Betapa Miskinnya Pengetahuan Kita Soal Khazanah Puisi Anak

Betapa Miskinnya Pengetahuan Kita Soal Khazanah Puisi Anak

Betapa Miskinnya Pengetahuan Kita Soal Khazanah Puisi Anak
Ilustrasi oleh Vivian Yoga Veronica Putri

Puisi anak seakan menjadi produk untuk pengajaran belaka karena yang terpenting adalah anak mengetahui bentuk dan makna puisi. Sementara upaya untuk memilih puisi yang sesuai dengan anak-anak, malah luput.

Mari berbicara sesuatu yang mungkin sering luput di antara kita. Bayangkan, dalam kelas tingkat sekolah dasar (SD), anak-anak sedang belajar puisi. Seorang guru pun menyodorkan beberapa contoh yang tercantum dari buku teks.

Anak-anak itu mendapati puisi-puisi yang ditulis oleh seorang penulis yang sebenarnya tidak jelas juntrungnya dalam khazanah puisi anak.

Ketika puisi dan penulisnya dilacak di internet, hasilnya nihil. Tidak ditemukan informasi sedikitpun perihal keduanya, atau kemungkinan penulisnya memang tidak bergelut di bidang kepenyairan. Lalu, guru itu menjelaskan makna puisinya tanpa peduli latar belakang puisi dan penulisnya.

Minimnya Khazanah Puisi Anak

Kemiskinan pengetahuan kita soal khazanah puisi anak secara gamblang tergambar dalam cerita di atas. Puisi anak seakan menjadi produk untuk pengajaran belaka karena yang terpenting adalah anak mengetahui bentuk dan makna puisi. Sementara upaya untuk memilih puisi yang sesuai dengan anak-anak, malah luput.

Padahal, pilihan puisi anak dapat diambil dari buku-buku kumpulan puisi yang khusus diperuntukkan untuk anak-anak. Sehingga, anak-anak mendapati puisi-puisi yang sesuai dengan realitas mereka.

Masalahnya, mencari buku kumpulan puisi anak tidak semudah mencari buku puisi yang diperuntukkan bagi orang dewasa.

Buktinya, jika kita melakukan pencarian di google dengan mengetik “buku kumpulan puisi anak,” maka yang muncul hanya beberapa buku saja. Bahkan, bisa dihitung satuan.

Selebihnya adalah situs atau link “contoh kumpulan puisi anak” dengan tema tertentu yang tidak jelas sumber dan penulisnya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa kuantitas puisi anak di Indonesia memang sangat sedikit. Sehingga, persoalan guru di atas bukan menjadi problem individual. Apalagi, ditambah dengan buku teks yang hanya mencantumkan puisi anak seadanya.

Kondisi ironi tersebut kemudian mempengaruhi event-event puisi di tingkat SD, seperti dalam lomba baca puisi, misalnya.

Puisi-puisi pilihan panitia yang akan dibacakan oleh peserta justru yang diperuntukkan untuk orang dewasa. Akibatnya, kurang sesuai dengan emosional anak-anak.

Sekalipun ditemukan pembacaan puisi dengan suara meledak-ledak, saya kira, mereka sebenarnya masih merasa asing (atau terasingkan) dari pemaknaan puisi yang dibacanya. Kalaupun memakai opsi puisi anak, penulisnya anonim. Muatan teksnya juga miskin imajinasi, dan problem seperti ini yang selalu terulang.

Sepengalaman saya yang pernah mengikutsertakan murid saya untuk lomba baca puisi di tingkat itu, apabila puisi pilihannya diperuntukkan untuk anak-anak, lompatan kohesi dari pilihan diksinya secara konteks kurang tepat. Puisinya juga klise, ‘bangunannya’ kurang kokoh, dan penulisnya anonim.

Sedangkan jika opsi puisinya dipilih dari puisi yang diperuntukkan bagi orang dewasa, karya yang dilampirkan berasal dari tulisan penyair seperti Chairil Anwar, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Taufiq Ismail, atau Zawawi Imron.

Puisi-puisi yang disodorkan memang tak lepas dari persoalan religius, ibu, kepahlawanan, dan alam. Sekilas, puisi-puisi tersebut punya kesesuaian dengan anak-anak.

Namun, apabila dikaji lebih dalam, tendensi puisinya masih kurang relevan dengan pikiran dan pengalaman anak-anak. Perkenalan atas puisi-puisi mereka agaknya lebih cocok untuk tingkat menengah pertama dan tingkat menengah atas.

Puisi Anak Kurang Diperhatikan

Lantas, melalui berbagai persoalan di atas, kira-kira di mana letak masalahnya? Bagi saya, salah satu permasalahan dasarnya terletak pada dokumentasi buku-buku puisi anak yang masih minim.

Karena ketika kita melacak sejarah perkembangan puisi Indonesia yang diperuntukkan bagi anak di internet atau dari buku-buku bunga rampai yang menghimpun dinamika puisi Indonesia, hasilnya nihil. Fakta yang saling tarik-ulur antara kehilangan rekam jejak atau terpinggirkan.

Padahal, jika ditelusuri kembali pada tahun 1950-an, setidaknya akan kita dapati buku puisi berjudul Taman Sandjak si Ketjil karya S. Rukiah Kertapati.

Para sastrawan seperti Korrie Layun Rampan, Abdul Hadi WM, Leon Agusta, dan L.K. Ara, juga menulis puisi anak. Yang terbaru bisa baca dari karya Abinaya Ghina Jamela, Abdurahman Faiz, dan Noor H. Dee.

Tapi sayangnya, dokumentasi rekam jejak terhadap pengkaryaan mereka masih minor. Hanya beberapa orang saja yang pernah menjajaki puisi anak.

Sebut saja Yenni Hayati, dalam Menuliskan (Kembali) Sastra Anak dalam Sejarah Sastra Indonesia (Unpad Press, 2015), yang melakukan pemetaan khazanah puisi anak Indonesia secara sekilas. Ia melakukan pemetaan dimulai dari puisi anak tradisional hingga kontemporer.

Setyaningsih juga pernah mengulas beberapa buku puisi anak di blog pribadinya (maosbocah.wordpress.com). Di antara buku yang diulas ialah buku puisi anak Namaku Bunga (Balai Pustaka, 1981) dan Pohon-Pohon Sahabat Kita (Balai Pustaka, 1983) karya L.K. Ara yang puisinya kerap mengangkat seputar pepohonan dan bunga.

Ada juga ulasan terhadap buku karya Lastri Fardani Sukarton berjudul Gunung Biru di Atas Dusunku (Balai Pustaka, 1988) yang diidentifikasikan oleh Setyaningsih sebagai puisi anak dengan persoalan keseharian dan pergolakan batin atas modernitas.

Sedangkan ulasan lainnya dilakukan terhadap buku K. Usman berjudul Puisi Rumah Kami (Cypress, 1984) dan buku 70 Puisi Pertamaku! (Bhuana Ilmu Populer, 2013) karya Watiek Ideo dan Fitri Kurniawan.

Adapun dalam kritik sastra, Saeful Anwar pernah menulis kritik berjudul Mengurai dan Menimbang Kebaruan Puisi Anak Dalam Resep Membuat Jagat Raya.

Naskah ini merupakan kritik atas buku puisi anak berjudul Resep Membuat Jagat Raya (Kabarita, 2017) karya Abinaya Ghina Jamela.

Kritik ini sekaligus merupakan satu-satunya kritik sastra anak genre puisi yang masuk nominasi sayembara kritik sastra oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2020, dan masuk dalam buku Antologi Kritik Sastra: Teks, Pengarang, dan Masyarakat (2020).

Dari yang saya ketahui, selain tulisan-tulisan itu, rasanya tidak ada lagi. Kalau pun ada, kemungkinan sulit untuk dilacak. Sehingga, sulit pula mengakses atau mengetahui buku-buku puisi anak dalam sepak terjang perkembangan kesusastraan Indonesia. Inilah bukti bahwa puisi anak kurang diperhatikan.

Sepinya perbincangan terkait puisi anak membuat persoalan ini terlihat lebih parah lagi. Sebab, puisi anak kerap dianggap sebagai karya sederhana yang diksinya kurang berbobot dan konteksnya sepele.

Padahal, puisi anak juga adalah puisi. Ia punya bangunannya sendiri sesuai dengan porsinya, yakni sebagai puisi anak.

Oleh karena itu, dengan kembali melihat beberapa persoalan di atas, seperti guru yang kurang peduli dengan kesesuaian puisi, contoh puisi anak seadanya, event lomba baca puisi, upaya dokumentasi, dan perbincangan yang minim di kalangan pemerhati sastra, semua terbaca jelas: betapa miskinnya pengetahuan kita soal khazanah puisi anak.

Penulis

Saefudin Muhamad

Lahir di Cirebon. Lulusan FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan. Bergiat di Komunitas Tjirebon Book Club. Adapun puisi-puisinya terbit di berbagai media online. Pernah meraih penghargaan nominasi dalam lomba kritik sastra Taufiq Ismail 2023.
Opini Terkait
Paradoks Dangdut: Makin Ambyar, Makin Joget
Sehebat Apa Sih Tan Malaka Sampai Terus Jadi Polemik?
Sinetronku Sayang, Ceritamu Malang
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel