Semenjak J.League membuka tayangan internasional di Indonesia, selepas masuknya Arhan ke Tokyo Verdy setahun silam, membuat saya mulai iseng menonton pertandingan klub-klub di liga Jepang tersebut.
Klub yang menarik perhatian saya salah satunya adalah pemuncak klasemen sementara, Vissel Kobe, mantan klub yang pernah dibela Andres Iniesta; Hokkaido Consodole Sapporo, klub yang tengah dibela gelandang timnas Thailand, Supachok sekaligus klub lama bintang Thailand, Chanatip; dan terakhir adalah Kashima Antlers yang katanya MU-nya Jepang.
Ketertarikan saya pada Vissel Kobe dan Hokkaido Consodole Sapporo adalah karena rekam jejak pemain yang pernah membela klub itu, sementara untuk kasus Kashima Antlers sendiri karena namanya keren aja.
Walaupun masih di wilayah Asia, J.League tidaklah semembosankan itu. Di liga ini kita akan jarang diperlihatkan lomba lari atau main serampangan bahkan kerusuhan antar suporter yang akrab dengan sepak bola kita.
Justru yang ada hanyalah fanatisme sehat serta permainan taktis yang jadi sajian utama saat Anda menonton liga ini.
Baca Juga: Sepak Bola dan Pemujaan Kolosal
Melihat kemajuan liga sepakbola dari bagian timur asia ini, membuat saya memandang prihatin tentang sistem sepak bola negara ini – padahal dulu mereka belajar sama kita.Â
Kita hanya memiliki liga yang terbagi menjadi 3 kasta, Liga 1, Liga 2 dan Liga 3. Terkhusus untuk Liga 3 sendiri, memiliki sistem promosi yang rumit, meliliki berbagai play off yang melibatkan klub “tidak aman” yang ada di Liga 2.
Sistem pembinaan kita pun masih tertinggal. Elit Pro Academy yang katanya sebagai wadah bagi klub-klub muda nyatanya masih belum menjadi budaya.
Liga antara sekolah yang dulu rutin pun kini sudah lama tidak terdengar ditelinga (saya). Cukup berbanding terbalik dengan apa yang diperlihatkan Jepang yang memiliki All Japan High School Soccer Tournament (kalo di anime akrab disebut InterHigh), J-Youth dan berbagai kompetisi level usia lain.
Mengatasi rasa miris dengan kemandeg-an sepak bola kita saat ini, membuat saya mulai berfantasi, tentang bagaimana univers sepak bola yang ideal di Indonesia.
Mari berandai-andai…
Sistem Kasta Liga
Kita mengenal Liga 1 sebagai kasta tertinggi sekaligus level sepak bola profesional yang ada di Indonesia, meski istilah profesionalisme ini masih rada abu-abu.Â
Sementara liga di bawahnya, Liga 2, hampir bisa disebut kompetisi semi professional jika memang level ini ada sistem kasta persepakbolaan Indonesia. Terakhir, Liga 3 adalah kompetisi amatir yang memiliki basis di tiap provinsi.
Hanya dengan tiga liga dalam piramida sepakbola membuat batas antara amatir dan professional menipis. Klub yang mungkin terbiasa dengan kompetisi amatir, saat promosi seakan dipaksa professional, ini juga yang menciptakan narasi profesionalitas Liga 1 yang abu-abu.
Dalam univers sepakbola yang saya bayangkan, setidaknya ada 4 level kasta sepakbola di Indonesia, yakni : profesional, semi profesional, amatir dan akar rumput.Â
Terkhusus untuk akar rumput, konsep ini mengadaptasi kasta terbawah dalam liga Inggris yang melibatkan klub-klub daerah kecil yang jika kita terjemahkan ke sepakbola kita selevel tarkam.
Baik liga professional, liga semi professional, liga amatir dan liga akar rumput, tidak hanya diwakili oleh satu liga saja. Dalam liga professional misal, ada sekitar tiga liga didalamnya, terdiri dari Elite Liga Indonesia (16 tim), NEO Liga Indonesia (18 tim) dan Liga Utama (20 tim).
Sementara dalam lingkup liga semi professional, ada Liga Pertama (20 tim), Liga Kedua (44 tim) dan Liga Ketiga (96 tim). Masuk ke liga amatir, terdapat sebuah pembagian wilayah, yakni wilayah barat dan wilayah timur yang masing-masing terdapat Liga 1 (24 tim), Liga 2 (52 tim) dan Liga 3 (112 tim).
Terakhir liga akar rumput yang merupakan versi resmi dari sepakbola tarkam, memiliki 3 liga, yakni Liga Primer, Liga Super dan Divisi Liga dengan pembagian liga yang lebih spesifik lagi.
Di Liga Primer misal, masih dalam lingkup wilayah barat dan timur, namun terdapat zona-zona yang memisahkannya, yakni Zona Sumatera 1, Sumatera 2, Jawa dan Bali-Nusa Tenggara yang masuk wilayah barat.
Sementara wilayah timur berisi Zona Kalimantan, Sulawesi, Timuran 1 dan Timuran 2. Lalu untuk kasta dibawah Liga Primer, yakni Liga Super menaungi provinsi-provinsi dibawah zona-zona tadi.Â
Yang terbawah adalah Divisi Liga, dengan naungan lingkup yang lebih kecil lagi, yakni dibawah zona-zona dari berbagai Kabupaten yang ada di bawah Liga Super Provinsi.
Menjawab Kebingungan
Bingung? Baiklah, saya akan jabarkan sebuah perumpamaan yang lebih mudah dimengerti.
Katakanlah saya memiliki sebuah klub akar rumput berbasis di kabupaten Kebumen, namanya misal sebut saja Bhintara Sakti Kebumen yang mewakili kecamatan Kebumen.
Pertama-tama klub saya akan bermain di Divisi Liga A yang cakupan wilayahnya meliputi Kabupaten Kebumen, Banyumas, Cilacap dan Purbalingga. Singkatnya saya menjuarai Divisi Liga dan lolos bersama juara Divisi Liga lain untuk bermain di Liga Super Jawa Tengah.
Di sini klub saya akan berhadapan dengan klub dari Semarang, Solo, Jepara dan jawaran tiap Divisi Liga lain untuk memperebutkan tiket promosi ke Liga Primer Jawa.
Singkat cerita lagi, klub saya juara dan naik ke untuk berkompetisi di Liga Primer Jawa, bertemu dengan klub-klub dari Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Barat dan klub-klub yang masuk dalam provinsi cangkupan zona Jawa.Â
Jika kembali lolos, klub saya akan mendapat kesempatan untuk menjadi klub amatir, dengan bertanding dalam play off melawan klub-klub degradasi dari kasta terbawah liga amatir, yakni Liga 3.
Bhintara Sakti Kebumen memenangkan play off, dan resmi menjadi klub amatir, bertanding di Liga 3 wilayah barat. Seterusnya, klub saya terus promosi ke Liga 2, Liga 1 dan puncaknya bermain di liga semi professional, yakni terlebih dahulu melalui Liga Ketiga, Liga Kedua dan Liga Pertama, baru kemudian menjadi klub professional level C yang bermain di Liga Utama.
Jika kembali beruntung di Liga Utama, dan lolos ke NEO Liga Indonesia, pada musim berikutnya klub saya akan bermain di kasta tertinggi, yakni Elite Liga Indonesia.
Melihat sekenario barusan, butuh waktu hingga 12 tahun dari awal mulai berkompetisi untuk bisa bermain di kasta tertinggi, dan jika anak saya yang berusia 12 tahun (missal) mulai bermain di klub saya pada awal debut, baru di usia 24 tahun ia merasakan panggung kasta tertinggi.
Sebenarnya banyak faktor lain yang bisa memperbaiki sepak bola kita ini, yang jelas bagi saya dengan fantasi ini setidaknya akan membuat sepak bola kita jauh lebih tertata walau hanya di angan saya sendiri, untuk nyatanya saya serahkan ke pemangku kebijakan saat ini hehe.