Sejarah peradaban dunia telah mencatat bahwa kemanusiaan atau Hak Asasi Manusia (HAM) bukanlah barang baru. Kemanusiaan atau HAM bukan semata produk budaya modern.
Ia muncul dan berkembang sejalan dengan kemunculan dan perkembangan manusia. Ketika manusia pertama kali ada di dunia, maka di situlah kemanusiaan dan HAM ada.
Secara konsep dan teori, kemanusiaan dan HAM pertama kali muncul dan termaktub dalam The Cyrus Cylinder, yaitu sebuah silinder tanah liat yang ditulis oleh raja Cyrus dari Persia setelah menaklukkan Babilonia pada tahun 539 sebelum masehi.
Dalam silinder ini, raja Cyrus mengatakan bahwa semua rakyatnya, termasuk rakyat Babilonia yang baru saja ditaklukkan, bebas memeluk agama apa saja, dan akan mendapat perlakuan yang sama, apapun ras dan latar belakangnya.
The Cyrus Cylinder inilah yang kemudian menjadi biang dari gagasan mengenai kemanusiaan dan HAM yang setelahnya bergaung di negara-negara Barat.
Ia menginspirasi terciptanya Magna Carta pada tahun 1215, Petition of Rights tahun 1628, gagasan John Locke soal kemanusiaan pada abad ke-17, konstitusi Amerika tahun 1787, serta beberapa konstitusi negara Barat lainnya, khususnya yang mengatur tentang kemanusiaan dan HAM.
Hasilnya tentu sudah bisa kita lihat dengan jelas. Negara-negara Barat—Amerika dan Eropa—adalah negara yang sangat menjunjung tinggi persoalan kemanusiaan dan HAM.
Kita juga bisa lihat bagaimana negara-negara tersebut membebaskan warganya untuk mengimani apapun, melakukan apapun, atau berbicara tentang apapun—asalkan tidak melanggar hukum. Kemanusiaan dan HAM terlihat cerah sekali di negara Barat.
Namun, sayangnya itu tidak berlaku ketika berbicara tentang Palestina.
Negara-negara Barat Gagal Paham Tentang Persoalan Palestina
Negara-negara Barat (terutama Amerika Serikat dan Inggris, termasuk Israel), yang katanya menjunjung tinggi soal HAM, punya alibi dan pledoi sendiri ketika membicarakan terkait apa yang terjadi di Palestina saat ini.
Mereka selalu mengungkit soal apa yang terjadi pada 7 Oktober 2023, ketika pasukan Hamas menyerang Israel dan menewaskan setidaknya 1.400 korban jiwa.
Peristiwa tersebut yang kemudian menjadi pembenaran bagi zionis Israel untuk meluluhlantakkan Gaza, Palestina, dan menewaskan lebih dari 30.000 jiwa.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel tidak pernah berhenti membombardir Gaza. Seruan gencatan senjata tak pernah digubris. Rentetan demonstrasi dan protes juga diabaikan.
Bom, roket, misil, dan senapan tetap diarahkan pada warga Gaza tanpa ampun. Pemukiman mereka menjadi sasaran. Rumah sakit hancur dihujani bom. Tenda pengungsian juga tak luput dari ledakan.
Di tengah berbagai situasi kejahatan kemanusiaan ini, Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Barat lainnya dengan bangga mendukung serta menyokong penjajahan dan genosida yang dilakukan oleh Israel.
Sokongan dana, senjata, maupun bantuan propaganda untuk Israel digelontorkan. Media-media Barat nyaris tak pernah bersuara terkait kekejaman Israel. Bahkan, di beberapa kesempatan, mereka mencoba menampilkan narasi atau melakukan framing untuk menjustifikasi pembantaian di Palestina.
Di sini, kemanusiaan dan HAM seperti jadi angin lalu dan omong kosong saja.
Mirisnya lagi, para demonstran yang sedang bersuara dan bersolidaritas untuk Palestina malah dipersekusi.
