Komersialisasi Pendidikan dan Gerakan Mahasiswa yang Gitu-gitu aja

Komersialisasi Pendidikan dan Gerakan Mahasiswa yang Gitu-gitu aja

Gerakan mahasiswa gitu-gitu aja
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Pergerakan mahasiswa yang sudah-sudah, melakukan demo dan merujuk pada birokrasi kampus. Ngerasa nggak sii kalau pergerakan mahasiswa dalam menyampaikan keluhan serta aspirasi gitu-gitu aja?

Pelan-pelan pak rektor, UKT nabi Adam… astaghfirullah… masyaallah..

Sempat viral video demo BEM FISIP UI di media sosial, mengenai kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Video tersebut menyebut “UKT nabi Adam” mengaitkannya dengan video viral emak-emak yang menyebut “sepeda nabi Adam” saat berada di Jeddah, Arab Saudi. Dan takjub melihat sebuah transportasi yang berukuran besar.

Sama, saya (dan BEM FISIP UI) juga takjub melihat adanya kenaikan UKT. Tak hanya di UI Depok Jawa Barat, saya yang di Yogyakarta pun mengalami hal serupa. Bahkan isu komersialisasi pendidikan di Yogyakarta nampak sedang berada di tahap kronis. Awal tahun ini saja ada ribuan mahasiswa yang mengajukan penurunan UKT dan yang paling parah adalah ada mahasiswi yang meninggal karena stress dan penuh perjuangan untuk keringanan UKT.

Tawaran elit, pengajuan sulit

Setiap kampus selalu memang menawarkan pengajuan keringanan UKT, namun pada praktiknya pengajuan tersebut sangatlah menguras energi. Iyaaa tauu hal-hal yang berbau keuangan pasti memang ribet administrasinya. Namun pengajuan keringanan rasanya selalu dipersulit dan kalau dapat pun dikurangi beberapa ratus ribu rupiah saja dari UKT yang sebelumnya. Tapi lebih banyak yang nggak dikabulkan siii untuk pengajuan keringanan UKT hehe

Isu komersialisasi pendidikan seperti kenaikan UKT berikut upaya keringanan yang dipersulit, memang perlu dilakukan oleh mahasiswa. Dan menjadi masalah yang serius, terlebih, setelah beredar berita dan cerita mengenai mahasiswa di salah satu kampus di Yogyakart, yang meninggal karena kesulitan membayar UKT. Meski harusnya nggak harus viral dan sampai memakan korban dulu baru ditanggapi serius.

Pergerakan mahasiswa yang sudah-sudah, melakukan demo dan merujuk pada birokrasi kampus. Saya mengapresiasi yang dilakukan oleh BEM FISIP UI hingga bisa viral, namun ngerasa nggak sii kalau pergerakan mahasiswa dalam menyampaikan keluhan serta aspirasi gitu-gitu aja? Tersampaikan kah dekk keluhannya?

Gerakan mahasiswa, demo adalah upaya naif yang sia-sia

Gerakan mahasiswa hari ini mengingatkan saya pada konsep Michael Hardt dalam “age of empire”. Seorang filsuf politik di Amerika Serikat tersebut memaparkan, bahwa sejatinya kekuasaan yang beroperasi hari ini tidak terpusat pada satu titik semata. Melainkan kekuasaan telah tersebar dimana-mana dan telah menghegemoni ruang-ruang keseharian kita.

Berbeda dengan model kekuasaan yang beroperasi pada 200 sampai 300 tahun yang lalu, dimana kekuasaan telah terpusat dan menempati satu titik. Sehingga upaya untuk meruntuhkan kekuasaan memerlukan konsolidasi menyeluruh menuju satu titik kekuasaan.

Sebagaimana tuntutan revolusi masyarakat Perancis yang tinggal memenggal leher bangsawan pada tahun 1799. Revolusi Rusia yang cukup mengganti sistem dinasti Tsar Rusia pada tahun 1917. Kemudian runtuhnya Rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun lamanya, melalui aksi demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998. Maka protes, perang, dan aksi demonstrasi besar-besaran menjadi langkah yang tepat untuk menggulingkan sistem kekuasaan konvensional yang beroperasi secara tunggal di satu inti titik pusat.

Akan tetapi, kekuasaan hari ini justru beroperasi lebih canggih, karena telah berhasil menebar modus operasinya dimana-mana. Sebagaimana kegandrungan kampus besar di Yogkarta yang pengen menjadi bagian dari “World Class University”, adalah representasi kecil dari bagaimana sistem kapitalisme global beroperasi.

Waduh waduhh

Maka nggak heran kalau para mahasiswa Yogyakarta dididik untuk memenuhi hasrat kapital yang sedang berjalan. Yakni mahasiswa dibentuk menjadi buruh agar dapat diserap oleh kebutuhan industri. Sehingga bos-bos dengan sirkulasi kapital besar, nggak perlu repot keluar biaya untuk mendidik mereka dari nol, karena tugas itu sudah dilakukan oleh kampus.

Ihhh ngeriii ngeriii

Belum berhenti di situ, kekuasaan juga beroperasi melalui alam pikir mahasiswa. Kok bisa? Ketika mahasiswa terdorong untuk patuh terhadap konstruksi kuasa dominan, hingga mengamininya sebagai tujuan hidup, maka kekuasaan telah merasuki ruang-ruang paling privat yakni pikiran.

Berangkat dari paparan tersebut, maka mengkonsolidasi massa besar-besaran menuju rektorat guna menyerang birokrasi kampus adalah upaya naif yang sia-sia. Pergerakan mahasiswa menjadi upaya yang bergantung pada aksi-aksi simbolik serta dibangun melalui iuran kas seribuan, dan selebaran “kajian aksi” kutap-kutip yang tidak kontekstual. Sementara kampus sebagai institusi berjalan melalui perputaran dana miliaran rupiah dan ditopang melalui sistem dan pranata hukum internasional.

Isu komersialisasi pendidikan menjadi tak sesederhana menggugat praktik-praktik administrasi dan seperangkat aturan kampus semata. Melainkan membutuhkan pembacaan menyeluruh terhadap sistem global yang sedang beroperasi hari ini. Kemudian memetakan strategi baru yang tepat untuk menawar daya komersialisasi pendidikan yang kadung masif hari ini.

Terus apa bang solusinya?

Kekuasaan butuh ditandingi

Kekuasaan tidak akan mempan jika cuma sekadar dimaki atau diprotes melalui aksi-aksi simbolik melempem hari ini. Kekuasaan butuh ditandingi, menawar kekuasaan perlu membangun basis gerakan alternatif.

Basis alternatif mesti beroperasi melampaui standar dangkal pada praktik pendidikan arus utama di kampus. Karena sistem pendidikan hari ini, telah merasuki ruang-ruang pikiran mahasiswa yang kadung mengamini betapa pentingnya ijazah bagi kebutuhan industri hari ini.

Tidak butuh viralitas, basis alternatif dapat ditempuh dan beroperasi melalui jalan sunyi. Jalan sunyi yang tak mampu dijangkau bahkan selalu diabaikan oleh kekuasaan kampus. Sesederhana mendirikan lingkar belajar dan memberdayakan lingkaran tersebut sebagai basis melawan impotennya sistem belajar di kelas.

Jika basis alternatif telah dibentuk, maka kebutuhan kita akan pendidikan tidak melulu harus dihadirkan di dalam kelas—yang mana kita mesti keluar berjuta-juta rupiah demi mendapatkan itu. Kebutuhan kita akan pendidikan telah disediakan oleh lingkaran kecil. Sehingga posisi kita tak melulu bergantung dan disuapi oleh sistem pendidikan di kampus.

Iyaaa tauu ini bakal sulit dan melelahkan. Tapi ini yang bisa kita lakukan pelan-pelan daripada demo, cuma bengak-bengok, nggak ada what`s next-nya, apalagi cuma ikut-ikutan demo tapi nggak paham konteks.

Penulis

Mohamad Ichsanudin Adnan

Menanggung gelar “Akademisi Menfess”
Opini Terkait
Kampus Mengajar: Merdeka Belajar yang Jadi Sarang Feodalisme
Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB
Budaya Toksik Pasca Sidang Tugas Akhir
Kampanye Politik di Kampus dan Dampak Undangan BEM UI
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel