Membaca Sejarah Depok, Membela Nasib Seorang Kawan

Membaca Sejarah Depok, Membela Nasib Seorang Kawan

Membaca Sejarah Depok, Membela Nasib Seorang Kawan
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Mungkin, alasan yang memperkuat sekaligus menyebabkan Ammurabi bangga memilih rumah di Depok adalah soal kesamaan nasib. Ammurabi dan Depok sama-sama sedang berjuang mencari identitas.

Saya ingin bercerita tentang kawan saya, Zarathushtra Ammurabi. Saya sengaja sedikit memplesetkan nama lengkapnya tanpa menghilangkan esensi kebenarannya.

Yup, Zarathushtra memang merujuk pada nama Nabi Zoroaster bangsa Persia kuno. Sedangkan Ammurabi berasal dari nama Raja Babilonia yang merancang undang-undang hukum pertama di dunia.

Mulanya, Ammurabi tinggal di rumah kakek neneknya yang sangat strategis, tepatnya dalam perumahan dekat Blok M Square, terminal bus TransJakarta, dan stasiun MRT.

Sebagai mantan rekan kerjanya, saya sempat terkejut Ammurabi tidak bergaya bak ‘anak Jaksel’ dengan ciri khas bahasanya. Ammurabi terkesan enggan memedulikan privilege sebagai warga Jakarta Selatan.

Ia justru lebih sering berupaya membanggakan latar belakang keluarganya, dengan ayahnya yang dari Minangkabau dan ibunya yang berdarah Jawa.

Tahun lalu, ibunya meninggal dunia sehingga Ammurabi menjadi yatim piatu dan sebatang kara karena anak tunggal. Keluarga besarnya pun menjual rumah peninggalan kakek neneknya dan Ammurabi terpaksa angkat kaki.

Beberapa bulan lalu, ia menggunakan uang warisan keluarganya untuk membeli rumah di wilayah Limo, Depok. Pertimbangannya karena harga dan tempat kerjanya yang sekarang berada di Ragunan, Jakarta Selatan.

Ammurabi juga menguatkan keputusannya untuk memilih membeli rumah di wilayah Limo dengan alasan Depok pernah menjadi tempat tinggal ibunya sebelum melahirkannya.

Kebanggaan Ammurabi menjadi Warga Depok

Saat pertama kalinya mengunjungi rumah baru Ammurabi, saya terdiam terheran-heran. Berangkat dari Bekasi, saya menuju rumah Ammurabi lewat Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Setelah melintasi Taman Margasatwa Ragunan, berbagai nuansa unik saya rasakan. Setiap wilayah yang saya lewati memberikan suasana berbeda dengan gradasi yang terkadang sangat kontras.

Wajah kota dengan gaya kampung terwujud dalam beragam lapisan lingkungan sosial beserta ciri infrastruktur fisiknya.

Bias kota raksasa Jakarta tergambar selama perjalanan menuju rumah Ammurabi. Di balik ketenaran kawasan Kemang dan Sudirman Central Business District (SCBD), Jaksel juga menyimpan penampilan bercorak kampung kota.

Namun, saya semakin tertegun usai memasuki wilayah Depok. Adakalanya pemandangan sekeliling terlihat mirip lanskap kota Bekasi. Tetapi, kondisi jalan di sekitar tol yang pengap dan panas membuat saya teringat Jakarta.

Kemudian, penampakan sawah, kebun bambu (istilah Jawa barongan), sampai bentangan alamnya membuat saya terkenang dengan sebuah desa yang asri di Mojokerto, Jawa Timur.

Bahkan, terdapat pacuan kuda di tengah perkampungan. Tata letak rumah warga hampir serupa deskripsi laporan Oostelijk; Java en Madoera dari J. Hageman pada abad ke-19.

Di situ dikatakan bahwa perkampungan pribumi terpencar-pencar di banyak tempat dan antara satu rumah dengan yang lain dihubungkan jalan setapak berkelok-kelok tidak beraturan.

Purnawan Basundoro dalam buku Merebut Ruang Kota; Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an menilai bahwa hal tersebut menunjukkan perkampungan pribumi tidak dibangun dengan merujuk pada jalan sebagai orientasi utamanya. Akan tetapi, jalanlah yang muncul belakangan sebagai akibat pendirian rumah.

Sering dijumpai lebar jalan tidak sama antara ruas satu dengan yang lain. Ada pula beberapa rumah yang dibuat terlalu menjorok ke jalan.

Setibanya di rumah Ammurabi, saya mendapati banyak koleksi buku peninggalan orang tuanya. Dari buku bergenre agama dan edukasi seks, kumpulan puisi lama, sampai yang bertema filsafat seperti Mitos Sisifus (Albert Camus) dan Zarathustra (Nietzsche).

Padahal, Ammurabi lulusan ilmu tanah di perguruan tinggi negeri dan sekarang menjadi budak birokrat.

Ia mengaku bangga menjadi warga Depok dan tampak senang menghuni bangunan dalam perumahan dengan tata letak ruang berantakan.

Pembebasan lahan untuk perumahan itu belum selesai, sehingga masih memperlihatkan jejak bekas perkampungan warga.

Tembok pembatas antara perumahan dan kampung sebagai penanda batas untuk memisahkan permukiman berdasarkan kelas sosial juga sepenuhnya menutup akses di luar gerbang utama.

