Jika tiba-tiba saya dibangunkan dari tidur lalu dengan isengnya langsung ditanyai, kira-kira dari manakah Dajjal akan keluar? Maka saya akan menjawab sekenanya, “Blora!”
Tentu saja jawaban saya hanyalah jawaban suka-suka. Meski guyon, saya tak asal menjawab. Ia berasal dari persepsi bawah sadar yang berupa kumpulan informasi soal Blora.
Semua yang saya dengar mengenai Blora didominasi oleh hal-hal tak masuk akal. Misalnya soal hutan gaib yang mampu menelan bus, keberadaan makhluk astral berwujud “tokek berpantat”, atau soal HP teman saya yang disembunyikan makhluk gaib saat kencing sembarangan di tepian jalan Blora.
Hal-hal normal lainnya relatif jarang. Kalau pun ada, biasanya sangat ekstrim seperti konflik lahan atau kesenjangan infrastruktur yang sama sekali tidak ada asik-asiknya buat diingat.
Tentu saja cerita-cerita yang absurd lebih melekat di kepala saya. Apalagi semua itu saya dengar langsung dari penutur pertama, baik orang asli Blora maupun yang pernah berkunjung ke sana.
Saya sadar betul bahwa persepsi saya sangatlah bias dan subyektif. Tentu saja tidak ada niatan untuk menghakimi. Semata-mata hanya karena saya merasa di Blora-lah banyak kejadian mistis dan di luar nalar.
Namun dari situ, saya juga belajar untuk lebih memaklumi jika ada orang yang menanyakan mengapa Madura (tempat asal saya) begitu terbelakang dan orang-orangnya hobi bikin onar. Biasanya dengan serampangan saya akan menjawab kalau suku Yakjuj Makjuj itu, Y-nya adalah Yahudi dan M-nya adalah Madura.
Baca Juga: Agak Sulit Menjadi Laki-Laki (di) Madura
Persepsi yang Dibentuk oleh Bacaan
Cerita, apapun bentuknya: dongeng, novel, gosip, artikel, termasuk cerita panas di forum dewasa membentuk persepsi atas realita. Semakin banyak informasi yang diperoleh, maka semakin kaya juga persepsi kita.
Mustahil bagi manusia untuk memiliki pemahaman dan persepsi yang utuh atas segala hal. Karena itulah, manusia membaca. Membaca berarti mendapatkan pengalaman baru tanpa perlu mengalami sendiri.
Dalam sebuah penelitian juga ditemukan bahwa semakin banyak seseorang membaca, semakin banyak pula sel-sel neuron otak yang saling terhubung. Seperti otot, otak makin kuat jika terus diasah, dan ia makin sanggup memahami sebuah ihwal yang kompleks sekalipun.
Dengan kata lain, semakin banyak seseorang melahap buku, semakin ia menginginkan bacaan yang makin mengasah dirinya. Semakin ia terasah dan matang, maka semakin bijaklah ia dalam bersikap. Idealnya sih seperti itu.
Dalam sebuah wawancara, Agus R. Sarjono, seorang sastrawan dan budayawan mengungkapkan bahwa aktivitas membaca, termasuk sastra, akan membuat pembacanya untuk tidak grusa-grusu, lebih santai menyikapi, terbiasa untuk tidak mudah menghakimi, serta membuka perspektif terhadap kemungkinan-kemungkinan lain dalam kehidupan.
Dengan membaca, manusia menyingkat waktu untuk belajar dari pengalaman. Misalnya kita jadi tahu mengapa konflik Palestina-Israel terjadi beserta sejarahnya tanpa perlu berenang ke Gaza. Atau bagaimana kita belajar untuk tidak bersikap brengsek dan tidak selingkuh tanpa perlu bergosip dengan tetangga Virgoun.
Evolusi menjadikan manusia untuk mencintai pengetahuan. Karenanya, buku menjadi salah satu aset dalam meneruskan estafet peradaban. Ibarat pepatah, Roma tidak dibangun dalam semalam. Peradaban juga dibangun melalui pewarisan pengalaman, ide, dan impian. Seperti kata narator dalam prolog anime One Piece.
Peradaban yang diwariskan lewat buku atau bacaan itu mensyaratkan suatu hal, yakni kegemaran membaca. Peradaban yang tidak gemar membaca berarti kehilangan pewarisnya, tinggal menunggu waktu sebelum mereka musnah.
