Sebuah Tragedi Kelam dan Lahirnya Perdamaian Setelahnya

Sebuah Tragedi Kelam dan Lahirnya Perdamaian Setelahnya

Sebuah Tragedi Kelam dan Lahirnya Perdamaian Setelahnya
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Kanjuruhan akan selalu menyisakan noda kelam. Jika tak ada harga sepadan, maka kita semua perlu membayarnya dengan apa yang disebut sebagai perdamaian.

Sejatinya tak ada harga sepadan untuk mengganti hilangnya 135 nyawa Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 lalu.

Keadilan? Barangkali itu satu-satunya harga yang cukup pantas untuk sedikit mengelap tangisan keluarga korban. Dan kita semua berharap, keadilan bukan kata utopis.

Berkaca pada tragedi Kanjuruhan adalah kesalahan kita semua. Aparat, panitia pelaksana laga (Panpel), klub terkait, suporter Arema sendiri, dan bahkan kita semua pecinta sepak bola Indonesia.

Harus diakui, kita juga lah yang sempat merawat bara permusuhan sebelum peristiwa di Stadion Kanjuruhan terjadi pada laga Derby Jatim: Arema FC vs Persebaya Surabaya.

Kanjuruhan akan selalu menyisakan noda kelam. Jika tak ada harga sepadan, maka kita semua perlu membayarnya dengan apa yang disebut sebagai perdamaian.

Setidaknya, agar kisah kelam serupa tak akan terjadi lagi.

Peristiwa Langka: Jauh dari Malang, Solo-Jogja Bersatu

Jauh sebelum terjadinya tragedi Kanjuruhan, perdamaian adalah kata yang utopis, bara api rivalitas tak akan pernah padam.

Khususnya di kalangan suporter PSIM Yogyakarta dan Persis Solo. Hampir serupa dulunya dengan Persija Jakarta dan Persib Bandung atau Persebaya dan Arema.

Dalam refleksi kali ini, saya hanya mampu menggambarkan bara rivalitas yang berbuntut tragedi kelam itu dalam spektrum Solo-Jogja. Karena kebetulan saya tinggal dan mengamati sepak bola di salah satu kota ini.

Termasuk saat peristiwa kelam 1 Oktober silam, dan saya akan menggambarkan iklim panas kedua kota ini sebelum semuanya berubah.

Persis tak akan bertemu PSIM musim 2022/2023 itu, karena sudah berbeda kompetisi. Semacam rivalitas Millwall dan West Ham United di daratan Inggris sana. Dan permusuhan Solo-Jogja dahulu kala kerap terlihat konyol.

Terakhir kali kedua tim berjumpa  “dengan dihadiri suporter” di laga Derby Mataram adalah 2019 silam di Liga 2. Satu laga di Madiun saya hadiri dan terus-terang, darah saya sempat mendidih kala itu. Saya pernah mengamini api permusuhan itu, setidaknya dulu, dan tak akan lagi. 

Beruntungnya, laga itu tak memakan korban. Setidaknya, dalam rombongan yang saya tumpangi.

Namun, sekalipun tak bertemu, api permusuhan kedua tim terus saja membara. Contoh yang paling jelas tergambar pada akhir Juli 2022. Ya, saat kedua tim bahkan sudah berbeda liga.

“Solo Tembus Jogja” begitu peristiwa itu sempat diingat dan menggemparkan dua kota pecahan Kerajaan Mataram Islam ini. Memang, saat itu Persis berkandang sementara di Stadion Moch Soebroto Magelang. Perlu diketahui, Jogja berada di tengah-tengah Solo dan Magelang.

Skenario menghindari konflik telah dilakukan, suporter Solo dilarang melintasi rute Jogja! Tapi, sekumpulan orang “oknum suporter Persis” sempat nekat melintasi jantung Kota Pelajar dan bahkan sempat membuat video berlatar “Tugu Jogja”.

Itu adalah salah satu puncak permusuhan kedua suporter, karena tindakan itu dianggap sebagai penghinaan. Jangankan melintasi jantung kota dengan atribut suporter, bahkan orang biasa seperti mahasiswa, atau pekerja sering kena getahnya. Solo-Jogja memanas, tanpa konteks yang jelas.

Dalam beberapa peristiwa, identitas kedua suporter bahkan hanya ditandai dengan plat kendaraan. Plat AD (Soloraya) kerap dilarang melintasi Jogja saat tim tersebut menggelar pertandingan. Pun sebaliknya.

Perdamaian Bukan Lagi Sesuatu yang Mustahil

Permusuhan suporter Persis dan PSIM adalah gambaran betapa sembrono-nya suporter dalam merawat kebencian. Tak ada alasan pasti mengapa kedua kubu itu harus merawat rivalitas yang kerap keluar jalurnya.

Apakah karena Perjanjian Giyanti 1755? Tidak, tidak se-dramatis itu.

Kerap kali orang salah menilai, bahwa Derby Mataram adalah kelanjutan perpecahan Mataram Islam yang melahirkan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta (Solo).

Persis vs PSIM bukan alat politik kedua kerajaan tersebut untuk melanjutkan permusuhan. Sebaliknya, Persis dan PSIM adalah media untuk memperjuangkan kemerdekaan. Sebagaimana kedua tim terlibat dalam pendirian PSSI.

Ardian Nur Rizki dalam “Pustaka Sepak Bola Surakarta” menggambarkan, bahwa rivalitas Solo-Jogja terjadi periode 1990-an silam. Pembaca bisa mengguliknya dalam peristiwa bernama Tragedi Kandang Menjangan 1998 dan Mandala Krida 2000.

Uniknya, 2 peristiwa pemicu permusuhan itu justru diawali oleh laga Pelita Solo dan PSIM. Sedangkan, saat Pelita hengkang, permusuhan ini justru dilimpahkan ke Persis, terjadilah permusuhan Persis dan PSIM berpuluh tahun lamanya.

Dalam sumber yang sama, suporter Solo-Jogja dulunya malah dianggap sering berhubungan harmonis, dan Belanda, ada di tengah-tengah keharmonisan kedua kubu itu.

Belanda saat itu digambarkan tak senang dengan eksistensi salah satu tim, yaitu Persis. Dengan NIVB, Belanda mengajak Persis beruji-coba.

Pamflet telah disebar, tapi laga dibatalkan sepihak oleh Belanda. Ternyata laga ekshibisi itu hanya akan-akalan Belanda untuk mempermalukan tim pribumi; supaya kehilangan simpati dari pendukungnya.

Tak tinggal diam, Persis mengajak PSIM mengisi laga itu. Ibu Soeratin (istri ketua PSSI) dan Ibu Sahir (istri ketua PSIM) bahkan harus blusukan ke pasar demi mencari pemain dari kalangan tukang sate, tukang cukur, dan lain-lain.

Dalam waktu singkat, terbentuklah tim PSIM yang akan dibawa untuk meladeni Persis. Lalu PSIM saat itu menyelamatkan harga-diri Persis di hadapan pendukungnya sendiri.

Lalu keharmonisan kedua kubu terjadi pada 1936, saat Persis dan PSIM didaulat mewakili tim PSSI untuk bertanding melawan Winner Sports Club, kesebelasan asal Austria.

Api Permusuhan itu Padam Sesaat setelah Kanjuruhan

Bertahun-tahun suporter Solo-Jogja terjebak dalam drama permusuhan. Tapi tragedi Kanjuruhan itu merubah segalanya. Peristiwa itu bermula dari pertemuan organik, 3 Oktober 2023 di Klaten.

Singkatnya, beberapa suporter Solo dan Jogja bertemu dalam acara solidaritas korban Kanjuruhan yang digelar suporter Klaten. Dari situ kata Mataram Islah dan Mataram is Love bergema sebagai wujud persatuan kembali trah Mataram.

Ini adalah momen langka. Bagaimana tidak, kedua kubu sebenarnya beberapa kali telah berikrar damai. Tapi semuanya kerap berakhir mentah, karena hanya melibatkan petinggi kedua kota saja.

Contoh terakhir saat Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Wali Kota Jogja Haryadi Suyuti (yang saat ini ditangkap KPK) bertemu 2021 silam. Kedua pihak saling bertukar jersey Persis dan PSIM. Hasilnya, setahun kemudian masih ada peristiwa kelam bernama “Solo Tembus Jogja”.

Yang menjadi pembeda dari perdamain pasca Kanjuruhan adalah semuanya diinisiasi suporter arus bawah alias akar rumput. Hingga pertemuan di Klaten memicu puncak perdamaian saat kedua tim kembali bertemu di Stadion Mandala Krida pada 4 Oktober 2023.

Solo kembali tembus Jogja, tapi kali ini bukan untuk permusuhan, melainkan demi penyatuan kembali hubungan keduanya. Acara itu tidak hanya dihadiri khusus suporter Solo-Jogja, tapi juga suporter sekitar seperti Sleman dan Bantul.

Saya masih bertugas sebagai wartawan saat serentetan momen langka itu terjadi. Saya tidak menyaksikan pertemuan di Mandala Krida, tapi saya menikmati salah satu momen mengharukan itu; saat meliput keberangkatan salah satu kubu ke kubu lainnya, utamanya dari kubu Solofans.

Mereka berbondong-bondong dengan wajah sumringah. Yang, saya yakini, jika tak ada Kanjuruhan, ribuan orang yang saya saksikan ini adalah orang yang ingin sekali melempar batu ke kubu lawan andai perdamaian tak segera terjadi.

Pentolan suporter atau suporter berlabel penonton biasa yang saya jumpai, semuanya sepakat berdamai. Terus terang, saya merinding jika mengingat momen itu sampai saat ini.

Perdamaian Solo-Jogja adalah Refleksi

Saya tak pernah tahu bagaimana kata islah itu berlanjut di kemudian hari. Sekalipun kedua kubu tetap ingin berivalkan diri, saya yakin akan ada konteks yang lebih jelas dan akan ada rivalitas yang lebih sehat. Solo-Jogja membuktikan setidaknya untuk detik ini, 1 tahun setelah Kanjuruhan berlalu.

Tapi saya sejujurnya sangat miris melihat, bagaimana nada kebencian masih terdengar tahun ini. Ya, beberapa oknum suporter di beberapa daerah masih saja menyanyikan chant bernada kebencian.

Perdamaian pun sejatinya masih kurang untuk membayar tuntas kesalahan kita di masa lalu yang melahirkan peristiwa bernama 1 Oktober Kanjuruhan, apalagi dengan permusuhan?

Tragedi Kanjuruhan adalah tugas semua pihak untuk belajar. Keadilan yang harus ditegakkan, aparat yang lebih memanusiakan, regulasi yang jelas, dan suporter yang harus terus merawat benih perdamaian dari Kanjuruhan. Malangkucecwara.

Penulis
dicky setyawan

Dicky Setyawan

Insan daerah. Suka merokok sebelum sikat gigi.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel