Orang muda dalam pemilu 2024 menjadi primadona dan incaran para politisi untuk meraih kemenangan. Sebagaimana yang ditulis Nabilah Muhammad dalam situs databoks bahwa pemilih dominan ada pada generasi milenial dan Gen-Z dengan total lebih dari 113 juta atau 56,45%.
Sayangnya, para politisi melihat fakta ini sebagai sebuah peluang yang harus dijemput dengan berbagai cara, di mana cara mereka menggandeng orang muda cenderung tidak substansial.
Hal ini pun menimbulkan narasi-narasi yang cukup menghakimi: orang muda suka calon pemimpin yang berjoget ria, rajin live di TikTok, atau mengenakan kostum anime supaya dianggap tahu persoalan orang muda.
Padahal, ada begitu banyak persoalan yang dihadapi generasi dengan pemilih terbanyak ini yang harusnya lebih dikedepankan. Salah satu yang utama ialah terkait penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Jika berkaca pada berbagai debat capres-cawapres atau dari visi-misi yang diusung masing-masing paslon, tema pendidikan memang tidak absen dalam pembahasan.
Akan tetapi, sejauh mana para calon pemimpin bangsa ini melihat persoalan tersebut serta sekonkret apa gagasan yang mereka tawarkan, nampaknya masih perlu dipertanyakan.
Baca Juga: Salah Kaprah Nasionalisme dalam Pendidikan
Pendidikan Mahal sampai Kapan?
Menjadi perlu untuk dibahas bagaimana strategi ketiga paslon dalam penyelenggaraan pendidikan. Terlebih, salah satu di antaranya ada yang pernah berpraktek dan dianggap tahu banyak soal isu pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini bisa dikatakan hanya melayani target pasar. Tak heran, jika tanggung jawab pemerintah dialihkan ke sektor privat dalam mendidik anak bangsa.
Imajinasi pendidikan bagi pemangku kepentingan dapat dikatakan melenceng dari tujuan utama. Melalui UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, beberapa kampus negeri dialih status menjadi badan hukum.
Institusi pendidikan diberikan otonomi untuk mengelola aktivitas akademik dan non-akademiknya. Salah satu yang paling berdampak bagi sebagian generasi muda adalah kenaikan UKT yang ugal-ugalan.
Berdasarkan data Kemendikbudristek, jumlah mahasiswa di Indonesia mencapai 10,2 juta jiwa pada 2023. Namun, angka tersebut hanya 10,61% jika dibandingkan dengan jumlah orang muda secara keseluruhan.
Sementara itu, data BPS menunjukkan dari mahasiswa yang sempat berkuliah, sebanyak 601.333 harus berhenti pada 2020 karena beban perekonomian di tengah pandemi COVID-19.
Hambatan ekonomi terhadap akses atas pendidikan dapat dilihat pada beberapa kasus seperti 10 mahasiswa yang mengundurkan diri dari Universitas Padjajaran dengan alasan beban UKT. Hal serupa juga terjadi di Universitas Indonesia, di mana pernah ada 10 calon mahasiswa yang mengaku memilih tidak lanjut berkuliah.
Bahkan, tidak sekedar berhenti atau putus kuliah, terdapat juga kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa karena depresi, seperti pada kasus mahasiswa asal Kebumen yang mengakhiri hidup karena beban finansial dan tidak sanggup membayar uang semester.
Membedah Gagasan Capres-Cawapres terkait Akses Pendidikan
Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO) pernah membuat simulasi pendidikan gratis untuk 2024 mendatang. Perhitungan anggaran disesuaikan dengan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024.
Dilansir dari puslapadik.kemendikud, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa alokasi dana untuk pendidikan harus ditingkatkan. Pada 2024, anggaran pendidikan meningkat sebesar 660,8 triliun yang sebelumnya 80,22 triliun.
SEMPRO menjumlah anggaran pendidikan dan uang semester menggunakan angka median sebesar 14.850.000. Jika angka median tersebut dikalikan dengan jumlah mahasiswa se-Indonesia, maka hanya sekitar 17,4% dari total APBN.
Ketika dikomparasikan dengan visi dan misi para capres-cawapres 2024, urgensi pendidikan gratis nyaris tidak mendapat perhatian serius. Memang sih, hal ini sangat susah ketika hanya dibayangkan. Namun jika dipelajari, ada kemungkinan hal tersebut bisa direalisasikan.
Ganjar-Mahfud
Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, mempunyai program unggulan: satu keluarga miskin satu sarjana. Program ini digadang-gadang sebagai salah satu solusi pemerataan pembangunan ekonomi, khususnya di kawasan pedesaan.
Namun, ketika dicermati, penerapan program ini masih memunculkan beberapa pertanyaan. Belum lagi persoalan birokrasi rumit yang nantinya akan dilemparkan, misalnya surat keterangan miskin lha atau foto rumah dari halaman sampai dapur lha, yang tentu akan kembali menyulitkan.
Selain itu, paslon 03 juga menjanjikan kesejahteran bagi tenaga pendidik. Namun, narasi demikian tidak dibarengi dengan regulasi yang jelas dalam penyelanggaraannya. Melalui UU Sisdiknas dan digitalisasi kurikulum pendidikan, tenaga pendidik terancam tidak mendapatkan hak tunjangan. Lalu, kesejahteraan guru seperti apa yang ingin dicapai?
Apakah kesejahteraan lewat pemberian gaji sebesar 20-30 juta perbulan kepada para guru, yang menurut Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, akan menguras APBN hingga 1.000 triliun rupiah? Yang bener aje.
Prabowo-Gibran
Beralih ke pasangan Prabowo-Gibran, mereka menjanjikan institusi demi pembangunan sumber daya manusia yang punya daya saing kuat agar dapat berpartisipasi dalam industri.
Sejalan dengan program unggulan mereka tentang ‘hilirisasi sumber daya mineral’, mereka akan mengarahkan kurikulum untuk menciptakan pelajar yang mentok pada pengetahuan praktikal, bukan lagi pemikir.
Tentu, tidak bisa dibayangkan bagaimana masa depan orang muda ketika belajar hanya sebatas jembatan untuk mendapatkan pekerjaan. Nalar kritis akan hilang secara perlahan.
Selain itu, janji mustahil yang dibawa paslon 02 adalah beasiswa bagi anak petani, nelayan sampai jenjang S3. Dengan jalan apa hal itu bisa dicapai? Ujung-ujungnya akan salah sasaran ketika tidak dibarengi oleh mekanisme yang terukur.
Lalu, apalagi? Oh ya, program makan siang dan susu gratis yang rencananya akan menggunakan anggaran dari sektor pendidikan. Agak laen ini.
Anies-Muhaimin
Terakhir, dari pasangan Anies-Muhaimin. Tentunya, kita tahu bahwa Anies Baswedan adalah mantan rektor muda dan pernah menjadi Menteri Pendidikan di masa presiden Joko Widodo.
Anies mengusung visi dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkeadilan, namun mempunyai ketidakjelasan dan jaminan yang jelas. Sebab dalam pelaksanaannya, Anies akan tetap mempertahankan keterlibatan pihak swasta dalam menopang tujuan pendidikan.
Lagi-lagi, tanggung jawab negara diperkecil. Selain itu, pembahasan tentang regulasi yang menopang juga tidak disampaikan dengan jelas.
Belum lagi kasus penggunaan pinjaman online dalam memenuhi kebutuhan akses pendidikan yang sedang marak diperbincangkan belakangan, yang mana hal ini tidak dapat dilepaskan dari liberalisasi kampus di Indonesia dalam bentuk PTN BH.
Paslon ini memang menjanjikan sekolah gratis dalam dokumen visi-misinya. Sayangnya, program tersebut bisa dikatakan belum diuraikan dengan baik.
Berdasarkan pemaparan di atas, saya ingin menegaskan agar kawan-kawan muda lebih mengulik visi-misi para calon pemimpin. Memilih pemimpin tidak seperti memilih pasangan dengan mendahulukan perasaan.
Mereka akan diberi mandat khusus agar dapat menjamin kehidupan bernegara dalam periode tertentu. Agar tidak termakan gimmick usang, kita harus memunculkan pemikiran kritis dan mengontrol bersama-sama calon pemimpin di masa mendatang.
Baca Juga: Capres-Cawapres 2024, Yuk Naikin Level Debat