Jika bicara soal jajanan khas daerah Jawa, apa saja kira-kira yang sampai sekarang masih awet di tengah gempuran jajanan modern?
Kalau Anda menjawab brem, saya sepakat. Ia sampai saat ini masih awet menjadi oleh-oleh khas Kota Madiun. Kemudian bila Anda menjawab lumpia khas Semarang, saya juga masih sepakat. Karena ia hingga saat ini masih amat sangat mudah ditemui di warung-warung kopi sekitar.
Tapi, kalau Anda menjawab onde-onde yang berasal dari Mojokerto, saya tanpa ragu akan menggelengkan kepala. Ini beneran.
Sebagai arek Mojokerto nyel, saya merasa onde-onde nasibnya cukup miris. Ia udah kayak identitas semu dari Kota Mojokerto yang hanya ada di Wikipedia. Lho, kok, bisa?
Sulitnya Menemukan Pedagang Onde-onde di Kota Asalnya
Belakangan ini, saya kerap menunaikan kewajiban sebagai anak, yaitu mengantar dan menemani ibu ke pasar.
Di tengah menemani ibu, kebiasaan saya dari kecil hingga sekarang adalah mencari jajanan tradisional sebagai camilan setelah sarapan. Dan salah satu jajanan tradisional yang paling saya cari dari dulu adalah onde-onde.
Sialnya, sampai ibu selesai belanja, saya tak kunjung menemukan onde-onde itu. Kalau pedagang jajanan tradisional di pasar, sih, masih banyak. Tapi, entah kenapa, beberapa hari berturut-turut menemani ibu ke pasar, onde-onde tak kunjung saya temukan di lapak pedagang jajanan tradisional.
Tak berhenti di situ.
Saya mengunjungi beberapa pedagang gorengan yang ada di Kabupaten dan Kota Mojokerto demi mencari onde-onde. Cuman, lagi-lagi tak ada yang menjajakan. Saya beneran jadi heran.
Padahal, onde-onde itu dahulu gampang sekali mencarinya; biasanya selalu ada di lapak pedagang gorengan. Tapi, sekarang mencarinya betul-betul udah kayak mencari jarum di tumpukan jerami.
Lalu, apakah berarti onde-onde khas Mojokerto sudah hilang ditelan bumi? Tentu saja tidak.
Setelah kesulitan mencari di pasar tradisional dan pedagang gorengan, baru saya menemukannya di toko oleh-oleh di Kota Mojokerto.
Ya, meski akhirnya ketemu, saya tetap heran.Kok, bisa di Kota Mojokerto, kota asal onde-onde, justru sulit menemukan onde-onde. Bahkan, toko yang menjual onde-onde pun cuma satu doang, sejauh saya menjelajah.
Onde-onde Jarang Dijadikan Hidangan di Acara-Acara Warga Mojokerto
Pencarian onde-onde saya tidak berhenti di pedagang jajanan di pasar dan pedagang gorengan saja. Dua minggu belakangan, saya kebetulan cukup sering menghadiri berbagai acara warga Mojokerto.
Dari mulai kondangan pernikahan, tahlilan, hingga rapat Bimbingan Teknis (Bimtek) anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pun saya hadiri semua.
Apesnya, dari semua hidangan di acara-acara tersebut, lagi-lagi tidak ada onde-onde. Benar-benar kalah dengan lumpia, apem, nagasari, dan jajanan tradisional lainnya.
Padahal dulu, onde-onde masih kerap dijumpai di berbagai acara warga Mojokerto. Saya bahkan bisa pastikan kalau onde-onde itu (dulu) adalah salah satu hidangan wajib di acara-acara warga Mojokerto.
Onde-onde di Mojokerto Miskin Inovasi dan Promosi
Saya nggak tahu pasti kenapa onde-onde bisa sampai tenggelam di kotanya sendiri. Tapi, kalau saya boleh menebak kelangkaan onde-onde di Kota Mojokerto ini karena kurangnya inovasi di bagian kulitnya.
Onde-onde ini, kan, kalau sudah dingin jadi kurang nikmat karena kulitnya terasa keras. Sehingga, jajanan satu ini batas waktu konsumsinya cukup terbatas.
Perkara isiannya, onde-onde yang sempat saya beli di toko oleh-oleh di Mojokerto sebenarnya sudah banyak inovasinya.
Jika dulu isinya cuman kacang sekarang onde-onde isinya macam-macam; seperti ubi ungu, keju, coklat, kacang merah, dan masih banyak lagi. Cuman, masalahnya, ya satu, kalau sudah dingin, kulitnya terasa keras untuk digigit dan dikunyah.
Perihal inovasi di bagian kulit saya rasa juga tidak terlalu mustahil untuk dilakukan. Di Kota Surabaya pun, pernah ada pengusaha yang membuat inovasi onde-onde yang kulitnya tetap terasa crispy meskipun sudah dingin. Dan hasilnya, bisa tetap laris di tengah gempuran jajanan modern lainnya.
Soal promosinya pun demikian.
Para influencer kuliner asal Mojokerto sekali pun, sejauh saya mengikutinya, blas tidak ada yang mempromosikan onde-onde. Justru malah influencer dari Kota Boyolali dan kota-kota lainnya yang pernah memviralkannya.
Tidak Ada Salahnya Warga Mojokerto Meromantisasi Onde-onde
Secara historis, onde-onde memang tidak murni dari Kota Mojokerto. Ia sebenarnya asli dari Tiongkok.
Konon, asal muasalnya gara-gara ada laksamana dari Tiongkok yang berkunjung ke Kerajaan Majapahit dan membawa onde-onde. Onde-onde jaman dahulu pun rasanya cuma manis karena hanya berisi pasta gula.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, onde-onde ini menjadi menu hidangan di istana kerajaan. Dari sini, onde-onde kemudian dimodifikasi oleh warga lokal Mojokerto menjadi kue yang berisi kacang hijau.
Makanya, terjadilah onde-onde berisi kacang yang rasanya manis dan gurih sebagai kuliner khas Mojokerto.
Ya, meskipun hasil modifikasi, saya rasa tidak ada salahnya kalau kemudian masyarakat Mojokerto meromantisasinya.
Kembali ke keresahan saya di awal, pemerintah terkait serta para influencer kuliner dari Mojokerto sebetulnya bisa saja bersinergi untuk menjadikan onde-onde terkenal seperti Desa Ketapanrame, Kecamatan Trawas, yang sempat menjadi desa wisata terbaik itu.
Kalaupun nasib onde-onde ini tak bisa setara dengan Desa Ketapanrame, setidaknya onde-onde ini bisa berjaya lagi di kotanya sendiri. Sebab, amat sangat disayangkan kalau sebutan Kota Onde-onde untuk Mojokerto itu masih ada di Wikipedia.
Padahal kenyataannya, sulit sekali menemukan onde-onde di Mojokerto.