Dengan sepenuh hati dan kesadaran saya menuliskan, sebuah catatan ini. Ini bukan surat terbuka seperti yang kerap ditulis oleh kebanyakan orang ketika ingin menyampaikan gagasannya secara diplomatis dan heroik. Atau juga seperti yang sebelumnya pernah dituliskan kawan saya kepada bapak Triawan Munaf. Ada baiknya, mulai saat ini dan seterusnya tulisan ini disebut curhatan galau saja.
Lingkungan tempat kita, kata “terbuka” biasanya cenderung menjadi sebuah hal yang sensitif, dipersepsi saru, dan mengandung unsur ambiguitas. Maka tak jarang jika kita mendapati, apa-apa yang dirasa sedikit terbuka, akan kena rekomendasi sensor oleh KPI atau malah jika apes, bisa jadi akan terkena razia FPI. Hal itu karena saking terbukannya hati dan pikiran dua lembaga beda fungsi tersebut dalam memandang sebuah kondisi.
Seperti kebanyakan curhat pada umumnya, tentu muncul dikarenakan sebuah keresahan. Seperti banyak keresahan yang saya alami, seringkali muncul dari larut seduhan kopi. Beberapa waktu yang lalu, ampasnya sempat mengendap di ruang kepala saya.
Betapa tidak, di warung kecil ruas jalan desa arah Jember-Bondowoso, di sebuah bilik beranyam bambu yang jauh dari kesan urban, seorang nenek sepuh penjual kopi, menanyakan kepada saya tentang definisi dan rasa Kopi Vietnam, kopi yang telah diminum Wayan Mirna Salihin hingga meninggal. “Le, kopi vietnam ro se enggak apa? nyaman njek? Mon nyaman engko parak e juele, tapeh, tak tao engkok mon meleh dimmah ye?” yang jika digoogle-translate kemungkinan memiliki arti. “Nak Kopi Vietnam itu yang seperti apa? Enak tidak? Kalau enak, saya sebenarnya ingin jual, tapi saya tidak tahu kalau beli di mana ya?
Mendapat sebuah pertanyaan semacam itu praktis membuat saya sejenak berpikir, bukan karena saya belum pernah mencoba seduhan kopi dengan gaya penyajian “Vietnam Drip”. Namun yang saya pikirkan adalah bagaimana seorang nenek penjual kopi yang tinggal di jauh dari hiruk pikuk keramaian kota dan akses dalam ranah siber, dapat menanyakan hal yang demikian.
Namun hal lamunan saya untuk berpikir sejenak kemudian hilang, karena tak lama berselang, Si Nenek dengan asyik menjelaskan sendiri tanpa saya harus bertanya, bahwa ia mengetahui perihal Kopi Vietnam dari siaran berita di televisi yang setiap hari ia tonton.
Beberapa waktu setelah pertanyaan nenek penjual kopi, saya mulai menyadari bahwa ketenaran Jessica Kumala Wongso pelan-pelan mulai menggeser popularitas Syahrini. Kasus kematian Wayan Mirna Salihin tanpa disadari sudah berdampak langsung dalam banyak hal dan nilai sosial pada masyarakat lapisan bawah.
Hal ini bukan hanya tentang seorang nenek yang bertanya Kopi Vietnam. Beberapa waktu lalu, kita juga sempat dikejutkan kabar upaya pembunuhan yang dilakukan seorang buruh pabrik perempuan, kepada temannya menggunakan cairan thinner. Menurut keterangan pelaku melakukan hal ini karena terinspirasi kasus meninggalnya Mirna.
Banyak pula masyarakat yang menangkap momen dengan menamai produk dan usaha mereka dengan nama yang bernuansa kasus tersebut, seperti Kopi Jesica, atau Warkop Sianida. Tidak berhenti sampai disitu, dalam ranah musik dangdut koplo yang dikenal paling peka pasar, ternyata juga sudah menghasilkan dengan judul lagu yang hampir serupa. “Kau pikir aku kopi sianida” dan “Sianida (Siap Nikah dengan Duda)”.
Hal ini semakin menguatkan jika efek dari bombardir informasi Kopi Vietnam bersianida di televisi justru lebih berdampak kuat pada golongan masyarakat kalangan bawah seperti buruh pabrik, warung kopi, dan dangdut koplo sebagai simbolnya. Sayangnya, justru kebanyakan dampaknya tak memiliki korelasi positif dalam keberlanjutan kehidupan masyarakat.
Awalnya saya berpikir, sidang kasus kopi Sianida yang ditayangkan di televisi tersebut dapat memberikan nilai positif di kalangan masyarakat, misalnya sebagai bentuk pembelajaran hukum bagi orang yang awam seperti saya. Maklum, yang saya ketahui tentang sidang hanyalah sidang tilang pelanggaran lalu lintas, dan sidang kelulusan proses kuliah (yang masih saya impikan). Namun kenyataannya, dampak yang timbul tentang hal tersebut jauh melampaui cekaknya pikiran saya.
Dampak di luar prediksi tersebut bisa dikarenakan siaran televisi yang cukup berlebihan dalam melakukan siaran seputar kasus kopi bersianida. Memang dari segi tayangan tak seheboh dan tak segeli siaran langsung nikah atau lahiran anak artis. Namun dari segi durasi dan keberlangsungan, siaran prosesi sidang yang dilakukan Kampes TV dan TV Oon  cukup panjang dan istiqomah, rasanya masyarakat memang dipaksa untuk melupakan tentang hal sederhana di sekitarnya atas nama rating. Dan hal ini berlangsung secara sistematis, terstruktur dan masif.
Menyoal hal tersebut, harusnya ini yang mestinya disikapi oleh segala pihak yang berkaitan, bukan apa-apa, karena mengenai penyiaran, sebenarnya sudah dijelaskan secara gamblang dalam UU no 32 tahun 2002. Misalnya seperti Tujuan Penyiaran yang diterangkan dalam pasal 3 yaitu, untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinannya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa. Mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dalam rangka membangun masyarakat mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.
Dalam hal ini pun dalam UU 32 Tahun 2002 juga dijelaskan bahwa pihak yang berkewenangan dalam hal seputar penyiaran adalah KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Harus diketahui KPI sendiri mempunyai kewajiban cukup berat yang diterangkan dalam pasal 8 ayat 3Â yang saya ambil dalam 3 poin penting yakni;
- Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan HAM
- Memelihara tatanan informasi Nasional yang merata dan seimbang
- Menampung, meneliti dan menindaklanjuti sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat dalam penyelenggaraan penyiaran.
Karena selama ini persepsi yang muncul di masyarakat sering salah kaprah dengan menganggap KPI sebagai lembaga tukang sensor belahan dada dalam film kartun anak-anak. Maka dari itu Bolehlah sembilan orang jajaran komisioner KPI pusat yang baru dilantik dua bulan lalu dengan komando Bang Yuliandre Darwis langsung bisa unjuk gigi dengan gebrakan yang baru. Agar lembaga ini kembali pada khittah dan marwahnya agar tak dianggap ompong dan tebang pilih kepada penguasa korporasi media.
Penutup, semoga saja lekas sadar dan terjaga dari kantuknya, sehingga berani mengevaluasi seputar tayangan siaran langsung dan bermacam pemberitaan kasus sianida yang berlarut tak jelas ujungnya. Toh ada tidaknya hiruk pikuk tayangan tersebut, tak akan berpengaruh pada naiknya harga minyak mentah dunia yang membuat lambatnya, pembangunan di Indonesia bagian timur.
Tidak tayangnya siaran langsung sidang tersebut juga tak akan berpengaruh pada kualitas kopi Indonesia di mata pasar ASEAN dan memudahkan negara tetangga mengakui budaya tanah air. Dan tidak dilanjutkannya siaran langsung dan segala hal yang berkaitan dengan kasus tersebut, juga tak akan berpengaruh pada persepsi masyarakat terhadap Pilkada langsung serentak yang akan digelar beberapa waktu kedepan.
Jadi, boleh lah sesekali Bapak Ibu Komisioner KPI yang baik hati ikut ngopi bareng saya di markas Sediksi.