Tetapi, tembok pembatas ini tidak bisa mencegah bising suara sound system dari perkampungan yang mengganggu tidur warga perumahan.

Bahkan, pernah viral di media sosial sebuah rekaman video dari dalam tembok perumahan berisi keluhan terhadap kelakuan warga kampung yang memutar musik dangdut sangat keras sampai tengah malam.

Situasi tersebut mendesak saya untuk berkilas balik dengan membayangkan Ammurabi sebagai pegawai pemerintahan kolonial Belanda yang tinggal di permukiman orang-orang Eropa pada awal abad ke-20.

Menurut Purnawan Basundoro dalam buku Pengantar Sejarah Kota, orang-orang Eropa membangun permukiman bercitra modernitas sebagai strategi untuk menggusur warga kampung atau menunggu rumah-rumah kumuh mereka kebakaran.

Kini, pembebasan seluruh lahan oleh pengembang perumahan tempat tinggal Ammurabi lebih ke menunggu warga kampung mau menjual tanah (beserta bangunan di atasnya) dengan harga terjangkau. Namun, ‘cocoklogi’ dengan situasi masa kolonial itu nampaknya terlampau tidak relevan.

Selain sekarang tidak ada politik segregasi ras ala kolonial, Ammurabi juga justru bersikap inklusif dan tidak diskriminatif terhadap warga kampung. Bahkan, ia mengenali latar belakang suku dari beberapa warga kampung yang dipekerjakannya untuk membenahi rumah dan merawat kebunnya.

Ammurabi dan Depok yang Terus Mencari Identitas Diri

Ammurabi pernah bercerita tentang ke-random-annya yang mendadak suka mendengar musik berirama dangdut koplo dan lagu pop berbahasa Minang.

Ammurabi berupaya mengasosiasikan dirinya dengan budaya Jawa dan Minangkabau disertai berbagai dalih kedekatan emosional melalui kedua orang tuanya. Bahkan, ia juga ingin merayakan lebaran dengan mengikuti tradisi Betawi arak-arakan ondel-ondel.

Segala keabsurdannya ini bermuara dari permasalahan krisis identitas. Ammurabi lahir di Jakarta Selatan, dibesarkan dari keluarga broken home, dan sejak kecil diasuh budenya yang belum menikah.

Saat pertama kali berteman akrab, ia mengaku kepada saya soal kebingungannya tentang identitas dirinya dan kondisi keluarganya, termasuk kesulitannya memahami karakter maskulinitas pada dirinya karena absennya figur ayah sebagai role model dalam kehidupannya selama ini.

Mungkin, alasan terakhir yang memperkuat sekaligus menyebabkan Ammurabi bangga memilih rumah di Depok adalah soal kesamaan nasib. Ammurabi dan Depok sama-sama sedang berjuang mencari identitas.

Tri Wahyuning M. Irsyam dalam buku Berkembang dalam Bayang-bayang Jakarta; Sejarah Depok 1950-1990-an menilai bahwa Depok terjebak dengan permasalahan Jakarta sehingga masih terus berjuang untuk mendapatkan identitasnya.

Keterjebakan ini disebabkan karena Depok harus menanggung berbagai beban berat Jakarta, terutama menampung kelebihan penduduknya disertai tuntutan menyediakan fasilitas dan permukiman berskala besar.

Depok mengalami keterpinggiran struktural dan hanya menjadi daerah pinggiran di Provinsi Jakarta maupun Provinsi Jawa Barat. Kedekatan jarak dengan Jakarta menyebabkan Depok menjadi kota yang krisis identitas dan semakin terasing dari pusat administrasinya di Provinsi Jawa Barat.

Depok dituntut untuk bisa mandiri dan mencegah perkembangan penduduknya berbalik menjadi beban Jakarta, sebagaimana yang terjadi pada kota satelit Kebayoran.

Padahal, pemerintah Indonesia telah menjadikan Depok sebagai kota setengah hati yang senantiasa bergantung pada induknya, Jakarta.

Di sisi lain, Depok mengalami kesulitan membentuk identitasnya akibat kelambanannya dalam berkembang menjadi kota yang mandiri.

Menurut Irsyam, kelambanan ini juga disebabkan dari warisan keekslusifan yang asal usulnya dari tanah partikelir sehingga berdampak pada sulitnya beradaptasi mengubah citra keudikan Depok dalam memori kolektif masyarakat.

Tanah partikelir itu sendiri milik mantan petinggi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Cornelis Chastelein, yang diwariskan kepada komunitas Belanda Depok.

Pemindahan Universitas Indonesia (UI) ke Depok pada 1987 memang berdampak pada terjadinya transformasi sosial-ekonomi dan budaya. Namun, menurut Irsyam, UI belum menjadi identitas baru bagi Depok.

Persis seperti Ammurabi yang juga pindah rumah ke Depok, namun tak kunjung memperoleh identitas baru. Meski demikian, setidaknya sampai sekarang, Ammurabi, dan juga Depok, masih terus berjuang untuk memperoleh identitas barunya.

Penulis

Manda Firmansyah

Seseorang yang bercita-cita menjadi Menteri Urusan Tanah Jajahan
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel