Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB

Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB

Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB
Ilustrasi oleh Vivian Yoga Veronica Putri

Langkah ITB ini dinilai tidak etis, tidak berperikemanusiaan, dan agak absurd. Alasannya, total nominal UKT yang harus dibayarkan jika melalui skema pinjol akan lebih besar daripada total nominal UKT tanpa pinjol.

Story Instagram teman-teman saya yang berkuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung) belakangan sempat diramaikan tagar #InstitutTapiBerpinjol.

Rupanya, ITB memberikan alternatif bagi para mahasiswanya untuk membayar UKT (Uang Kuliah Tunggal) melalui skema pinjol (pinjaman online). ITB bahkan bekerja sama dengan salah satu penyedia layanan pinjol, Danacita. Pinjaman akan dibayarkan dengan tenor terpanjang 12 bulan.

Jawaban teman-teman saya terkait fenomena ini rata-rata sama: bahwa langkah ITB tidak etis, tidak berperikemanusiaan, dan agak absurd. Alasannya, total nominal UKT yang harus dibayarkan jika melalui skema pinjol akan lebih besar daripada total nominal UKT tanpa pinjol.

Padahal, skema ini awalnya diberlakukan supaya mahasiswa bisa mendapatkan keringanan finansial. Sayangnya, bukannya lebih murah, biaya kuliah justru melambung tinggi karena adanya bunga, seperti biaya platform (0-1,75% per bulan) dan biaya persetujuan (3%). Danacita sendiri mengklaim bahwa total bunga keseluruhan mencapai 0,07% per hari.

Skema ini menargetkan mahasiswa dengan status ekonomi menengah ke bawah yang merasakan kesulitan dalam membayar UKT. Alih-alih menguntungkan, skema pinjol hanya merepotkan karena menambah-nambah utang.

Saya rasa penerapan skema ini ibarat pembohongan publik yang memanfaatkan ketidaktahuan penggunanya. Orang tua mahasiswa dengan status ekonomi menengah ke bawah biasanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

Jadi, mungkin mereka tidak akan menyadari bahwa besaran UKT melalui skema pinjol sebenarnya lebih mahal. Hanya dengan melihat cicilan per bulan yang lumayan kecil, mereka langsung berpikir bahwa pinjol adalah alternatif terbaik dan buru-buru menyetujuinya.

Mana Empatinya, Bu Rektor?

Yang betul-betul membuat mahasiswa ITB naik pitam adalah klaim-klaim rektor ITB, Reini Wirahadikusumah, yang katanya tidak berempati. Misalnya seperti, “jual aset buat kuliah itu biasa” dan “kalian seharusnya bersyukur karena masuk ITB saja sudah sulit.”

Bahkan, rektor ITB seolah-olah membenarkan skema pinjol dengan mengklaim bahwa kebijakan ini dapat memajukan kualitas pendidikan di ITB. Lagi pula, sudah ada 10 mahasiswa yang menggunakan layanan tersebut. Selain itu, banyak juga universitas lain yang sudah bekerja sama dengan Danacita.

Walaupun bukan mahasiswa ITB, saya ikut emosi mendengar klaim-klaim ini. Kalaupun pengguna Danacita ada seribu, kek, sejuta, kek, apa itu dapat membenarkan ITB yang menggunakan pinjol untuk menyengsarakan mahasiswanya?

Maksudnya, mentang-mentang lembaga lain berbondong-bondong menggunakan skema pinjol, ITB juga harus ikutan, gitu? FOMO, kali, ya?

Apa pula maksud “jual aset buat kuliah itu biasa”? Rektor ITB pasti tidak tahu bimbangnya orang tua mahasiswa kurang mampu saat anaknya diterima di perguruan tinggi. Harus jual tanah, sawah, atau kendaraan untuk membiayai. Mungkin karena hidup berkecukupan dari lahir, rektor ITB jadi lupa “menapak bumi”.

Lalu, klaim “kalian seharusnya bersyukur.” Bukannya tidak bersyukur. Hanya saja, proses pembelajaran jadi tidak tenang akibat UKT yang belum sanggup dibayarkan. Mahasiswa yang memiliki tunggakan UKT, misalnya, tidak diperbolehkan mengisi KRS (kartu rencana studi).

Dengan kata lain, mahasiswa akan mengalami kesulitan melanjutkan studi ke semester berikutnya. Bahkan, bisa saja mahasiswa terancam putus kuliah karena beban finansial. Ironis, mengingat pihak ITB mengklaim bahwa mereka tidak akan mengeluarkan mahasiswa yang kesulitan membayar UKT.

UKT Elit Fasilitas Sulit

Skema pinjol membuat beban finansial makin mencekik karena pada dasarnya, UKT ITB memang sudah mahal: 12,5 juta rupiah. Mahasiswa jalur Mandiri dan SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen) bahkan bisa mendapat UKT hingga 25 juta rupiah.

Memang, ada proses pengajuan keringanan dengan cara menginput berkas-berkas yang menunjukkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Namun, walaupun sudah mengajukannya, masih banyak mahasiswa yang tidak mendapat keringanan.

Ironisnya, menurut pengakuan beberapa teman di ITB, UKT yang tinggi tidak sejalan dengan kualitas fasilitas di lingkungan kampus.

Adanya kesenjangan kualitas fasilitas di ketiga kampus ITB (Kampus Jatinangor, Kampus Ganesha Bandung, Kampus Cirebon) menjadi salah satu buktinya. Mahasiswa yang berminat melakukan penelitian pribadi atau mengikuti lomba juga tidak terlalu disokong secara finansial.

Bahkan, keluhan-keluhan “sepele” seperti bus kampus yang jadwalnya berantakan kerap meluncur juga dari mulut mahasiswa ITB. “Dengan UKT sebesar itu, seharusnya ITB bisa bikin aplikasi pelacak bus biar mahasiswa bisa tahu busnya lagi di mana dan kapan sampainya.

Apa lagi, ini, kan, institut teknologi. Seharusnya, bikin yang begituan nggak susah-susah amat,” celetuk salah satu teman saya.

Mahasiswa ITB sebenarnya sudah mencoba bersuara. Unggahan dan tagar #InstitutTapiBerpinjol di beragam media sosial menjadi salah satu kuncinya. Para mahasiswa juga sudah melaksanakan demonstrasi pada Senin (29/1) lalu.

Namun, demo tersebut tidak menghasilkan apa-apa karena kabarnya, rektor sedang berada di luar negeri. Waduh, mirip dengan kasus Suharto ke Mesir pas demo mahasiswa 1998, gak tuh.

Isu komersialisasi pendidikan sebenarnya menuai perdebatan tidak hanya di ITB, tetapi juga di banyak PTN (Perguruan Tinggi Negeri) lain. Ini semua gara-gara Undang-Undang PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) yang problematik abis.

Ringkasnya, PTN-BH memungkinkan PTN memiliki otonomi untuk mengelola keuangannya sendiri. Akibatnya, pemerintah tidak terlalu memberikan subsidi. UKT membengkak.

Memimpikan Pendidikan Ideal

Indonesia ini memang negara lucu. Katanya mau maju, tetapi pendidikan tinggi dijadikan barang mahal yang hanya bisa dibeli golongan tertentu. Pendidikan di mata kebanyakan orang masih merupakan kewajiban, bukan hak. Oleh sebab itu, pendidikan halal dijadikan bisnis atau komoditas.

Memang, pendidikan gratis agak idealis. Utopis, bahkan. Namun, apakah salah mengharapkan masyarakat yang menjunjung tinggi kebebasan ekonomi—sebuah masyarakat yang menyadari pentingnya pendidikan sebagai hak dasar bagi setiap manusia?

Kembali ke polemik pinjol ITB, katanya pemerintah Indonesia mau mengadopsi sistem student loans yang mirip dengan sistem milik Australia, HECS-HELP. Pinjaman dibayarkan mahasiswa setelah lulus via pajak.

Saya sendiri lebih suka kalau kita mencontoh negara-negara welfare state Eropa Utara, di mana tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat berada di tangan pemerintah. Ciri khas welfare state adalah banyaknya tunjangan sosial.

Menurut Hafizh Mulia dalam tesisnya, Faktor-Faktor Penunjang Welfare State Model Nordik, salah satu prinsip welfare state adalah dekomodifikasi. Artinya, pendidikan dianggap sebagai hak dasar, bukan sebagai suatu komoditas atau bisnis.

Nah, masalahnya, tidak semua kebijakan yang diterapkan di luar negeri cocok diterapkan di Indonesia. Pola pikir dan corak budaya masyarakat Indonesia sangat majemuk. “Terinspirasi” sedikit boleh, asal jangan benar-benar mencontek kebijakan negara lain secara plek ketiplek.

Mari belajar dari Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang dulu mencontek sistem parlemen karena terobsesi dengan sistem pemerintahan Belanda. Usulan tersebut gagal karena sistem parlemen ternyata tidak sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia.

Pemerintah harus benar-benar menganalisis karakter masyarakat Indonesia dan menyesuaikan kebijakannya. Lagi pula, welfare state sepertinya sulit dijalankan karena sering diidentikkan dengan ideologi sosialisme-komunisme, di mana masih banyak orang Indonesia yang memandang keduanya secara negatif.

Sebagai penutup, saya sadar, walaupun UKT kami di UI (Universitas Indonesia) juga tinggi, pihak kampus “setidaknya” tidak mengadopsi skema pinjol. Tapi, tetap saja, protes terhadap tingginya UKT di kampus saya sudah sangat merajalela. Nah, apa lagi di ITB dengan skema pinjolnya.

Semangat aja, deh, buat teman-teman ITB. Jangan lelah menyuarakan ketidakadilan. Hidup mahasiswa!

Penulis

Dinar Maharani H.

Mahasiswi HI. Penulis lepas. Hobi: suka sama orang yang suka sama orang lain. Suka makan sushi pake ikan asin.
Opini Terkait
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel