Minggu (4/8), hajatan sepak bola Piala Presiden 2024 usai. Arema FC keluar sebagai juara usai menang adu penalti melawan Borneo FC dengan skor 5-4.
Piala kayu karya Ida Bagus Ketut Lasem berhasil disabet untuk keempat kalinya. Uang hadiah sebesar 5 miliar rupiah diraih oleh klub berlogo singa di turnamen itu.
Malang pun membiru. Flare menyala. Motor digeber-geber Aremania. Chant dan jingkrak-jingkrak turut mewarnai malam final turnamen pra-musim itu serta malam penjemputan skuad.
Konvoinya bukan cuma membisingkan jalanan sehari semalam, tapi juga membisingkan timeline Instagram dan X (lebih sreg bilang Twitter). Selebrasi itu sangat meriah, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Selebrasi di Atas Luka Tragedi
Ya, “apa-apa” yang saya maksud di sini adalah Tragedi Kanjuruhan, sebuah tragedi yang sudah nyaris berusia 2 tahun. Kalau dianalogikan dengan manusia, sang tragedi akan menginjak usia di saat anak hampir bisa belajar ngomong.
Ya, Tragedi Kanjuruhan masih jauh dari kata adil. Usut tuntas tidak bisa dibilang sudah tuntas. Keluarga korban masih belum reda dari hujan pilu kehilangan sanak famili dan “kalah” dalam pertarungan keadilan—vonis terhadap pemberi instruksi penembakan gas air mata terlalu ringan.
Salah satu tragedi sepak bola dan kemanusiaan terburuk ini bahkan juga tidak digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat.
Dari sini, yang menjadi pertanyaan, etiskah euforia berlebih dalam menyambut juaranya Singo Edan di ajang tersebut, sementara duka para korban belum usai? Jawabannya singkat saja: sangat tidak etis, Sam!
Sehingga, wajar jika konvoi dan selebrasi berlebihan dari Aremania (bahkan Arema FC) memanen tubir. Bukan karena iri tidak bisa juara apalagi sampai 4 kali, melainkan gara-gara keadilan soal tragedi yang merenggut 135+ nyawa itu belum bisa lunas, tapi malah bereuforia. Nggilani!
Bukan cuma dari Jakmania, Bobotoh, atau tetangga yang dianggap musuh bebuyutan, Bonek. Dari Aremania sendiri yang tidak edan atau yang gantung syal, termasuk saya, langsung elus dada sambil bilang “Jancok!” sama gembong suporter yang larut dalam ritual penyambutan juara itu.
Klubnya Nirempati, Suporternya Juga
Kalau memang mengaku punya nurani, Arema FC, sih, harusnya menarik diri dari turnamen. Tapi ini, malah ikut berpartisipasi. Atau, paling tidak, kenapa tidak mengimbau suporternya untuk tidak konvoi?
Beberapa suporternya juga malah ikut-ikutan bersikap nirempati. Ikut larut dalam euforia berlebihan menyambut sang juara Piala Presiden, alih-alih tetap secara konsisten menyuarakan #UsutTuntas dan mendesak klub untuk ikut dalam pergerakan memperjuangkan keadilan?
Namun, kenyataannya, nasi sudah menjadi bubur. Arema FC tenggelam dalam euforia Piala Presiden. Aremania juga mabuk berat dalam kebahagiaan merayakan keberhasilan klub idola mereka menjuarai turnamen pra-musim ini.
Konvoi ini menjadi alasan kuat bagi saya untuk mengatakan kalau baik Arema FC maupun Aremania bersinergi dalam nirempati. Jadi juara turnamen, lalu mendadak amnesia soal #UsutTuntas.
“Kami merayakan kemenangan, tapi Usut Tuntas tetap disuarakan…”
Bullshit! Kalau memang benar-benar menilai kasus Tragedi Kanjuruhan belum usai, kenapa malah ikut arak-arakan? Kan, bisa saja kalian mencegat bus klub lalu meneriakkan soal usut tuntas. Bukan malah amnesia. Nalarmu pedot, Sam!
Empati Bukan Sebatas Donasi
Nominal hadiah juara pertama turnamen yang baru saja berakhir itu rencananya oleh manajemen akan disumbangkan sebanyak 13,5%. Dari persentase itu bakal dibagikan untuk 135 korban tewas Tragedi Kanjuruhan. Terdengar manis bukan?
Tapi, coba kita telisik. Jumlah hadiah turnamen yang diperoleh Arema FC sebesar 675 juta rupiah. Dari jumlah tersebut kalau diambil 13,5%-nya lalu dibagi ke 135 korban jiwa, per korban hanya mendapat 5 juta rupiah.
Tapi sayangnya, donasi ini saja sudah diglorifikasi oleh Aremania yang nirempati demi membela klubnya dari serangan opini “klub nirempati”. Lucu banget pola pikir mereka.
Para pemuja klub nirempati punya mindset kalau donasi saja sudah membuktikan klub tidak mengabaikan para korban Tragedi Kanjuruhan. Padahal, itu saja masih sangat jauh dari kata cukup.
Kalau punya empati, harusnya manajemen juga kasih bantuan hukum untuk membela para keluarga korban waktu itu. Tapi, yang ada malah kekeuh agar Arema FC tetap ikut berkompetisi, dan kalau bisa jangan sampai degradasi—hukum karma ideal bagi klub nirempati!
Jadi, coba pikirkan lagi. Di sini, kita bicara soal mereka yang kehilangan anggota keluarganya untuk selama-lamanya. Ini tidak bisa digantikan oleh apa pun, apalagi hanya dengan 5 juta rupiah. Jomplang!
Tidak Ada Loyalitas untuk Klub Nirempati
Penolakan demi penolakan dari beberapa tuan rumah Liga 1 2022 dan pernah menjadi pelanggan setia zona degradasi di Liga 1 2023/2024 adalah teguran Tuhan atas matinya nurani Arema FC.
Eh, tapi bukannya berbenah diri untuk fokus #UsutTuntas, mereka malah bersikap egois demi lolos dari degradasi.
Kalau bandingkan dengan klub sebesar Liverpool FC, ya, jelas jauh, lah. Meskipun tidak memiliki peran signifikan, setidaknya pendukung mereka punya empati dengan melakukan dukungan moral serta finansial bagi Hillsborough Family Support Group.
Suporter The Reds juga masih konsisten menyuarakan Tragedi Hillsborough sampai saat ini. Jadi, agak aneh kalau ada yang menyamakan keduanya dalam soal empati.
Bagi saya, tidak ada lagi loyalitas serta rasa hormat bagi klub nirempati yang menelantarkan tragedi kemanusiaan besar. Begitupun dengan Aremania yang ikut melakukan tindakan serupa.
Lolos dari degradasi musim lalu, yang kemudian diikuti dengan keberhasilan menjuarai Piala Presiden membutakan mereka. Apa harus kena azab yang pelik dulu baru terbangun kepeduliannya?