Kolonialisme itu seperti mantan kalian yang toksik. Sosok mokondo yang suka morotin duit pacar buat beli ini-itu. Sedangkan kalian cuma bisa terima nasib meskipun bahkan sampai harus dicampakkan dan dianggap hanya sebagai mesin penghasil uang.
Begitulah kolonialisme sebetulnya. Makanya, saya sangat heran jika ada orang yang bilang ingin kembali ke masa Hindia Belanda cuman karena vibes-nya yang nostalgic banget. Masak, iya, kalian rindu sama mantan kalian yang toksiknya nggak ketulungan itu, sih?
Memang tak dapat dipungkiri bahwasanya hal semacam ini sudah mendarah daging di antara masyarakat kita. Bahkan, saking parahnya, kaum si paling nostalgia ini biasanya hanya berbekal pemahaman yang sedikit untuk melegitimasi bahwasanya zaman penjajahan lebih enak daripada sekarang.
Ya, mungkin memang bisa dikatakan kolonialisme kadang ada baiknya. Akan tetapi, buruknya lebih banyak. Maka dari itu, saya sebagai seorang mahasiswa sejarah jelas sangat prihatin dengan masyarakat kita yang ngebet banget buat kembali ke masa kolonialisme.
Baca Juga: Kebaya: Bentuk Rasis yang Diperhalus
Daendels itu Membayar Buruh!
Salah satu argumen yang paling umum dibicarakan oleh netizen kita yang mengglorifikasi kolonialisme adalah soal Daendels yang membayar buruh, namun dikorupsi oleh pejabat kita sendiri.
Fakta ini sebenarnya masih menjadi perdebatan. Menurut Djoko Marihandono, tidak ada arsip berupa laporan dari pejabat pribumi sebagai penyalur upah.
Sementara Peter Carey berasumsi bahwasanya terdapat penyelewengan dan ketidakaturan sistem pembangunan, sehingga membuat 7.000-14.000 pekerja wafat. Itupun masih sebatas asumsi, toh?
Memang, di kalangan akademisi terjadi perdebatan terkait apakah dana tersebut dikorupsi atau tidak. Akan tetapi, masyarakat non-akademisi, dengan hanya berbekal informasi dari internet yang kadang-kadang judulnya sangat clickbait, cenderung langsung mengamini bahwa pejabat pribumi melakukan korupsi dana.
Asumsi-asumsi liar yang menggelinding seperti bola salju ini jelas sangat mempengaruhi masyarakat kita, terutama soal persepsi mereka terhadap kolonialisme.
Terus bagaimana, dong? Ya, masyarakat seharusnya perlu mempelajari sejarah lebih luas lagi agar tidak berkutat pada kegagalan melogiskan kebaikan kolonialisme.
Toh, terlepas dari apakah Daendels memang orang baik atau bukan, tidak menutup fakta bahwa kolonialisme pernah menghasilkan sejarah yang kelam bagi bangsa ini. Coba tengok sejarah kolonialisme yang lain.
Misalnya tentang Genosida Banda 1621 oleh J.P Coen yang baru-baru ini diungkapkan dengan detil oleh Marjolein van Pagee dalam buku terbarunya “Genosida Banda: Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterszoon Coen”.
Jalan Menuju Neraka Ditaburi dengan Niat Baik
Dalam kasus yang lain, masyarakat kita juga sering kali memuji-muji soal modernitas yang diusung oleh Belanda ke tanah jajahannya. Mulai dari kereta api, trem, hingga bangunan-bangunan, seakan hal-hal tersebut adalah sesuatu yang membungahkan hati.
Apakah kalian betul-betul memahami maksud dari modernitas yang diusung oleh Belanda ke sini? Apa yang mereka bawa ke sini itu tidak lebih untuk tujuan eksploitasi semata.
Bisa dikatakan bahwa modernitas tersebut, ya, demi kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kita. Kalau kata Marx, “jalan menuju neraka selalu ditaburi dengan niat baik.”
Bayangkan saja, kalau kita naik kereta pada zaman itu, kita harus duduk di bangku paling belakang atau kelas tiga.
Bayangkan, kalian harus pindah ke kota karena sawah kalian telah disewa oleh perusahaan pabrik gula milik Belanda dengan harga murah dan waktu sewanya sangat lama alias tidak sepadan.
Bayangkan, kalian hidup di kampung-kampung kota yang sanitasi dan higienitasnya tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Apakah kalian masih ingin hidup di zaman penuh tekanan seperti itu?
Memang ada kalanya Belanda bersikap baik kepada kita, dan saya tidak menafikan hal tersebut. Misalnya, soal teknologi dan politik etis yang dibawa oleh Belanda ke sini.
Saya kira, teknologi dan politik etis ini cukup berperan dalam membuat bangsa Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya. Terkait hal ini, saya berterima kasih kepada kaum kolonialis atas kecerobohannya.
Bagaimana tidak? Gara-gara mesin cetak hadir di Hindia-Belanda, para penggerak bangsa bisa membaca dan belajar tentang komunisme, sosialisme, dan revolusi.
Begitu pula dengan politik etis yang membuat masyarakat kita bisa membaca buku, koran, serta berbagai gagasan radikal. Ini jelas tidak pernah diharapkan Belanda.
Nostalgia! Nostalgia! Nostalgia!
Saya setuju dengan pendapat Grace Leksana dalam opininya di Historia bahwasanya, “Upaya kita untuk untuk mengingat masa lalu cenderung selektif; ingin mengingat hal tertentu, dan enggan untuk mengingat yang lain.”
Bahkan, sikap kayak gini tidak hanya menjangkiti masyarakat saja, namun juga pemerintah daerah. Ini adalah sebuah ketidaknormalan tentunya.
Ingatan masa lalu yang selektif semacam ini pada akhirnya membuat kita tidak bisa membayangkan sejarah serta nasib orang-orang kalah dan terpinggirkan yang berkontribusi besar dalam membangun peradaban bangsa ini.
Lebih parahnya lagi, hal semacam inilah yang membuat kita terus-terusan berada dalam belenggu psikologis yang disebut inlander complex, yaitu kondisi di mana kita merasa inferior sebagai bangsa.
Selain itu, nostalgia seperti ini juga akan menjebak kita nantinya. Sebagaimana yang juga diungkapkan Grace Leksana, “Justru ketika kita tidak membicarakan dan menampilkannya, maka kita menciptakan ilusi bahwa masa lalu kita ‘baik-baik saja’ atau dalam hal ini kita merasa kolonialisme itu baik-baik saja”.
Di sini, salah satu tawaran yang dapat diajukan adalah dengan menganggap bahwa seluruh warisan mantan kita yang toksik ini sebagai warisan kita sendiri, bukan milik dia lagi. Karena apa? Ya, karena Belanda tidak akan hidup tanpa bantuan kita yang selalu ia sakiti ini, hiks hiks hiks…
Gampangnya, toh, seluruh duit pembangunan yang digunakan Belanda itu berasal dari hasil jerih-payah para pendahulu kita yang tereksploitasi, kok.