Jika ada salah satu hal yang seharusnya kita berhenti untuk menormalisasi, bagi saya itu adalah aksi sosial ke panti asuhan.
Pengalaman saya dalam bergerak di bidang pendidikan informal anak-anak dan mengembangkan kebijakan perlindungan anak membuat saya menemukan beberapa situasi di mana aksi sosial yang melibatkan anak-anak justru dapat berdampak negatif.
Salah satu situasi tersebut adalah volunteering ke panti asuhan yang mana ironisnya justru paling sering kita temui di sekitar kita. Mulai dari acara charity, kunjungan untuk doa bersama, hingga perayaan ulang tahun.
Sayangnya, di Indonesia belum nampak adanya kesadaran kolektif akan risiko dan bahaya dari kegiatan yang hampir selalu dianggap positif ini. Bahkan, pihak panti asuhan sendiri sering menormalisasi kunjungan ke anak-anak asuhan mereka.
Sementara di banyak negara lain isu ini sudah menjadi salah satu concern. Bahkan sudah terbentuk koalisi global lintas sektoral bernama ReThink Orphanages dengan anggota hingga 81 organisasi dari berbagai negara.
Baca Juga: Pesantren bukan Tempat Pembuangan Anak
Pelanggaran Hak Privasi Anak
Terdapat beberapa faktor yang membuat kita perlu berhenti menormalisasi aksi ini. Concern fundamental yang harus kita pegang adalah menghormati hak-hak anak dan melindungi anak dari segala bentuk risiko kekerasan, eksploitasi, dan tindakan apapun yang menyakiti.
Menormalisasi aksi sosial ke panti asuhan sendiri dapat mereduksi hak privasi anak. Hak privasi sendiri tercantum dalam Konvensi Hak Anak article 16. Anak memiliki hak untuk punya ruang hidup yang nyaman tanpa terekspos—apalagi secara rutin—kepada orang yang tidak dikenal atau dunia luar.
Belum lagi pelaku aksi sosial seringkali mempublikasikan foto atau video mereka secara luas di sosial media—bahkan tanpa consent.
Publikasi seperti itu sendiri tak luput dari berbagai risiko. Salah satu organisasi yang tergabung dalam ReThink Orphanage, Australian Volunteer, menyatakan berbagai risiko yang dapat terjadi.
Dalam Child Protection Policy Workbook (2020), salah satu risiko itu adalah vulnerability anak-anak dapat meningkat akibat foto yang diambil dalam kondisi yang kurang pantas.
Selain itu, meluasnya akses terhadap foto/video mereka dapat meningkatkan risiko terjadinya penyalahgunaan media yang dapat berujung pada eksploitasi anak-anak secara material.
Temporary Attachment dan Dampaknya Bagi Psikologi Anak
Lebih lanjut, aksi sosial ke panti asuhan sendiri juga memiliki risiko permasalahan psikologis bagi anak-anak. Aksi sosial ini seringkali hanya bersifat eventual atau jangka pendek.
Dengan banyaknya frekuensi aksi, anak-anak akan berulang membentuk temporary attachment dengan orang dewasa secara silih berganti.
Australian Volunteer dalam publikasinya tadi juga menyatakan bahwa “children, especially orphaned and displaced children, may form emotional bonds with the visitors which could lead to psychological harm when the visitors leave.”
Selain itu sebuah jurnal berjudul The Dark Side of Volunteering: When Help Might Hurt (2015) juga menjelaskan bahwa short term servie merupakan salah satu situasi di mana aksi sosial justru dapat berdampak buruk.
Seringnya anak-anak membentuk temporary attachment bahkan berisiko menimbulkan emotional instability dan attachment disorders dalam jangka panjang.
Misalnya, keengganan untuk melibatkan diri secara emosional lagi karena setiap kali mereka membentuk attachment berujung pada kondisi mereka ditinggal pergi.
Salah satu artikel berjudul Misguided Altruism: The Risk of Orphanage Volunteering (2019) menyebutkan kondisi tersebut dapat menimbulkan “substansial and unnecessary risk of psychological harm.”
Risiko kekerasan juga muncul dengan tidak adanya background atau capacity checking terhadap pihak yang ingin melakukan kunjungan atau aksi sosial. Dalam taraf paling ekstrem, normalisasi seperti ini justru memudahkan pelaku kekerasan atau kejahatan masuk ke dalam panti asuhan.
Kebaikan Tidak Hanya Soal Niat
Pihak yang datang dengan intensi baik pun tidak luput dari risiko tersebut. Kebaikan tidak hanya butuh kemauan, melainkan juga butuh kemampuan. Apalagi, anak-anak di panti asuhan dapat tergolong vulnerable atau lebih rentan.
Jadi, paling tidak, pengunjung harus mempunyai pemahaman yang cukup mengenai kode etik perlindungan anak. Kurangnya pemahaman ini dapat berujung pada kekerasan atau neglection yang tidak disengaja.
Akan tetapi, bagi kita yang pernah melakukan aksi sosial ke panti asuhan, coba tanyakan ke diri sendiri beberapa pertanyaan ini: Sudahkah kita belajar banyak mengenai hak dan perlindungan anak sebelum berkunjung? Adakah kode etik yang kita tanda tangani terlebih dahulu? Adakah sosialisasi dari pihak panti asuhan terkait kebijakan perlindungan anak mereka?
Baca Juga: FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Beberapa risiko di atas seharusnya sudah cukup untuk menjadi refleksi bagi kita untuk menimbang ulang aksi sosial ke panti asuhan. Belum lagi risiko seperti terbentuknya stereotip dalam diri anak-anak bahwa mereka miskin dan needy.
Apalagi, berdasarkan Permensos 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, yang menyatakan bahwa anak-anak di panti asuhan umumnya (90%) masih memiliki kedua orang tua dan dikirim ke panti dengan alasan utama pendidikan.
Ironisnya, aksi sosial ke panti asuhan justru menjadi salah satu insentif yang mendorong hal ini terjadi.
Oleh karenanya, pemahaman dan kesadaran seperti ini dibutuhkan bukan semata untuk menghentikan niat baik kita dalam masyarakat, melainkan agar kita dapat melakukan aksi baik yang lebih bertanggung jawab.
Anak-anak seringkali tidak dapat menyuarakan diri mereka sehingga kesadaran kolektif dibutuhkan untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi dan terhindar dari segala bentuk tindakan yang menyakiti.
Anak-anak adalah masa depan. Mereka harus dilindungi dengan peran apapun yang kita bisa.
Baca Juga: Salah Kaprah Perihal Matematika