Menjadi jomblo di masa serba konten memang menyebalkan. Jika saya hidup lima puluh tahunan lalu, barangkali pemuda daerah yang lajang seperti saya akan tenang-tenang saja menghadapi rasa kesepian.
Saya tinggal meneruskan tradisi “peknggo” alias ngepek tonggo (berjodoh dengan tetangga). Beruntung jika saya dijodohkan dengan anak pak lurah. Atau, jika kemungkinannya “ngrantes” , ya sudah, saya mungkin hanya berharap bisa meminang janda sebelah.
Begitu mungkin alur hidup saya, jika merunut fenomena di kampung saya semasa belum terlalu tersentuh peradaban dan mobilitas. Mungkin, saya tidak akan menjadi anak kosan kesepian yang berdampingan dengan lalu lintas kehidupan urban. Saya akan lebih memilih pergi ke ladang, lantas pulang sambil memutar radio dengan tembang Jawa.
Sayangnya, saya hidup di zaman dengan banyaknya pilihan dan kemudahan berkat gawai di samping bantal. Kemudahan dan pillihan yang menggoda prinsip “melajangkan diri”, dan membuat saya iseng-iseng mengunduh aplikasi random chat bernama Chatous.
Saya malas mencari pasangan, tapi saya ingin melampiaskan rasa kesepian dengan mencari strangers, maka langkah tersebut saya putuskan dalam lima menitan.
Sekali lagi, andai saya tidak mengenal dunia digitalisasi secanggih sekarang ini, mudah bagi saya untuk memilih berdamai dengan rasa kesepian sambil merapal “Munajat Cinta”, alih-alih melampiaskan dengan mengunduh aplikasi semacam Chatous.
Sungguh, peradaban ini membawa petaka bagi insan kesepian seperti saya. Kenapa petaka?
Baca Juga: Mencari Jodoh di Kampung Inggris Pare
Digitalisasi Menyambut Rasa Kesepian Kita, Tapi Patah Hatinya Sama Saja
Menurut survei kecil-kecilan saya sendiri, hampir semua strangers di luar sana, termotivasi mengunduh aplikasi Chatous dengan alasan “gabut” dan “iseng-iseng”. Awalnya emang gabut dan iseng-iseng, eh kok nyambung. Niatnya cuma buat menemani gabut semalam. Kalau terlanjur nyaman, ya bisa chatting setahunan. Ini nyata!
Ya, di aplikasi tersebut saya pernah chat-an dengan orang yang sama selama setahun lebih, pun dengan drama layaknya percintaan di dunia nyata. Dan masalahnya, kami beda kota, beda provinsi.
Tapi, ada sedikit harapan kala saya sempat meet-up dengan kawan kencan online saya itu sebanyak dua kali. Harapan makin melambung, kala si do’i memiliki niat mengikuti tes SBMPTN dengan tujuan kampus di kota domisili saya.
Jadi, selama setahun saya benar-benar menjalin hubungan minim pertemuan tersebut. Membalas chat di setiap malam. Cerita ini jelas berbeda dengan hubungan jarak jauh Ahmad Dhani dan Maia Estianty yang kemudian melahirkan lagu “Kangen”.
Mereka dipertemukan di dunia nyata, sementara saya dipertemukan di dunia maya. Begitulah roda kehidupan.
Semua itu terjadi, karena random chat sendiri memiliki lalu lintas cepat, baik untuk matching maupun chatting. Berbeda dengan dating app semacam Tinder yang sering membuat kamu mesti bersabar. Dengan kecepatannya, kamu bisa menemukan orang yang nyambung dalam semalam. Kalau tidak nyambung, tinggal matching ulang. Cepat.
Sialnya, aplikasi semacam itu memiliki radius yang luas. Untuk minimum saja, mencakup satu negara. Berbeda dengan aplikasi semacam Tinder yang bisa disempitkan radiusnya. Kemungkinan terbesarnya, kamu akan menemukan stranger yang nyambung, dan berbeda domisili, lantas menjalin hubungan LDR tanpa kepastian. Maka dari situ cerita hubungan saya dengan si stranger terjadi.
Setahun lebih berlalu, singkat cerita, dengan berbagai alasan yang tak jelas. Apalagi, ditambah ditolaknya si stranger oleh kampus di kota domisili saya, hubungan LDR dengan si stranger berakhir cidro alias patah hati.
Jangan pernah remehkan patah hati digital seperti ini, gara-gara hubungan digital itu, saya pernah menahan tangis kala Pee Wee Gaskins membawakan “Sebuah Rahasia” dibarengi sing along penonton. Sungguh bodoh.
Baca Juga: Membaca Peluang Berdakwah di Whisper
Tapi saya tak sendiri, karena setelah saya kepo-kepo, dan menanyai stranger di luar sana, ternyata cerita patah hati serupa sering terjadi. Terlanjur nyaman, dikuatkan oleh satu-dua kali pertemuan, lantas berakhir cidro layaknya hubungan nyata. Saya saja yang pernah mengalaminya sendiri, masih gedek-gedek.
Bahkan, menurut beberapa pengakuan, beberapa strangers mengaku menjalin hubungan dengan durasi hubungan yang lebih gila. Pernah seorang stranger mengaku menjalin hubungan dua tahun lamanya, ada yang lebih. Beberapa hubungan yang berlanjut kisaran bulan pun juga sama, melahirkan cidro setelahnya. Entah yang sempat bertemu dan yang nir-tatap muka.
Chatous juga tak sendirian, karena hubungan semacam ini juga umum terjadi di media sosial lain semacam Twitter. Sayangnya saya tak punya pengalaman semacam itu di Twitter. Tapi meme-meme yang bersebaran menjadi legimitasi bahwa peradaban ini membawa tren menjalin hubungan aneh. “Dijalankan di dunia maya, bapernya nyata”. Sialan!
Jelas, ini bukan dongeng hubungan jarak jauh beda alam antara seorang penjaga mercusuar dengan Ratu Atlantis, yang kemudian melahirkan Aquaman. Bukan pula kisah Raja Jawa dengan pasangan gaib-nya, Ratu Selatan di dalam kisah “Babad Tanah Jawa”. Kisah jarak jauh ini benar-benar nyata, semakin umum, dan tumbuh di era kita. Kita!
Sebuah realita yang lahir atas kemudahan peradaban. Peradaban yang menjemput strangers kesepian. Jika kemungkinan buruk terjadi, apakah para strangers yang pernah mengalami patah hati semacam itu harus menyalahkan peradaban?
Entahlah, tapi saya lebih sering mengatakan “Bodoh” pada diri saya sendiri. Sudahlah. Tapi saya yakin, dari sekian banyak strangers kesepian yang gagal dan patah hati dalam menjalankan hubungan konyol seperti ini, barangkali ada pula yang berakhir happy ending. Ya, jika itu kamu, semoga saya dapat membaca ceritamu.