Yang Luput dari Perdebatan Klaim Surabaya sebagai Kota Pahlawan

Yang Luput dari Perdebatan Klaim Surabaya sebagai Kota Pahlawan

Yang Luput dari Perdebatan Klaim Surabaya sebagai Kota Pahlawan
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Ada hal-hal lain yang juga punya dampak signifikan pada sejarah kepahlawanan kota Surabaya. Hal-hal ini terkait dengan kehidupan masyarakat kota saat itu yang nampaknya masih sering luput dari pembahasan.

Beberapa waktu lalu, Sediksi mengunggah postingan soal beberapa contoh debat tulisan dalam website-nya. Salah satu yang menarik buat saya sebagai seorang mahasiswa sejarah adalah perdebatan tentang Surabaya sebagai kota Pahlawan.

Tentu perdebatan ini sangat klise, apalagi kedua penulis, yaitu Faris dan Iqbal, hanya menjelaskan soal citra kota yang sebenarnya nggak penting-penting amat, bahkan cenderung nggak masuk akal.

Saya sangat meledak saat membaca tulisan Iqbal yang mempertanyakan konsep hari Pahlawan di akhir tulisannya. Pertanyaan tersebut jelas cukup membingungkan bagi saya, dan saya pun bisa jawab iya atau tidak.

Saya sendiri sepakat dengan ke-sinis-an seorang Iqbal yang menganggap klaim Surabaya sebagai kota pahlawan itu terlalu membabi buta. Tapi, tunggu dulu.

Sikap ‘sok-sokan/si paling’-nya Iqbal ini cenderung destruktif dan membuat pembaca bisa jadi langsung mengamini tulisan dia. Apalagi, saat si Iqbal melegitimasi bahwa peradaban akan hancur kalau nggak move on.

Maka dari itu, saya ingin melempar ‘bola panas’ lagi. Entah mau dijadikan bahan refleksi atau mungkin bahan diskusi, terserah.

Sebab, misi saya bukan hanya sekadar memberi informasi, tapi juga memantik semua orang untuk mencoba membaca sejarah dengan kritis serta tidak statis, apalagi yang bersumber dari web pemerintah atau media sosial, xixixi.

Kenapa Nggak Melihat Orang-Orang di Tepian Sejarah?

Saat membicarakan Surabaya sebagai kota Pahlawan masyarakat umumnya masih banyak berkutat pada peristiwa-peristiwa sejarah seperti perang 10 November yang heroik, perobekan bendera di Hotel Yamato yang berani, dan peran bung Tomo yang menggelegar.

Padahal, ada hal-hal lain pada periode tersebut yang juga punya dampak signifikan pada sejarah kepahlawanan kota Surabaya. Hal-hal ini terkait dengan kehidupan masyarakat kota saat itu yang nampaknya masih sering luput dari pembahasan.

Maka dari itu, saya akan mencoba untuk membedah sedikit tentang masyarakat kampung kota sebagai ciri khas dan tokoh yang berada di pinggiran sejarah Surabaya 1945, karena jujur saja, komparasi yang diajukan oleh Iqbal sangat tidak mashok.

Surabaya sendiri merupakan kota kolonial yang paling modern saat itu sehingga membuat banyak orang berbondong-bondong ke sana untuk mencari penghidupan yang layak.

Akhirnya, Surabaya menjadi semakin padat dan kampung-kampung kumuh semakin bertebaran. Bahkan, von Faber menyebutkan dalam catatannya bahwa pada tahun 1940 penduduk bumiputra berjumlah sekitar 308.000 jiwa. Tentu, ini nominal yang sangat banyak.

Di masa revolusi, masyarakat kampung kota menjadi yang paling terdampak karena sebagian dari mereka harus mengungsi akibat kondisi darurat.

Purnawan Basundoro dalam buku “Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Surabaya 1900-1960an” menyebutkan bahwa terjadi penurunan drastis populasi bumiputra di Surabaya pada masa itu.

Beralih pada periode 1950-an, populasi masyarakat di Surabaya kembali melonjak naik. Kondisi boom populasi semacam ini membuat Surabaya kekurangan lahan.

Masyarakat miskin kota yang tersisih pada akhirnya hanya memiliki opsi-opsi melanggar seperti membangun banyak pemukiman liar, mengokupasi lahan orang terutama lahan kuburan Cina, hingga aksi-aksi menduduki bangunan-bangunan milik orang Eropa yang sudah terbengkalai.

Di sini, tentu dapat dilihat bahwasanya revolusi membuat masyarakat miskin kota terlunta-lunta. Bahkan, saking terpinggirkannya, kaum miskin kota dianggap sebagai penyakit nantinya.

Hal seperti inilah yang seharusnya dilihat oleh Iqbal sebelum membuat analisis soal klaim kota pahlawan yang berlebihan, bukan malah mengomparasikan secara ngawur.

Di lain hal, kenapa kalian juga tidak melihat tokoh yang hilang dalam sejarah revolusi di Surabaya? Sebut saja Soemarsono, sang pencetus hari Pahlawan. Ia adalah tokoh kiri tiga zaman, sejak era Jepang, Madiun Affair, hingga meletusnya malapetaka 65.

Pernahkah kalian mengerti soal beliau? Tentu jarang. Wong sekelas museum 10 November saja tidak memampangkan kebesarannya, kok.

Pentingkah Surabaya Disebut sebagai Kota Pahlawan?

Surabaya tidak sekecil bayangan Iqbal yang sinis tentunya. Ia menganggap bahwasanya Surabaya terlalu mengagungkan narasinya sebagai kota Pahlawan. Hal tersebut memang benar adanya, namun syarat dan ketentuan berlaku.

Surabaya menjadi kota pahlawan karena pertempuran Surabaya menjadi simbol semangat dekolonisasi pertama. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam revolusi sangat terlihat dalam pertempuran ini.

Surabaya saat itu menjadi tempat berkumpulnya amarah seluruh masyarakat dari berbagai elemen. Laskar buruh, etnis Tionghoa, hingga kaum miskin kota ikut dalam perjuangan revolusi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Agam Wispi dalam puisinya yang berjudul “Surabaya”.

Kepahlawanan bergolak dari kancah-kancah yang menggelegak dan tahun-tahun kenangan yang diwariskan. Mogok pertama buruh kereta api, zeven provincien, buruh pelabuhan dan pelaut bersatu hari

Lantas, pentingkah Surabaya disebut sebagai kota Pahlawan? Ya, jelas pentinglah. Mau bagaimana pun juga, Surabaya adalah representasi yang tepat untuk menggambarkan sikap wani-nya masyarakat Indonesia melawan segala penindasan.

Walaupun kenyataannya sekarang Surabaya sebagai kota pahlawan hanya simbolis saja karena kampung-kampung sebagai muara perlawanan di masa lampau hari ini harus tiarap karena pembangunan. Misalnya, kasus tanah di Tambak Bayan.

Sehingga, alih-alih sekadar mempertanyakan Surabaya sebagai kota pahlawan, saya malah lebih tertarik untuk bertanya:

Apakah kita mengenang Surabaya untuk sekedar menumbuhkan jiwa nasionalisme saja? Ataukah kita mengenang Surabaya sebagai pengingat bahwasanya masyarakat semesta pernah berjuang di sini?

Penulis

Alfian Widi Santoso

Seorang mahasiswa sejarah Unair, yang selalu BU (butuh uang) untuk beli rongsokan demi skripsi
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel