Perkenalan saya dengan Yuval Noah Harari terjadi sejak tahun lalu, di mana saya membeli salah satu buku fenomenalnya, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Harari memberikan banyak ide baru tentang bagaimana manusia berevolusi dari primata berkaki dua, menjadi salah satu spesies dominan di planet Bumi.
Peristiwa jutaan tahun itu memang muskil disimpulkan dalam buku ratusan halaman. Adalah Harari yang telah membuatnya lebih mudah sehingga sebagian manusia yang membaca karya tersebut dapat memahami sejarahnya.
Saya akan merujuk pada naskah-naskah Harari lagi untuk menulis tentang pandemi. Tiga artikelnya dimuat di media massa, lalu diterjemahkan dan diterbitkan ulang dalam bentuk antologi bersama Slavoj Zizek, Ethan Siegel, Ross Douthat, Henry Marsh, Arundhati Roy, Santiago Zabala, dan Ed Yong.
Di antara nama-nama barusan, bagi saya tulisan Harari lebih “normal.” Lebih mudah dipahami sebagaimana gaya menulisnya yang biasa absen dari istilah-istilah rumit.
Ketika dihadapkan dengan pandemi, Harari mengulang lagi ide yang sudah ia ungkap sebelumnya dalam Sapiens: kematian tidak lagi dianggap sebagai fenomena metafisik, melainkan kejadian alami yang disebabkan oleh kesalahan teknis. Jika dahulu kematian dijelaskan sebagai terpisahnya ruh, sukma, atau nyawa dari raga dalam teologi agama, saat ini ia diidentifikasi sebagai kegagalan tubuh untuk tetap beradaptasi terhadap alam dan menjaga kebugaran sepanjang usia.
Argumen Harari bersandar pada kemajuan kedokteran dan sistem kesehatan, yang ia sebut sebagai bagian dari revolusi sains. Dahulu, usia rata-rata umat manusia hanya 40 tahun, paling lama bertahan hingga 50 atau 60. Selain itu, risiko kematian anak dan perempuan juga tinggi. Untuk itu, sains berusaha mengungkap tabir kematian: bahwa akan datang masa di mana manusia bisa menaklukkannya, dan terus berumur panjang.
Sejarah dunia mencatat bahwa covid-19 bukanlah pandemi pertama yang dihadapi umat manusia. Sejak 1200 SM, tercatat ada sekitar 300 wabah di seluruh dunia, termasuk pandemi yang menyebar di tingkat global. Dari angka sebesar itu, lima di antaranya masih belum tertangani hingga saat ini: MERS-COV (virus korona versi awal) di Timur Tengah, HIV-AIDS di seluruh dunia, kolera di Yaman, campak di Selandia Baru dan Filipina, serta demam berdarah di Asia-Pasifik dan Amerika Selatan. Bahkan, setelah kasus pertama covid-19 terjadi akhir tahun lalu, China lagi-lagi menemukan wabah yang diberi nama novel bunyavirus.
Kemunculan wabah dan virus yang menyebabkannya, disinyalir merupakan hasil dari kerusakan lingkungan: spesies hilang satu per satu, virus yang biasanya bermukim di tubuh hewan berpindah dengan mudah kepada manusia. Antroposen, yang digadang-gadang sebagai masa dominasi manusia, menjadi salah satu tanda kiamat bagi spesies ini.
Harari tak lupa mengingatkan bahwa bagaimanapun akhir pandemi kali ini, manusia tetap akan bertahan dengan cara mengutamakan keselamatan jiwa. Sistem kesehatan diperkuat, fasilitas kesehatan diperbanyak dan diperbaiki kualitasnya. Perang selanjutnya dilakukan manusia bukan atas manusia lain, melainkan atas kebijakan global untuk menahan diri dari eksploitasi berlebihan sumber daya alam.
Baca Juga: Homo Hoax-ensis yang Terus Eksis
Balon Optimisme
Membaca tulisan Harari, adalah seperti melihat balon kecil berwarna kuning cerah, namun dipasang begitu tinggi. Untuk melihatnya, tidak hanya diperlukan mata yang sehat, melainkan juga teropong panjang dengan lensa yang bersih.
Tulisan-tulisan Harari adalah sebuah optimisme. Ia begitu yakin umat manusia sebagai satu-satunya spesies dengan kemampuan kognisi ini akan terus bertahan. Optimisme itu begitu jauh dilayangkan, hampir saja menyentuh lapisan langit paling bawah. Namun, sebagaimana pemikir ilmiah lainnya, balon optimisme itu bukan tanpa dasar. Ia diikatkan pada ribuan benang harapan, yang masing-masing dipegang oleh setiap orang.
Optimisme Harari bukan tanpa kekecewaan. Ia menyesalkan negara-negara besar yang tidak bahu-membahu menghadapi pandemi. Setiap mata menuju ke China, memohon agar mereka menutup akses ke luar negerinya. Namun negara lain abai ketika China memberi ultimatum bahwa virus itu sudah menyebar jauh: Italia kolaps, negara-negara Balkan kelimpungan, dan Amerika (Harari menolak menyebut Trump) menolak fakta di depan mata.
Harari menyebut bahwa persebaran virus kali ini lintas-batas, karena -tentu saja- globalisasi sudah memeluk dunia menjadi satu dan tidak ada yang luput dari ujung jarinya sekalipun. Batas-batas negara memang diperkuat, tapi manusia masih bisa berpindah dan melintasi batas-batas itu dengan sengaja.
Oleh karena itulah, Harari adalah salah satu dari sekian banyak ilmuwan sosial yang menolak karantina wilayah menjadi satu-satunya solusi pengamanan pandemi. Baginya, ekonomi akan runtuh tanpa terbukanya perbatasan, dan ia pada akhirnya lebih mendukung isolasi mandiri sebagai solusi.
Harari tidak menolak peran negara. Tidak. Ia hanya sedikit khawatir karena sistem politik selama ini menjadi ajang kekuasaan golongan tertentu, bahkan dalam demokrasi sekalipun. Oleh karena itu, yang diperlukan saat ini bukanlah institusi besar berasaskan keragaman, melainkan kesadaran sesama manusia untuk tetap menjalankan protokol kesehatan. Untuk mewujudkan kesadaran itu, diperlukan keterbukaan informasi dan akses yang setara terhadap fasilitas kesehatan. Mengapa partisipasi negara mesti disingkirkan? Karena pada praktiknya, negara seringkali memonopoli dua hal penting itu.
Saya tidak melihat Harari sebagai sosok yang perfeksionis. Ia tidak mengharapkan banyak hal, namun menebak saja kemungkinan-kemungkinan besar; keabadian, bersatunya manusia sebagai spesies, dan kerusakan lingkungan yang segera diatasi. Sebagai sejarawan, ia tidak repot-repot membuat prediksi yang akan menuntut perkembangan evolusi. Ia tahu manusia bisa melakukannya sendiri. Teknologi membuat manusia menjadi lebih berkuasa, dan revolusi-revolusi lain akan muncul sebagai langkah besar. Harari sendiri, optimis akan semua itu.
Belajar dari masa lalu bukan hanya pekerjaan rumah bagi seorang sejarawan seperti Harari. Itu tugas seluruh umat. Untuk itulah, kita punya catatan pandemi di masa lalu, sebagai pembelajaran di masa kini. Untuk itulah, kita mencatat lagi pandemi yang sedang terjadi. Kalaupun ada yang lebih buruk dari saat ini, spesies kita dengan siap menghadapinya.