Fiksi vs Non-fiksi: Kegagalan Kita Sebagai Pembaca
Tapi…
Membaca tidak hanya asal membaca. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita sudah menjadi pembaca yang baik? Terutama soal pilihan bacaan antara fiksi dan non-fiksi yang seakan menjadi perdebatan wajib di hampir semua book club.
Membaca, dalam hal ini tidak terbatas pada bacaan yang ‘berat’ seperti buku sains saja. Namun juga sastra. Secara awam, banyak anggapan yang memosisikan buku sains lebih unggul daripada sastra. Sebenarnya tidak, sebab keduanya dibaca dengan cara yang berbeda. Keduanya, baik buku fiksi dan non-fiksi itu menakjubkan dengan caranya masing-masing.
Buku sains dibaca dengan cara telanjang, yaitu dengan melepaskan atribut sosial, agama, dan budaya. Michio Kaku pernah menganalogikan jika peradaban manusia hancur dan diulang dari awal, maka rumus-rumus dalam buku sains akan tertulis sama persis dengan saat ini. Keruwetan siswa menjelang ujian matematika bab kalkulus juga bakalan persis sama.
Sementara itu, lebih dari sekadar kisah, buku fiksi merupakan sebuah dokumentasi atas persepsi penulisnya terhadap realita yang terjadi. Fiksi yang baik tidak berangkat dari imajinasi kosong, tapi merupakan cermin atas fenomena yang terjadi. Oleh karena itu setiap fiksi itu unik dan tidak akan terulang dalam sejarah.
Permasalahan pembaca di Indonesia saat ini, menurut saya adalah kesalahan perlakuan dalam membaca fiksi dan non-fiksi. Jamak ditemui orang membaca buku atau artikel sains lalu menanggapi, “Ah, itu kan hanya teori.” Sehingga muncullah anggapan konyol bahwa teori evolusi dianggap sebagai upaya menyerang agama.
Apa saat ini kamu sedang kena campak? Kena folio? Kena malaria? Enggak? Kalo gitu berterima kasihlah kepada Charles Darwin.
Begitu pula sebaliknya. Buku fiksi dibaca dalam kerangka pemahaman sains juga sama-sama konyol. Misalnya penentuan hari baik, weton, primbon, dan ramalan dijadikan pakem dan tolok ukur atas kegiatan sehari-hari.
Saya sendiri banyak mendapatkan kisah pilu bagaimana sebuah hubungan kandas hanya gara-gara weton tidak cocok. Sistem semacam itu sudah nggak up to date dan enggak berdasar. Kalau misal yang menerbitkan buku soal “kapan hari baik buat keluar rumah” adalah BMKG, saya bakalan lebih percaya.
Permasalahan lain adalah adanya buku-buku konyol yang selalu saja nyelip di antara rak buku dengan genre tertentu. Misal buku soal Hitler mati di Garut yang bisa-bisanya nyelip dalam rak kategori sejarah membikin saya mengernyitkan alis dan percaya seandainya buku-buku itu bisa hidup di malam hari, buku semacam itu akan di-bully oleh buku satu rak.
Begitu pula dengan kategori sastra. Faktanya, banyak karya sastra yang hanya ditulis untuk show off dan ajang narsis saja. Hanya sebatas media ekspresi tanpa pemikiran yang matang untuk apa mereka menulis. Implikasinya, orang-orang membaca sastra yang dangkal dan bahkan kosong isinya.
Contohnya, bagaimana karya-karya yang pernah menduduki peringkat populer di wattpad adalah cerita yang merendahkan logika? Misal soal CEO kaya psikopat yang dengan tidak masuk akalnya jatuh cinta pada perempuan miskin yang tomboy. Cerita macam itu yang kemudian diterbitkan di rak berlabel best seller di toko-toko buku besar. Menyebutnya sebagai bacaan saja saya pun tak rela.
Mungkin di antara para pembaca yang budiman ada yang tidak terima dengan nada sinis saya. Lantas, ketika saya mengolok-olok bacaan semacam itu, apalagi di hari buku yang indah ini, apakah saya telah melakukan book shaming?
Mempertanyakan Ulang Fenomena Book Shaming
Book shaming adalah istilah yang sempat menjadi trend beberapa tahun belakangan, artinya mengolok-olok selera bacaan orang lain. Saya sendiri menolak penyematan istilah book shaming ini sebagai sebuah frasa.
Bagi saya pribadi, kecenderungan untuk menentukan mana bacaan yang bagus dan tidak adalah fenomena alami. Sudah insting manusia untuk memilah mana yang lebih bagus dan tidak sejak jaman purba. Tidak perlu dibesar-besarkan dengan tudingan berlebihan semacam book shaming.
Sebagai komparasi, kita bisa dengan santainya mengatakan bahwa warteg ini lebih enak dari yang itu. Lantas, mengapa tidak dengan buku?
Mari sedikit berandai-andai. Betapa ribetnya dunia kalau sedikit-sedikit sesuatu dianggap mempermalukan. Bayangkan jika pemilik warteg kemudian menggembar-gemborkan warteg shaming atau malah mempopulerkan slogan warteg food matters.
Seperti halnya masakan warteg, saya percaya bahwa kualitas sebuah karya bisa dinilai secara hierarkis. Ada makanan yang dipuji juri Masterchef, ada pula yang bahkan dilepeh. Ada buku yang lebih bagus ketimbang buku yang lain. Karena itulah ada yang namanya ajang penghargaan buku.
Membandingkan buku yang ngomongin kalau Nabi Sulaiman membangun Borobudur dengan buku-buku Stephen Hawking sama seperti membandingkan Dustin Tiffani dan Albert Camus. Keduanya sama-sama absurd tapi beda kelas. Sama-sama buku tapi yang satunya bacaan, yang satunya lagi lebih bermanfaat untuk dijadikan bungkus gorengan.
Jangan-jangan, tren istilah book shaming hanya latah saja, lantas kita ikut-ikutan mengadopsi istilah ini tanpa mengkaji ulang apakah memang istilah ini relevan atau tidak.
Mengolok-olok selera bacaan orang lain tentu saja merupakan hal yang tidak etis. Namun memosisikan diri seakan menjadi korban book shaming dan menganggap bahwa penilaian mana buku yang bagus dalam satu genre hanyalah faktor selera adalah puncak komedi.
“Yang penting kan, ada kemauan membaca?”
“Ying pinting kin, idi kimiwin mimbici?”
Kalau membaca hanya sekedar membaca, orang yang seharian rebahan sambil Twitteran juga membaca. Tapi kan nggak asal. Bahkan faktanya, membaca cepat (skimming) dari layar handphone justru tidak berdampak positif untuk otak.
Memang, aktivitas membaca itu bagus. Tapi tidak semua bahan bacaan itu sama bagusnya. Misalnya, jika kamu sedang membaca buku Tere Liye, lalu ada orang yang mengatakan bahwa karya Budi Darma jauh lebih bagus, jangan keburu marah dan playing victim memosisikan diri menjadi korban book shaming. Ada baiknya tanyakan dulu, dari sisi mana karya Budi Darma lebih bagus?
Siapa tahu ada aspek tertentu dari Tere Liye yang punya nilai lebih. Dari jumlah pembaca yang kecewa karena kadung berekspektasi lebih gara-gara ngelihat review bukunya, misalnya.
Apabila sebuah kritik sastra dituduh subversif dan book shaming, maka hanya ada satu kata, lawan! Lawanlah dengan diskusi yang diskusi yang sehat dan rekomendasi buku yang bagus.
Masalah dari orang yang menuduh book shaming adalah seringkali bias memaknai mana kritik sastra, mana yang book shaming. Oleh karena itu, saya menyarankan agar istilah book shaming diganti saja menjadi reading shaming atau reader shaming.
Sebagai tambahan, tips biar kamu tidak terkena perilaku reading shaming, imbangi dengan varian buku yang lain. Misal suatu ketika kamu ingin pinjam buku Siksa Neraka tapi terlalu malu untuk membawanya di depan petugas perpustakaan sementara di kartu anggota perpustakaan tertera profesi dosen, maka pinjamlah juga buku teori kritik sastra atau semiologi linguistik.
Mestinya dari tiga faktor di atas, yaitu menambah bacaan demi memperkaya persepsi, bijak dalam menentukan kualitas bacaan, dan memperlakukan buku sebagaimana mestinya akan membuat kita lebih bijak dalam memandang realitas.
Contohnya, jika saya membaca novel soal kehidupan masyarakat Blora untuk memperkaya sudut pandang saya atau mempertajaman pemahaman fenomena soal Blora lewat artikel ilmiah atau jurnal penelitian, mungkin jawaban saya soal di kota mana Dajjal akan turun bakalan berbeda. Kota Depok misalnya, yang menjadi kota terabsurd kedua setelah Blora.
Baca Juga: 5 Novel yang Wajib Kamu Baca Sebelum Wisuda