Makan Siang Gratis vs Kekuatan Pangan Lokal, Pemerintah Jangan Salah Langkah!

Makan Siang Gratis vs Kekuatan Pangan Lokal, Pemerintah Jangan Salah Langkah!

Makan Siang Gratis vs Kekuatan Pangan Lokal, Pemerintah Jangan Salah Langkah!
Ilustrasi oleh Vivian Yoga Veronica Putri

Tugas pemerintah harusnya memfasilitasi pengolahan makanan dari sumber daya alam lokal, bukan malah mendikte ini, lho, makanan dan minuman yang layak!

Makan siang belakangan banyak diperbincangkan di aplikasi X (dulu Twitter). Musababnya karena ini menjadi salah satu program kerja andalan Prabowo – Gibran.

Di X, banyak perdebatan mengenai program makan siang gratis hingga berhulu menjadikan anak-anak yang makan nasi, sayur dan ulat sagu sebagai bahan belajar bersyukur.

Gambar anak yang makan sayur dengan tulisan ajakan untuk belajar bersyukur membuat saya bingung, apa yang perlu saya pelajari dari anak yang makan sayur? Wong saya tiap hari juga biasa makan sayur rebus.

Kemudian menyoal ulat sagu yang dianggap tertinggal, padahal kandungan proteinnya tinggi. Kalau tidak percaya bisa Anda googling sendiri. Banyak pakar yang sudah melakukan uji coba terhadap kandungan protein dalam ulat sagu.

Baca Juga: Indomie dan Mengapa Hilirisasi Tidak Sesederhana Janji Pemerintah

Sinis terhadap Real Food, Tertipu Masifnya Ultra-Processed Food

Mengutip dari Kompas.com, data gizi pangan 100 gram ulat sagu panggang terdiri dari 11,9 gram protein, 30,3 gram lemak, 4,8 gram serat, dan 14,8 gram karbohidrat.

Ini membuktikan kalau makanan khas saudara kita di timur dan di kepulauan itu sebenarnya sudah memiliki varian gizi yang dibutuhkan sehari-hari.

Kita saja yang sinis dan menganggap mereka tertinggal, sehingga perlu dicekoki dengan makanan instan produk kapitalis.

Makanan instan kalau kata saya bukan makanan beneran, sih. Dan pakar gizi juga sudah memvalidasinya, kok. Sewaktu saya masih menjadi wartawan magang di kanal kuliner di suatu media, saya mewancarai seorang ahli gizi dan juga dokter, Dr. Tan Sot Yen, M.Hum.

“Menghindari makanan kemasan justru dianjurkan karena selain bukan sumber pangan sehat juga malah bikin mudah sakit karena produk ultra-prosesnya,” ujarnya. Maksudnya ultra-proses itu seperti apa?

Makanan kemasan yang melalui ultra-proses dalam artian melewati banyak proses dan penambahan bahan buatan yang memiliki kandungan gula dan garam lebih banyak. Selain itu, terdapat penambahan pewarna buatan, penambah rasa dan pengawet.

Bahkan suatu studi yang melibatkan 10.000 orang dewasa di Amerika menemukan bahwa mengonsumsi makanan ultra-proses meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.

Jika dibandingkan dengan makanan kemasan atau yang telah melalui banyak proses, makanan segar yang dimasak sederhana justru lebih sehat. Sesungguhnya makanan kita tidak perlu dibantu.

Berbeda dengan negara empat musim, makanan segar tanpa proses justru lebih mahal. Sebab sumber daya alam mereka tidak dapat diperoleh sepanjang tahun. Harga makanan instan justru lebih murah dibandingkan sumber pangan segar di sana.

Sementara di Indonesia, harga-harga makanan instan relatif mahal walau tak semua. Sehingga, terkadang dielu-elukan sebagai makanan yang lebih layak.

Padahal, coba saja Anda lempar biji Semangka di depan rumah. Saya jamin, besar kemungkinan Semangka akan tumbuh di halaman rumah Anda.

Daripada Makan Siang Gratis, Mengapa Tak Gencarkan Kampanye Gizi Makanan?

Hal yang terus mengganggu saya adalah alih-alih melancarkan program makan siang gratis yang nggak tahu dananya dari mana, lebih baik menggencarkan sosialisasi makanan sehat bergizi, nggak sih?

Mungkin Kemenkes bisa membuat program bahaya makanan ultra-proses dan pentingnya makan makanan gizi seimbang. Kalau program itu sudah ada, lebih baik dievaluasi dan dimodifikasi lagi, deh!

Miris sekali pemikiran zaman sekarang yang melihat seakan makanan kita perlu dibantu. Padahal tanah kita subur. Kenapa tidak kita manfaatkan saja yang ada di alam untuk dikonsumsi sehari-hari?

Alasan mengapa makanan yang kurang baik bagi tubuh ini laris mungkin karena kita terbiasa menonton iklan. Kita sudah tercekoki iklan makanan instan yang katanya lebih bergizi.

Sehingga, muncul pemikiran bahwa makanan bagi teman-teman, terutama yang di kepulauan, perlu dibantu.

Padahal, sumber daya alam mereka kaya. Kita saja yang merusak dan mendikte agar semua orang makan makanan yang sesuai standar nasional. Sudah seperti program swasembada pangan era orde baru saja.

Program Potensi Sumber Pangan Lokal yang Masih Jadi Mitos

Daripada mencekoki paham makanan ala standar nasional, bukankah lebih baik menggali potensi sumber pangan sesuai kearifan lokal? Misalnya saja di Sumatera Barat, tempat saya lahir dan tumbuh, di mana Kelapa tumbuh subur di pesisir pantainya.

Winarno dan Agustinah dalam buku Herba dan Rempah: Aplikasinya dalam Hidangan bahkan menyebutkan bahwa tidak hanya di pesisir pantai Sumbar, Kelapa juga tumbuh subur di pegunungan.

Tanaman ini sejak dahulu sudah dibuat menjadi minyak kelapa sampai dengan dibuat rendang. Namun, seiring waktu, minyak kelapa sudah jarang ditemukan dan kini digantikan oleh minyak kelapa sawit yang membabat habis hutan dan berhasil mengeruhkan sungai kami.

Saya sendiri tinggal di kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Jambi. Saudara kami tinggal di Kecamatan Pelepat, Jambi. Pada 2008, sungai di sana, bukan main jernihnya.

Udaranya juga sejuk dan masih banyak pepohonan rindang. Namun, karena perusahaan sawit, terakhir saat saya berkunjung pada 2023, sungai tersebut sudah keruh, pepohonan dibabat habis, dan panas terik luar biasa menusuk kulit.

Selain itu, kondisi alam dan kearifan lokal pulau Sumatera juga memiliki keunikan tersendiri. Salah satunya Kepulauan Mentawai yang pernah saya kunjungi tahun lalu.

Orang Mentawai memiliki makanan khas yang sama seperti kawan-kawan di Papua, yaitu ulat sagu. Selain itu, ada juga lokan (kerang air tawar berukuran besar) dan makanan laut.

Berbeda dengan kuliner Sumbar yang sering memanfaatkan Kelapa, di Mentawai justru mereka tak mengenal tradisi goreng-menggoreng.

Baik ulat sagu, kerang, mau pun udang, umumnya dibakar atau direbus. Untuk sumber karbohidrat, masyarakat memanfaatkan sagu yang tumbuh subur dari pedalaman hutan Mentawai.

Mereka, utamanya yang berada di Pulau Siberut, masih memegang erat tradisi dan budaya, seperti misalnya berburu untuk mencari makanan ke dalam hutan atau ke laut lepas.

Nah, berdasarkan pengalaman dan hasil telisik menelisik, saya kira makanan kita sebenarnya sudah tersedia di alam. Selain itu, masyarakat juga memiliki cara tersendiri dalam mengolah apa yang ada di sekitar mereka.

Tugas pemerintah harusnya memfasilitasi pengolahan makanan dari sumber daya alam lokal, bukan malah mendikte ini, lho, makanan dan minuman yang layak! Makanan kita tidak perlu dibantu dengan makan siang gratis. Justru yang perlu diberdayakan adalah sumber pangan dari alam kita yang kaya. 

Dan sekadar informasi tak penting, bagi rakyat miskin kota yang ingin makan siang gratis, datang saja ke acara dinas di hotel berbintang. Tinggal mengaku saja sebagai tamu undangan, saya jamin pasti dapat!

Jadi, apa urgensinya makan siang gratis? Yakin yang sampai ke masyarakat makanan gizi seimbang atau malah nasi dan sop tahu saja?

Penulis

Ais Jauhara Fahira

Aku nganggur maka aku berpikir
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia
Janji Basi & Dangkal Atasi Pengangguran Gen Z Ibu Kota

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel