Pesantren bukan Tempat Pembuangan Anak

Pesantren bukan Tempat Pembuangan Anak

Pesantren bukan Tempat Pembuangan Anak
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Tidak sedikit orang tua yang memasukkan anaknya ke pondok pesantren sebagai upaya lari dari tanggung jawab untuk mendidik anak menjadi generasi yang Islami.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sekaligus institusi pendidikan tertua di Indonesia hingga hari ini masih mengantongi kepercayaan dan anggapan ‘suci’ yang besar dalam masyarakat.

Status sebagai santri ibarat menduduki tahta tertinggi. Saking tingginya, masih ada aja segerombolan orang yang mikir bahwa mereka tak lain adalah malaikat yang sedang jalan-jalan di bumi. Mentereng banget deh pokoknya!

Akan tetapi, jika melihat realitanya, tidak sedikit orang tua yang memasukkan anaknya ke pondok pesantren sebagai upaya lari dari tanggung jawab untuk mendidik anak menjadi generasi yang Islami, seperti hapal kitab suci, rajin mengaji, serta sempurna dalam ibadah-ibadah wajib maupun sunah.

Tugas tersebut dilempar tanpa tedeng aling-aling ke pundak dan tangan-tangan dingin ustadz dan ustadzah. “Pokoknya nggak mau tahu, anak saya harus jadi alim, bermoral, taat, berbakti, mandiri, berprestasi. Titik.”

Baca Juga: Regretting Motherhood: Ketika Tak Semua Perempuan Ingin Jadi Ibu

Orang tua lupa bahwa akidah adalah sesuatu yang dibangun atau ditumbuhkan sedini mungkin dari rumah. Mau anak soleh dan soleha? Orang tuanya dulu dong yang harus kasih contoh.

Orang tua sudah salat 5 waktu, belum? Kalau orang tua aja nggak mau ibadah, kok, maksa anak untuk ibadah? Baca Quran berat? Ya, kok, maksa anak untuk hapal? Coba orang tuanya dulu yang hapalan.

Mungkin terlihat sederhana, tapi nggak semua bersedia. Maunya yang instan-instan aja. Inginnya ketika nanti pulang ke rumah, anak bisa langsung jadi imam masjid, mimpin IRMA, atau hapal hadits dan dalil di luar kepala. Simsalabim, mendadak keren dalam satu kedipan mata!

Hal ini salah satunya terjadi pada kerabat saya yang beberapa bulan lalu mengirim anak tunggalnya ke pesantren tanpa ngasih warning soal kondisi di sana nantinya.

Misal, tidurnya ramai-ramai, makannya dijatah dan nggak bisa seenanknya nambah, barang pribadi itu urusan masing-masing, baju dicuci sendiri, bangunnya jam dua pagi dan nggak ada istilah lanjut tidur lagi selepas salat subuh.

Alhasil, karena tidak di-briefing dari awal, si anak mengibarkan bendera putih setelah dua minggu yang berat. Menyerah dengan air mata bercucuran. Nggak kuat, coy!

Belum lagi dengan potensi persoalan-persoalan lain yang dapat menimpa anak di pondok pesantren seperti perundungan, pelecehan dan kekerasan seksual, tawuran, nilai merosot turun, sering bolos, dan sebagainya.

Pesantren Dianggap Bengkel

Saya mengerti, pondok pesantren jelas punya andil dalam penerapan aturan, pengawasan, pendampingan, dan penjagaan agar murid-murid tetap berada dalam koridor yang benar.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa selain sistem pondok pesantren yang wajib dibenahi, orang tua yang mengirim anak untuk menuntut ilmu di sana juga harus instrospeksi. Misalnya, jika anak yang dipondokkan kemudian tidak menjadi sesuai dengan yang diharapkan.

Di sini, orang tua perlu sadar bahwa hal semacam itu dapat terjadi karena niat si anak bukan untuk menuntut ilmu, tapi karena terpaksa. Mereka nggak punya pilihan karena takut.

Tapi, kenyatannya, masih banyak orang tua yang menganggap bahwa pondok pesantren merupakan salah satu sarana pendisiplinan atau perbaikan kualitas diri terbaik bagi anak.

Saya sendiri nggak sepakat sama cara pandang demikian. Anak nakal, masukkan pesantren saja. Anak malas diancam, “awas, ya, kamu bapak masukkan pesantren.” Kalau nilai jelek, solusinya masuk pesantren. Nggak! Pesantren bukan tempat mencuci-mengucek pribadi, sikap, dan otak anak. Pesantren bukan bengkel!

Belum lagi orang tua yang selalu menekankan tentang kemandirian. Padahal sejak awal, anak tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi pribadi yang mandiri.

Nggak pernah diajarin bertanggung jawab atas urusannya sendiri. Pakaiannya dicuciin, disetrikain. Cuci piring? Apa itu? Nggak pernah diajak atau diajarin. Nyapu, ngepel, dan merapikan kamarnya sendiri pun nggak pernah.

Anak tiba-tiba laporan ada PR dari guru di sekolah pukul 9 malam, malah orang tuanya yang ngerjain sampai begadang. Anak lepas tangan. Tidur. Bangun-bangun PR udah selesai dan siap dikumpulkan. Segala hal dilayani. Kontradiktif.

Pikirkan Matang-Matang Sebelum Mengirim Anak ke Pesantren

Menyerahkan tanggung jawab mendidik anak ke pondok pesantren tanpa persiapan yang benar-benar matang juga berpotensi mempengaruhi hubungan orang tua dan anak.

Minimnya interaksi dalam periode yang cukup lama dapat menimbulkan perasaan asing di antara keduanya. Ngobrol basa-basi aja sulit. Ketika lulus dari pesantren, anak malah nggak betah di rumah. Mulai mencari-cari kesenangan atau pelarian di luar.

Hal ini juga dapat berujung pada persoalan kesehatan mental. Misalnya, timbul perasaan tidak diinginkan dalam diri seorang anak yang dipondokkan secara sepihak oleh orang tuanya. Atau perasaan terkekang yang muncul dari paksaan orang tua.

Perasaan-perasaan semacam ini biasanya akan terus menghantui anak hingga ia dewasa. Ada lubang besar di hatinya yang membuat ia nggak bisa kembali ‘pulang’.

Berapa banyak kasus anak yang harus bertemu psikolog dan dirujuk ke psikiater karena mentalnya bermasalah akibat tertekan, terkekang, dan merasa tidak berguna?

Yang harus semua orang ketahui adalah upaya pemulihan tidak hanya berlangsung satu atau dua kali, namun bisa berkali-kali, bahkan bisa jadi seumur hidup.

Orang tua memang punya hak untuk mengarahkan anak menuju masa depan yang cerah. Namun, perlu diingat bahwa anak-anak ini juga berhak atas kasih sayang, cinta, perhatian, kepedulian, dan kehadiran orang tua dalam menapaki hari-harinya.

Keberadaan orang tua mampu membuat anak merasa berharga, diinginkan, dibanggakan, sehingga memicu rasa aman, nyaman, dan ketenangan.

Inilah yang akan meningkatkan kualitas hidup anak. Ingat, menciptakan anak yang bahagia adalah prioritas. Lainnya bisa menunggu. Prestasi mengekori. Suer, deh!

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan oleh orang tua yang berniat memasukkan anak ke pondok pesantren? Riset, riset, riset! Cari tahu secara mendalam, gimana, sih, aturan di pesantren itu? Apa kekurangan dan kelebihannya?

Jangan lupa, telusuri perizinan pondok pesantren yang dituju agar meminimalisir hal-hal yang nggak diinginkan. Persiapkan anak untuk menghadapi kehidupan pondok yang jelas berbeda dengan rumah.

Tak lupa—dan ini yang paling penting—tanyakan kesediaan anak. Dengarkan pendapat mereka serta lihat potensi yang ada dalam diri anak.

Sebab, sebagus dan sebaik apapun pondok pesantren, hasilnya tidak akan maksimal jika anak nggak memiliki kecondongan ke sana atau justru memiliki minat dan bakat yang dapat lebih berkembang di tempat atau institusi pendidikan lain.

Kenapa tidak mempertimbangkan keputusan yang adil bagi kedua belah pihak? Toh, pesantren bukan harga mati. Anak masih dapat berkembang jadi pribadi yang utuh di tengah-tengah lingkungan keluarga yang saling mendukung dan saling melindungi. Bukankah itu yang terpenting?

Penulis

Siti Sonia Aseka

Seorang IRT sekaligus penulis lulusan Pendidikan Bahasa Inggris. Telah menerbitkan tiga buah buku; novel (Valid Sense, Bening Media Publishing), kumpulan cerpen (Segenggam Jadi Banyak, Guepedia), dan kumpulan puisi (Rute Nol Kilorasa, Guepedia)
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
Salah Kaprah Perihal Matematika
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel