“Ngerti Gak?” dalam Gaya Komunikasi Gen Z yang Kadang Bikin Salah Paham

“Ngerti Gak?” dalam Gaya Komunikasi Gen Z yang Kadang Bikin Salah Paham

“Ngerti Gak?” dalam Gaya Komunikasi Gen Z yang Kadang Bikin Salah Paham
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Kita harus memastikan dulu kalau lawan bicara mengerti, seolah kita tidak bisa membaca konteks, gestur dan mimik wajah, energi timbal balik, atau respon-respon non-verbal lainnya. Pokoknya, dia harus menjawab dulu baru kita mengerti.

Saya ingat betul hari itu, ketika tengah berbincang dengan seorang teman tentang kasus pelecehan seksual di sebuah kedai es krim di tengah panasnya kota Yogya. Diskusi yang hangat tiba-tiba buyar karena hal remeh. Pasalnya, teman saya ini berkali-kali menambahkan “ngerti gak?” di akhir kalimatnya.

Sekali dua kali, saya masih mengangguk sambil jawab “iya ngerti”. Batin saya, “oh, mungkin karena saya kelihatan bingung.” Namun, saat ketiga, keempat, dan kesekian kali, saya mulai terganggu dan akhirnya nyeletuk“memang aku kelihatan sebodoh itu, ya, sampai ditanyain terus ngerti apa enggak?”

Teman saya tentu saja langsung kaget. Dia mencoba meluruskan maksudnya meski sedikit terbata-bata. Dia bilang bahwa omongannya kadang tidak teratur sehingga dia perlu memastikan apakah lawan bicaranya paham atau tidak.

“Lha, kan, kalau aku gak ngerti aku bakal tanya,” jawab saya.

“Iya, sih. Tapi, gimana, ya… otomatis aja, gitu. Mungkin karena aku jarang didengarkan juga, maksudnya yang benar-benar didengarkan. Jadinya aku kalau ngomong takut-takut gitu, ngerti kan?” ujarnya kali ini dengan modifikasi “kan” supaya terdengar lebih santun.

Teman saya ini juga bercerita bahwa dia berasal dari latar belakang keluarga yang kurang harmonis sehingga berdampak pada gaya komunikasinya. Jadilah saat itu masalah “ngerti gak?” ini dimaklumi begitu saja bersama es krim yang meleleh sebelum habis. 

Namun, setelah itu saya mulai menyadari kalau “ngerti gak?” ini sebenarnya juga banyak digunakan oleh orang lain, terutama anak-anak muda dan masyarakat urban.

Imbuhan ini bahkan keluar dari percakapan sederhana seperti saat membicarakan seputar gosip artis, rekomendasi tempat makan, dan sesuatu yang harusnya tidak memerlukan pengetahuan teoritis di dalamnya.

Berbeda dengan yang diutarakan teman saya, latar belakang keluarga mereka kebanyakan baik-baik saja, bahkan tidak sedikit yang kelewat harmonis. Sehingga, saya ragu kalau sindrom “ngerti gak?” ini semata dilandasi oleh kurangnya ruang berekspresi di keluarga.

Mengesampingkan latar belakang personal dan didorong semangat ingin tahu, saya kemudian coba menginterogasi beberapa orang yang terjangkit sindrom ini dan melakukan observasi sederhana.

Di sini, saya berfokus pada dua aspek yang bermuara pada persoalan teknologi dan perubahan gaya hidup. Dari situ, saya tiba pada beberapa kesimpulan. 

Oh, ya, sebagaimana judul di atas, saya membawa-bawa Gen Z karena secara umum sindrom “ngerti gak?” ini mewabah di kalangan generasi ini. Lagi pula, Gen Z memang nampaknya akan selalu seru untuk dibicarakan. Iya, gak?

Ruang Berekspresi yang Tidak Aman

Saya sepakat bahwa Generasi Z tumbuh dalam rezim teknologi informasi yang sedemikian maju. Dampak positif yang bisa disyukuri dari fenomena ini adalah terbukanya ruang berekspresi sehingga mereka bebas untuk memberikan, menerima, membagikan, dan mengomentari suatu informasi.

Mulai dari membagikan menu sarapan pagi hingga menyumbang teori konspirasi pembentukan alam semesta, semua bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja.

Sayangnya, kemudahan ini tidak serta merta menciptakan ruang aman bagi penggunanya. Lancarnya lalu lintas informasi rupanya tidak dibarengi dengan kesiapan seluruh pengemudinya. Akibatnya, “kecelakaan” seringkali terjadi. Opini yang dianggap melenceng bisa digoreng habis-habisan oleh netizen. 

Pasalnya, di ruang virtual kita tidak cuma bicara soal kebenaran atau kredibilitas, tapi juga hal-hal lain yang kadang batasannya seenak jidat netizen dan intinya: tidak aman!

Makanya, tidak aneh jika masyarakat virtual terbiasa dengan budaya disclaimer dan klarifikasi (tergantung mau menyatakannya di awal atau membenahinya di akhir).

Frasa “ngerti gak?” dalam hal ini memiliki fungsi yang sama. Bedanya, kebiasaan ini ikut dibawa ke ruang fisik. Ada semacam rasa cemas yang ikut terbawa sehingga mereka butuh afirmasi agar merasa aman. Dengan memastikan lawan bicara mengerti, entah dengan anggukan atau seruan “yoi”, si penutur akan merasa aman dalam argumennya.

Dengan begitu, dalam kasus ini, “ngerti gak?” fungsinya tidak sama seperti guru di kelas yang bertanya “apakah sudah paham semua anak-anak?”

Mereka tidak sedang mengetes pengetahuan lawan bicara, melainkan untuk meyakinkan diri bahwa apa yang mereka sampaikan benar dan bisa diterima.

Kebiasaan Komunikasi Instan dalam Budaya Digital

Apakah anda sering menemukan iklan dari produk yang dibutuhkan tiba-tiba muncul di beranda Instagram? Atau menemukan konten yang kebetulan sesuai dengan yang sedang dirasakan sekarang? 

Tentu saja, itu bukan cuma kebetulan karena ada peran algoritma di sana. Lalu, apa hubungannya dengan sindrom “ngerti gak?” ini?

Kecanggihan algoritma membuat kita merasa dimengerti melebihi pacar sendiri, dan itu dirasakan betul oleh Gen Z. Bahkan ketika mengetikkan sesuatu di Google, si mesin pencari sudah bisa menebak apa yang kita cari hanya dari kata pertama saja.

Kenikmatan seperti ini sadar atau tidak membentuk kecenderungan komunikasi instan, dan “ngerti gak?” di sini jadi semacam cheating code untuk mencapai itu.

Dalam beberapa percakapan, misalnya, kata tersebut digunakan sebagai cara memancing lawan bicara untuk memahami maksud si penutur tanpa perlu mengatakan keseluruhannya. Contoh:

“Dia tu kemarin datang ke rumah, tapi pakai beat karbu. Ngerti gak?”

Setelah itu lawan bicara lantas akan mengangguk antusias, menunjukkan wajah-wajah ngeri seolah sedang menyaksikan genderuwo mengetuk pintu rumah. Mission complete. 

Penutur tidak perlu repot-repot menyelesaikan kalimatnya karena keseluruhan maksud sudah tersampaikan. Ini seperti menekan ctrl+cctrl+v yang disesuaikan pada konteks-konteks tertentu. Instan dan cepat.

Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi dari kecenderungan ini adalah bagaimana “ngerti gak?” juga seringkali jadi semacam latah yang disengajakan.

Tidak sedikit orang yang punya kemampuan komunikasi yang kurang, akhirnya mengulang-ngulang penggunaan kata tersebut hingga jadi kebiasaan. Dan ketika hal itu kemudian dianggap sebagai suatu kewajaran, kemahiran berbahasa jadi sesuatu yang diabaikan.

Lalu, Apakah Gen Z Punya Kesulitan dalam Berkomunikasi?

Saya rasa tidak. Kalau komunikasi diartikan sebagai pertukaran pesan dan informasi, jelas Gen Z lebih laju soal itu.

Mereka bisa bertukar pesan di berbagai platform dengan serangkaian emoji, stiker, meme, gif, dan sebagainya. Kalau malas menulis, mereka bisa mengirim voice note atau video. Kalau masih enggan, mereka bisa bikin animasi atau gambar menggunakan AI.

Namun, tampaknya ada yang berubah dari komunikasi berbasis kode ini: kepekaan emosional. Sepakat atau tidak, kepekaan emosional lebih mudah terbangun lewat interaksi fisik. Semakin berjaraknya interaksi langsung dengan orang lain, semakin lemah pula kepekaan emosional yang terbangun.

Seperti kasus ponakan saya yang minta izin ayahnya untuk menginap di rumah teman. Dia memilih izin lewat DM (direct message) Instagram. Alasannya supaya ayahnya bisa segera mempertimbangkan tanpa perlu menunggunya pulang.

Dia juga berencana langsung share profil instagram temannya kalau-kalau ayahnya tidak percaya. Namun, menurut si ayah, tindakan anaknya ini justru tidak sopan.

Tanpa bermaksud menyudutkan pihak manapun, saya mau cerita kalau dulu ketika saling chat antar keluarga masih langka, saya harus menebak-nebak perasaan orangtua ketika mau minta izin menginap di rumah teman atau meminta suatu barang.

Kadangkala, saya akan cari muka dulu dengan menyapu rumah, mencuci piring, atau sholat ke masjid. Pokoknya apapun yang bisa menyenangkan hati mereka untuk mempermudah pengajuan perizinan.

Sementara sekarang ini, Gen Z kelihatannya lebih memperhatikan substansi dan fungsi praktis. Ya, sebenarnya kalau dipikir-pikir, alasan ponakan saya memang efisien.

Kalau bicara soal kesopanan, chat-nya sendiri menggunakan bahasa yang santun dan diawali dengan “assalamualaikum ayah ganteng”dan diakhiri dengan emot salam.

Namun, yang kita tidak boleh lupa, komunikasi tidak melulu soal verbal tapi juga emosional. Nah, dalam kasus “ngerti gak?, semakin ke sini kita tampaknya makin kebingungan dalam melihat aspek verbal dan emosional dalam komunikasi.

Kita harus memastikan dulu kalau lawan bicara mengerti, seolah kita tidak bisa membaca konteks, gestur dan mimik wajah, energi timbal balik, atau respon-respon non-verbal lainnya. Pokoknya, dia harus menjawab dulu baru kita mengerti.

Atau bisa jadi “ngerti gak?” ini malah digunakan untuk mempertanyakan diri sendiri. Apapun itu, bagi saya, sindrom ini semakin meresahkan.

Penulis

Khairani Fitri Kananda

Mahasiswa Antropologi yang kadang mikir kadang healing
Opini Terkait

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel