih mengendalikan pikiran dan tindakan kita.

Perlu dicatat bahwa stereotip ini tidak hanya mengenai aktivitas merokok itu sendiri, tetapi juga mengenai bagaimana masyarakat melihat perempuan yang melampaui batas-batas yang mereka anggap sebagai norma. 

Perempuan yang merokok, terutama yang merokok di tempat-tempat umum, seringkali menjadi sasaran tatapan dan komentar merendahkan. Mereka dianggap sebagai perempuan yang nakal dan kurang memperhatikan etika sosial.

Namun, kita perlu bertanya pada diri sendiri, mengapa laki-laki yang merokok tidak diberi perlakuan yang sama? Mengapa aktivitas ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang merusak citra laki-laki atau mengurangi “keanggunan” mereka?

Stereotip ini diperparah dengan peran media dalam membentuk persepsi masyarakat. Selama bertahun-tahun, film, iklan, dan televisi telah memperkuat citra perempuan yang merokok sebagai “perempuan nakal” yang sering digambarkan dengan pakaian minim, rambut liar, dan sikap pemberontak. 

Ini adalah gambaran yang jauh dari kenyataan. Merokok adalah keputusan individu yang tidak selalu mencerminkan kepribadian seseorang secara keseluruhan.

Kesetaraan Gender dan Hak atas Keputusan Pribadi

Pandangan masyarakat terhadap perempuan yang merokok juga mencerminkan masalah kesetaraan gender yang lebih luas. Perbedaan perlakuan antara wanita dan pria yang merokok mencerminkan norma sosial yang mendiskriminasi perempuan dan menghambat kemajuan kesetaraan gender.

Sebagian besar argumentasi melawan perokok perempuan seringkali berfokus pada aspek kesehatan. Memang benar bahwa merokok memiliki risiko kesehatan yang serius, namun, hal ini berlaku baik untuk pria maupun perempuan. 

Selain itu, kita juga harus menghormati hak individu untuk membuat keputusan mengenai tubuh mereka sendiri. Hak atas keputusan pribadi adalah prinsip dasar yang seharusnya tidak hanya berlaku bagi pria, tetapi juga bagi perempuan. 

Jika seorang perempuan dewasa secara sadar memilih untuk merokok, itu adalah haknya, dan kita tidak seharusnya menghakimi atau mencoba memaksakan pandangan kita.

Sama Seperti Pria, Perokok Perempuan juga Soal Pilihan

Sebenarnya mengubah pandangan adalah hal yang paling sulit, dan tak perlu repot-repot juga untuk apa mau melakukan hal yang sulit tersebut.

Toh masyarakat akan berjalan dengan apa yang dikehendakinya dan sejalan dengan ‘kualitasnya’, jika masih berpandangan bahwa perempuan merokok itu adalah hal tabu maka ya masih di tahap itu masyarakat kita.

Saya punya pandangan bahwa walapun saya tidak merokok, saya tetap harus menghormati mereka yang merokok baik laki-laki maupun perempuan, alasan mereka kan juga beragam. 

Ada penelitian menarik tentang fenomena perempuan yang merokok yang berjudul “Mahasiswi perokok: studi fenomenologi tentang perempuan perokok di kampus” oleh Fauzi Maulana, ya walaupun ini penelitian yang hanya terbatas di kampus saja, tapi hasilnya perlu dipertimbangkan.

Dalam penelitian tersebut yang ditanyakan kepada mahasiswi yang merokok di lingkungan Universitas Airlangga. Hasilnya adalah mereka yang merokok dipengaruhi dalam beberapa faktor bisa kondisi sosial, sebagai kebutuhan, lifestyle dan yang menarik adalah karena kekecewaan atau frustasi.

Frustasi ini yang dimaksud adalah tanggapan yang menyeluruh dari tubuh terhadap setiap tuntutan yang datang kepada individu. Ini berarti beberapa dari mereka motivasinya untuk merokok adalah hal yang dilakukan untuk menekan rasa frustasi atau kekecewaan yang dialami.

Belajar Menghargai Pilihan Perempuan untuk Merokok

Inilah yang saya maksud harus menghargai setiap keputusan orang baik pria maupun perempuan untuk merokok, setiap orang tanpa memandang gender bisa merasa frustasi, atau alasan lain yang memotivasi mereka untuk merokok sebagai wahana rekreasi mereka.

Mengubah pandangan masyarakat bukanlah tugas yang mudah dan bukan juga tugas saya, tetapi saya hanya ingin menuangkan sedikit keresahan ini.

Serta sebenarnya kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan membebaskan, yang memandang setiap orang sebagai individu yang berhak membuat keputusan tentang gaya hidup mereka tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.

Sebagai akhiran, pandangan terhadap perempuan yang merokok adalah contoh nyata bagaimana masyarakat seringkali menilai perempuan dengan ketat dan tidak adil. Ini adalah masalah yang melekat dalam budaya patriarki kita dan menghambat kemajuan kesetaraan gender. 

Untuk mengubah pandangan masyarakat, kita perlu mempromosikan inklusivitas, empati, dan penghormatan terhadap hak individu. 

Perempuan, seperti pria, memiliki hak untuk membuat keputusan mengenai gaya hidup mereka tanpa takut dicap sebagai “perempuan nakal.” Selama kita menghormati hak individu, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan membebaskan. 

Intinya jangan melabeli hal negatif kepada perempuan yang merokok, biarkan saja. Itu setara dengan laki-laki. Dan ini bukan berarti menormalisasi urusan merokok, itu beda urusan.

Semuanya punya pilihan untuk merokok ataupun tidak merokok. Mengapa selalu perempuan yang dipermasalahkan?

Penulis
Pramanajati

Pramana Jati Pamungkas

Belasan semester kuhabiskan di bangku kuliah jurusan pertanian. Sehari-hari menjadi buruh tulis di Sediksi.
Opini Terkait
Mlijo: Sinetron Desa ala Foucault
Sesat Pikir Konten Bersyukur ala TikTok
Mengenang Kejayaan Warnet: Kerinduan Manusia akan Ruang Aman
Glorifikasi Idol K-Pop berkedok Self-Love
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel