“Tiap kali ditanya apa yang kuinginkan, dorongan pertamaku adalah menjawab ‘tidak ada’. Pikiran yang terlintas di benakku adalah percuma saja semuanya, tidak ada yang bisa membuatku bahagia.”
Pernyataan ini tidak keluar dari mulut seorang petapa suci yang telah menalak tiga dunia beserta kesenangan-kesenangannya. Bukan pula penggalan kutipan drama abad-17 tentang istri seorang raja yang tak bahagia dalam kastilnya.
Ini adalah pengakuan jujur seorang anak laki-laki yang sedari mula tidak melihat adanya hal-hal yang menyenangkan dalam hidup ini.
Bocah bernama Yozo Oba itu merupakan protagonis dalam novel No Longer Human karya Osamu Dazai. Yozo tumbuh bersama perasaan terasing dan ketakutan kepada orang lain yang membuatnya harus terus-menerus berjuang agar tidak terdiskualifikasi dari menjadi seorang manusia.
Buku yang dalam bahasa Jepang berjudul Ningen Shikkaku itu disebut-sebut sebagai penjualan terbaik kedua oleh penerbit Shinchosha setelah novel Kororonya Natsume Soseki.
Karya ini turut pula melambungkan nama Dazai sebagai salah satu penulis paling berpengaruh di kesusastraan Jepang, menyandingkannya dengan nama-nama besar seperti Ryonosuke Akutagawa dan Yasunari Kawabata.
Di Indonesia sendiri, sejauh pengetahuan saya, ada dua penerbit yang telah menerjemahkan karya ini ke dalam dua judul yang berbeda: Orang Gagal dari Penerbit Basa-Basi dan penerbit Mai yang memilih judul Gagal Menjadi Manusia.
Yang membuat novel ini menarik tidak lain karena merupakan gambaran hidup penulisnya sendiri. Dalam kesusastraan Jepang, dikenal istilah novel-I, sejenis autobiografi yang digunakan oleh Dazai untuk memproyeksikan Yozo sebagai citra dirinya sendiri yang pecandu alkohol, penderita depresi, dan kecenderungan bunuh diri.
Meski kerap disebut sebagai karya sastra pasca perang (karena terbit tahun 1948), Dazai memilih tahun 30-an sebagai latar untuk ceritanya.
Pada masa itu, kebudayaan nasionalistis di Jepang sedang mencapai titik puncaknya seiring dengan ekspansi militer “Cahaya Asia” tersebut ke seluruh penjuru mata angin. Rakyat Jepang dijejali dengan slogan-slogan patriotik dan kesetiaan untuk membela negara.
Dalam arus berpikir masyarakat yang demikian, Yozo kecil tumbuh sebagai sebuah anomali. Ia kesulitan untuk memahami cara berpikir orang lain dan tak mampu membentuk hubungan emosional yang baik, bahkan kepada keluarga terdekatnya sendiri.
Kadang, ketika diminta melakukan sesuatu, ia sungguh ingin menolaknya, tapi tak mampu mengatakan tidak. Seperti ketika ayahnya hendak ke kota dan meminta anak-anaknya untuk menuliskan barang apa yang mereka inginkan sebagai oleh-oleh. Ketika sampai giliran Yozo, ia tak bisa berkata apa-apa.
Ia sebenarnya tak menginginkan apapun, namun karena tak ingin membuat ayahnya kecewa, suatu malam Yozo diam-diam menyelinap dan menulis di buku catatan ayahnya tentang topeng singa, sesuatu yang memang dibayangkan ayahnya untuk anak sekecil Yozo. Hal itu membuat satu keluarga tertawa dengan tingkah Yozo yang dianggap pemalu itu.
Dari situ Yozo mulai mengembangkan satu mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi dunia luar. Ia belajar untuk membuat orang-orang di sekitarnya tertawa dengan memasang topeng diri dan bertingkah konyol seperti badut.
Melawak! Dengan cara itulah Yozo menjalin hubungan dengan orang di sekitarnya. Namun, tetap saja hal itu tak membuat Yozo merasa telah berhasil diterima di dunia manusia.
Semakin ia menampilkan diri lain yang dibuat-buat, semakin topeng itu membuatnya terasing dan ketakutan terhadap sifat asli manusia bertambah besar. Di sini, kekhawatiran tentang kegagalan untuk menjadi manusia mulai membayangi Yozo.
Bahkan ketika Yozo telah tumbuh dewasa dan masuk ke sekolah seni, ia tetap saja tak menemukan semacam kunci untuk memahami dunia manusia. Pertemuannya dengan Horiki, seorang pemuda ugal-ugalan di kelas melukis membawanya semakin jauh dari menjadi manusia normal.
Horiki yang segera menjadi sahabatnya itu membawanya ke tempat pelacuran, mabuk, dan konsumsi obat-obatan. Dan ketika Yozo mencoba menjalin hubungan dengan seorang perempuan malah berakhir dengan tindakan bersama melompat ke sungai untuk bunuh diri.
Yozo selamat, perempuan itu mati. Tokoh utama cerita semakin tenggelam dalam kubangan depresi.
Di akhir cerita, di usianya yang baru 27 tahun, Yozo diasingkan oleh keluarganya ke sebuah rumah terpencil dekat pelabuhan bersama seorang perawat tua setelah menjalani tahun-tahun depresif di rumah sakit jiwa.
Yoso terusir dari keluarga, tersingkir dari peradaban, dan terdiskualifikasi dari kehidupan. Gagal menjadi manusia.
Ketakutan Manusia Modern Terdiskualifikasi dari Peradaban
Konon, sebuah karya sastra dikatakan bagus jika mampu menggambarkan pergolakan yang terjadi pada zamannya, dan No Longer Human berhasil melakukan itu.
Meski mengambil latar tahun 1930-an, Dazai mulai menulisnya pada tahun 1946, setahun setelah Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang membuat Jepang porak-poranda.
Nuansa gelap dan pesimisme dalam tulisan Dazai mewakili kebingungan yang dialami generasinya dan rasa muak terhadap generasi tua beserta semua nilai-nilai yang menghantarkan Jepang sebagai negara kalah.
Namun, kehebatan Dazai tak berhenti pada kemampuannya menghidupkan kemurungan yang diakibatkan oleh perang, tapi juga kejeniusannya dalam menggali perasaan terdalam manusia.
Warisan Dazai tentang topeng manusia tetap relevan untuk terus dibicarakan sampai hari ini. Hampir 80 tahun setelah No Longer Human terbit, sebagai individu-individu yang hidup di masa sekarang, kita masih bisa merasakan gema ketakutan yang dirasakan Yoso dalam diri kita ketika membaca buku tersebut.
Bukankah setiap dari kita sedang berjuang agar tetap selaras dengan masyarakat. Supaya tidak terdiskualifikasi sebagai manusia?
Saya sendiri lebih senang menggunakan kata ‘diskualifikasi’ ketimbang gagal. Selain karena itulah arti yang paling akurat untuk kata Shikkaku, kata ini juga mewakili sesuatu yang lebih spesifik dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pertandingan olahraga, misalnya, seseorang terdiskualifikasi karena dianggap melanggar peraturan atau meninggalkan pertandingan.
Baca Juga: Cara Mati Ketawa ala Milan Kundera
Yozo Oba sejak kecil telah memiliki kecenderungan tersebut. Ia tidak pernah cocok dengan masyarakatnya. Pikiran dan cara bertindaknya terlihat asing bagi standar norma dan kebiasaan masyarakat.
Terdiskualifikasi juga berarti pernyataan bahwa seseorang tidak cakap atau tidak mampu, sifat yang melekat pada diri Yozo bahkan untuk hal-hal kecil, seperti ketidakmampuan menawar atau kabur meninggalkan barang belanjaan begitu saja saking takutnya menghadapi orang lain.
Yozo Oba mungkin manusia paling sia-sia di dunia, tapi bukankah kita juga sering menemukan sepasang kaki kita sendiri di atas jejak langkah Yozo?
Bahwa kita perlu menggunakan topeng yang berbeda dari diri sebenarnya agar diterima masyarakat. Kita berusaha menampilkan diri sebaik mungkin di media sosial, memoles diri dengan citra tertentu agar cocok dengan harapan orang tua atau teman.
Kita ikut-ikutan memposting sesuatu yang viral, membeli barang yang diminati massa, ikut nimbrung dalam pembicaraan tertentu, semata agar kita tidak ketinggalan trend.
Saya kenal dengan seorang teman yang latah menghafal jenis-jenis kopi dan alur pemrosesan semacamnya, semata untuk diterima di sirkelnya. Ia bilang bosan jadi satu-satunya yang melongo ketika teman-temannya lagi ngobrolin kopi.
Warisan Seorang Dekaden
Dazai bukanlah filsuf atau motivator yang memberikan jalan keluar dari tegangan antara individu dan lingkungannya.
Ia tak seperti Stoa yang menjadikan pengendalian pikiran sebagai cara untuk terbebas dari penderitaan. Tidak pula ia menawarkan jalan terang di bawah langit revolusi untuk membangun dunia yang baru dan positif.
Dari sisi ini, kita bisa melihat nuansa nihilistik dalam pandangannya. Para kritikus konservatif bahkan menggolongkan Dazai ke dalam penulis angkatan dekaden yang tak bertanggung jawab atas karyanya selain menyebar narasi absurd dan tanpa nilai.
Namun, terlepas dari kritik itu, Dazai tetaplah penulis yang justru semakin perlu dibaca untuk memahami kehidupan hari ini. Tuduhan ‘tanpa nilai’ bagi saya tidak sepenuhnya benar.
Persoalannya bukanlah apakah sebuah karya wajib menyertakan pesan dan nilai-nilai tertentu atau tidak. Di masa Dazai hidup, ia telah mencium gelagat tak baik dari apa yang disebut nilai-nilai. Nasionalisme yang berubah cepat dari nilai kolektif sebuah bangsa menjadi mesin perang imperium fasis.
Selain itu, Perang Dunia juga membelah dunia ke dalam kelompok-kelompok yang mengusung cita-cita dan saling bertentangan.
Diceritakan bahwa Yozo Oba bergabung dengan kelompok sayap kiri di universitas bukan karena ia meyakini kebenaran cita-cita teman komunisnya, melainkan lebih untuk menghabiskan waktu dan sedikit kagum atas ketidaklogisan cita-cita mereka (bersimpati kepada komunis yang dimusuhi rezim saat itu).
Pada akhirnya, sebuah cerita tetaplah sebuah pesan itu sendiri. Osamu Dazai mengakhiri hidupnya pada 13 Juni 1948 dengan melompat bersama kekasihnya ke dalam sungai Tama.
Sesuatu yang tak akan tega ia lakukan pada karakter Yozo Oba dalam ceritanya. Dunia yang ia bangun dalam novelnya mungkin di mata Dazai sendiri sungguh memuakkan.
Tapi, pada akhirnya, tak ada yang bisa ia lakukan selain berharap ‘yang terbaik’ pada Yozo dengan menyelamatkannya dari bunuh diri dan mengirimnya ke rumah sakit jiwa pada akhir cerita.
Seperti kebanyakan penulis eksentrik lainnya, Dazai mempertegas kepada kita sekali lagi lewat No Longer Human bahwa ketidakcocokan dengan masyarakat bukanlah melulu kegagalan kita sebagai individu.
Bisa jadi, dunia yang kita tempati hidup inilah yang secara sewenang-wenang tak memberikan ruang bagi perbedaan. Dan saya kira, perspektif itulah sumbangan terbesar seorang dekaden bagi kemanusiaan.