Kali terakhir aku push rank Mobile Legends tepat sebelum menulis cerita ini. Aku sungguh jatuh hati pada permainan moba 5 v 5 ini sejak setahun yang lalu.
Bagaimana tidak, Mobile Legends kelewat seru buat mengalihkan pikiran dari hidup yang begini-begini saja. Membuka gim, memiringkan gawai, dan mulai menantang pemain lain membuatku sejenak melupakan perihnya asam lambung kehidupan.
Apa rank terakhirku? Pada S27 season lalu, aku menamatkan Mobile Legends di tier Mythic 127 poin. Belum Mythical Glory sih, tapi cukup melelahkan sekaligus menyenangkan.
Nggak cupu-cupu amat kan?
Meski banyak waktu habis buat bekerja, aku masih sanggup melewati rank Epic yang jahanam itu. Sudah jadi rahasia umum kalau itu rank kelewat melelahkan. Bukan hanya capek secara fisik, tapi juga mental.
Kalau situ masih berstatus Epical Glory, pertanyakan kembali cara menikmati game ini. Bukan hanya soal ketangkasan bermain game, tapi juga mengapa sarana mengalihkan pikiran dari stres malah bikin kepala makin pening.
Terkadang, hidup begitu sumpek dan pelarian kecil-kecilan seperti main Mobile Legends yang aku butuhkan. Kenyataannya, hidup kerja-kerja-kerja dan kesendirian di ujung Sabtu malam membuat para pekerja bergiat mencari komunitas baru (baca: pelarian baru). Aku terjebak Mobile Legends.
Kau mungkin sebal dengan gerombolan pemuda yang teriak-teriak di sudut warkop yang gemar bilang ‘naisss’, ‘turu dek’, ‘anjir MM-nya jago’, atau ‘savagee’. Ya, mereka kemungkinan besar, atau sudah pasti, sedang main Mobile Legends.
Jika gerombolan tersebut adalah kelas pekerja, mungkin tak lantang-lantang amat. Bisa jadi karena malu akan umur. Meski, ada pula yang suka teriak mengagetkan seluruh isi warkop, seperti aku, jika sudah penat bekerja dan hanya di ML aku bisa se-ekspresif itu.
Mereka mungkin menyalakan suara kencang-kencang di gawai saat mereka menang dan teriakan “VICTORY” terdengar lantang. Sebaliknya, jika kalah, mereka ciut dan malu-malu mengakui kalau mereka tak lebih jago.
Tapi, kau tahu, kuputuskan untuk bermain Mobile Legends karena itulah komunitas paling murah. Sebagai pekerja yang punya tanggungan keluarga, gim ini memberi peluang buat dimainkan walaupun hp-mu speknya kentang sekalipun.
Masuk komunitas game Valorant, jelas tidak ada biaya cukup mahal untuk punya PC. Masuk ride night community? Angin malam adalah bahaya laten bagi pekerja pagi hari, kawan.
Kalah atau menang Mobile Legends tak penting bagiku. Meski terkadang kesal juga ya diumpat dan diatur oleh orang yang mementingkan rank atau Kill Death Assist (KDA) Mobile Legends.
Mereka belum tahu saja kecakapan mereka main Mobile Legends barangkali tak begitu berguna di dunia kerja. Memangnya, apa untungnya flexing rank tertinggi di Mobile Legends saat orang-orang lainnya pamer kekayaan?
Jujur saja, aku merasa Mobile Legends bukanlah hal yang kurasai dengan nikmat. Betapa parah aku ingin berhenti membuka ML namun tak bisa. Rasanya, mencari tempat melarikan diri lain malah lebih menguras tenaga.
Meskipun kehidupan barangkali lebih brengsek, gim ini pun tak kalah kurang ajar. Sialnya, aku dipaksa menikmatinya.
Aku masih butuh pelarian yang tiap saat dapat kubuka, murah dan cepat, yang serasa raga hidup di tubuh Balmond, merasakan adrenalin untuk membunuh hero lawan–rasanya seperti menghabisi nasib buruk.
Sebelum Mobile Legends, aku sungguh tergila-gila dengan sepak bola. Namun, Tragedi Kanjuruhan dan hal-hal setelahnya seperti menyurutkan kemauanku untuk membahas sepak bola lagi.
Aku pernah melamun setelah lose streak lima kali berturut-turut saat main ML. Di tempat duduk paling belakang sebuah kafe, aku melihat jalanan kampung yang sepi dengan dua rumah saling berhadapan.
Pemandangan itu mengingatkanku pada jalan buntu yang ujungnya pernah lahir dan tumbuh rumah masa kanak-kanakku. Dengan pohon jambu hijau dan ulat-ulat bulu. Dengan suara teriakan ibu yang menyuruhku mandi sebelum azan Maghrib berkumandang.
Tetapi, sungguh aku benci dengan tempat duduk paling belakang ini. Hanya ingatan tentang rumah dan ibu lah yang membuatku bertahan.
Aku selalu dapat menemukan kesepian pada ruang di deretan tempat duduk di belakang kafe. Bertemu dengan orang-orang yang sama kesepiannya. Mungkin mereka juga pekerja. Mereka barangkali juga berpikir apakah bayarannya sepadan dengan energi yang mereka keluarkan.
Pekerja dan kesepian, bah, seperti lelaki-lelaki karangan Murakami. Hanya kurang seks dan masalah asmara yang liar yang belum kutambahkan dalam cerita ini.
Besok, mungkin aku akan tetap bekerja, pulang malam, dan main Mobile Legends hingga bosan, sebab kini aku melakukannya sekadar untuk tetap hidup. Begitu terus sampai kemudian tanpa sadar siklus ini terjadi berulang-ulang.
Serendah-rendahnya kelas Mobile Legends sebagai pelarian, ia tetap memberi ruang bagi para pekerja sepertiku merasakan secuil kenikmatan. Barangkali tak jauh beda dengan penikmat drama korea (drakor).
Kau tahu, aku pinjam perkataan Willian Moris di buku ‘Kerja atau Dikerjain? (2023) terjemahan ‘Useful Work Versus Useless Toil’, hidup secara tidak langsung memaksa orang bekerja untuk upah sekenanya saja dan yang penting ada waktu untuk beristirahat atau nonton drakor atau main game murah seperti Mobile Legends.
Hidup terasa tak mudah untuk kita, pekerja yang penuh tanggungan. Hidup tak pernah berbelas kasih pada sambatan kelas pekerja yang gajinya segera tandas tak lama setelah tanggal gajian.
Hidup barangkali tak sesulit itu, kecuali kalau kau PNS Pajak atau terlahir dari orang kaya yang tengil itu.
Baca Juga: Seandainya Tukang Becak Berlaga di Olimpiade