Mungkin kita masih ingat terkait beberapa aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa di kampus-kampus ternama Amerika Serikat.
Selain tidak mendapat dukungan dari kampusnya, aksi-aksi tersebut juga dibalas dengan persekusi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Ternyata, menuduh para penentang kekejaman Israel sebagai anti-semit atau rasis masih belum cukup.
Apa ini yang dinamakan kemanusiaan dan HAM ala negara Barat?
Kemanusiaan dan HAM semakin terbukti menjadi sebatas omong kosong negara Barat ketika tenda pengungsian di Rafah, bagian selatan Gaza, dibombardir oleh Israel. Puluhan hingga ratusan jiwa menjadi korban.
Amerika Serikat diam. Inggris pura-pura tutup mata. Beberapa negara Barat lainnya mencoba bersuara, tapi terlihat malu-malu dan tidak tulus. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menganggap serangan di Rafah itu sebagai “insiden tragis”.
“Insiden tragis”, sebuah deskripsi yang mungkin akan membuat penjahat kemanusiaan kelas kakap seperti Adolf Hitler tidak ada apa-apanya.
Kemanusiaan dan HAM Hanya Omong Kosong bagi Negara-negara Barat
Apa yang terjadi di Palestina, di Gaza, atau di Rafah, sudah cukup menjadi bukti bahwa kemanusiaan dan HAM hanya omong kosong belaka bagi negara-negara Barat.
Mereka hanya peduli pada kemanusiaan dan HAM jika itu bakal menguntungkan mereka. Namun, saat hal itu terpampang jelas di Palestina, di Gaza, dan di Rafah, mereka seakan lupa tentang kemanusiaan dan HAM yang selalu mereka gembar-gemborkan itu
Lihat saja, bagaimana Amerika Serikat dan Inggris, serta media-medianya, melihat persoalan Palestina dengan terus mengungkit tentang serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Padahal, ada banyak kejadian atau peristiwa lain terkait situasi di Palestina yang juga tidak kalah penting untuk dibicarakan. Namun, entah mengapa mereka selalu ingin berfokus pada peristiwa 7 Oktober 2023. dO yOu cONdEmN HaMaS?
Baca Juga: Sepak Bola Masih Hipokrit Soal Kemanusiaan
Selain itu, mereka juga lupa bahwa apa yang terjadi di Palestina bukan melulu soal Hamas atau serangan 7 Oktober tersebut. Apa yang terjadi di Palestina tidak dimulai dari 7 Oktober 2023, namun sudah terjadi setidaknya 75 tahun sebelumnya.
Yang terjadi di Palestina, termasuk di Gaza dan di Rafah, adalah sebuah penjajahan panjang dan praktik genosida oleh Israel selama puluhan tahun yang telah merenggut hak dan nyawa ratusan ribu hingga jutaan jiwa.
Salah satu bentuk kejahatan terbesar terhadap kemanusiaan, yang sayangnya malah diberi karpet merah oleh mereka yang mengaku paling depan dalam menjunjung tinggi kemanusiaan dan HAM. Menjijikkan!
Sudahlah. Sudah saatnya negara-negara Barat macam Amerika Serikat dan Inggris ini berhenti ngomong tentang kemanusiaan dan HAM. Sudah saatnya juga mereka berhenti menceremahi negara-negara lain soal kemanusiaan dan HAM.
Sikap mereka dalam kasus Palestina, serta rekam jejak mereka dalam kejahatan kemanusiaan sudah lebih dari cukup untuk menjadi bukti ketidakpantasan ini.
Selama mereka masih pasif atau permisif atas apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina, selama mereka belum berdiri bersama rakyat Palestina, selama itu pula ide atau gagasan mereka tentang kemanusiaan dan HAM hanya sebuah omong kosong dan hipokrisi belaka.
From the river to the sea, Palestine will be free!