Planet Bekasi yang Selalu Membekas di Hati

Planet Bekasi yang Selalu Membekas di Hati

Planet Bekasi yang Selalu Membekas di Hati
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Ketika Anda mengalami kejadian yang aneh maupun menjengkelkan di Bekasi atau menyaksikan petir menggelegar saat cuaca terik dengan suhu udara terasa lebih panas, ingatlah kata-kata Pramoedya dalam novelnya, ‘Bekasi….. berbekas di hati…... kota yang membekasi….’

Saya tidak menganjurkan siapa pun untuk tinggal di Kota Bekasi dan bekerja di Jakarta Selatan, kecuali dia mendapatkan panggilan ilahi.

Contohnya saya. Rekor tercepat berangkat kerja dari rumah ke kantor di Kemang hanya sejam kurang 10 menit, tepatnya karena saya lupa saat itu hari libur.

Sedangkan rekor tercepat pulang kerja—meski saya sudah mencoba berbagai rute alternatif dan variasi waktu pulang—tetap saja sejam lebih 10 menit.

Namun, perasaan takut ‘tua di jalan’ ini seolah menguap. Justru selama tinggal di Bekasi, saya lebih sering mengeluhkan cuaca panas dan gerah. Padahal, rumah kontrakan yang saya sewa dikelilingi pepohonan dan berada dalam perumahan dengan banyak taman.

Saat pertama kali pindah ke kota ini, saya terpukau dengan supermarket, hotel, perkantoran, perbankan, rumah sakit, sampai universitas di Kota Harapan Indah.

Yang muncul di benak saya kala mengamati berbagai ruang terbuka hijau dan area-area komersil adalah kawasan perumahan ini lebih mirip enklave (daerah kantong) milik Jakarta di dalam wilayah Kota Bekasi.

Kawasan perumahan yang berdiri sejak 1993 ini berupaya menonjolkan citranya sebagai kota mandiri modern. Yah, kegiatan branding untuk menegaskan citra tersebut memang sangat penting, mengingat kawasan perumahan ini berada di Kota Bekasi.

Baca Juga: Membaca Sejarah Depok, Membela Nasib Seorang Kawan

Bahkan, gerbang masuk Kota Harapan Indah tampak megah dengan ikon Tarian Langit yang mempesona. Tarian Langit menggantikan patung Tiga Mojang sebagai ikon Kota Harapan Indah pada 2014, usai berkali-kali diprotes sejumlah organisasi masyarakat Islam di Bekasi.

Patung Tiga Mojang dituding sebagai perlambangan Trinitas dan Bunda Maria, serta diklaim menampilkan tiga wanita berpakaian nyaris telanjang yang berdiri membentuk segitiga.

Nyoman Nuarta saat itu membantahnya dan mengungkapkan bahwa ide patung tersebut berasal dari eksplorasi budaya masyarakat Jawa Barat, sehingga merepresentasikan Mojang Priangan memakai kemben untuk menyambut tamu yang dihormati. Sebenarnya, disparitas dalam penafsiran itu menyingkap kesenjangan sosial ekonomi dan ketimpangan budaya.

Bahkan, piramida terbalik sebagai ikon Kota Summarecon Bekasi kerap sengaja disalahtafsirkan warganet dengan berbagai satire, sarkasme, sinisme, hingga ironi.

Kota-kota satelit swasta dengan tata ruang dan infrastruktur yang bagus seperti Harapan Indah dan Summarecon sesungguhnya malah mengukuhkan julukan Planet Bekasi.

Julukan ini bukan sekadar lahir dari kesan ‘orang Jakarta’ terjebak macet di tengah suhu udara yang terasa lebih panas, melainkan juga dari ketidakpuasan terhadap tata ruang kota dan infrastruktur.

Planet Bekasi

Tempat tinggal saya terletak di perumahan yang telah lama dibangun, agak jauh dari ikon Tarian Langit. Keadaan di dalam kompleks perumahan kondusif dengan berbagai fasilitas publik yang tergolong lumayan memuaskan. Di luar kompleks, situasinya sedikit lebih baik, jika dibandingkan dengan jalanan permukiman padat penduduk.

Jalan tikus yang memotong jalur penghubung dari perumahan saya ke perumahan lain di kawasan Kota Harapan Indah terkadang menyebabkan penumpukan kendaraan.

Tahun lalu, saya pernah iseng menyusuri jalan tikus itu untuk mencari tahu muara dari banyaknya kendaraan dan asal usul pengendaranya yang sesekali bertindak barbar.

Jalannya beraspal dengan perlahan-lahan lubangnya makin banyak dan parah, sebelum akhirnya tiba di salah satu daerah di Kabupaten Bekasi yang dikenal ‘orang Jakarta’ sebagai antah berantah.

Kondisi jalan tikus itu menggambarkan nuansa berbeda-beda dengan gradasi cukup kontras, yang mengiringi perubahan lanskap dari wajah kota bergaya kampung ke suasana pedesaan. Jalannya sekarang tampak sudah diperbaiki secara parsial dengan nyaris semua lubang menghilang.

Unsur-unsur ke-Bekasi-an mewarnai Kota Harapan Indah yang memilih untuk tidak menjadi kawasan eksklusif.

Ini terlihat dari luar area perumahan-perumahan lama yang banyak jalan berlubang (diperbaiki dengan tambal sulam), beberapa titik rawan kemacetan dan banjir (yang agak cepat surut), tata ruang berantakan, sampah bertebaran, sampai tukang parkir dan pedagang kaki lima di mana-mana.

Jalannya sendiri dilewati angkot JakLingko JAK-40 Pulogebang-Taman Harapan Baru. Daftar penanda titik pemberhentian angkot JakLingko JAK-40 tidak hanya memberitahu nama sejumlah jalan, tetapi juga mengekspos kuasa kapitalis dalam ranah simbolis (Carrefour Harapan Indah) dan membongkar jejak Freemason di Kota Bekasi (Simpang Bundaran Taman Eye of Horus). Haha…

Semoga para konspirator ulung tidak berupaya menyelidiki bukti keterkaitan piramida terbalik, taman Eye of Horus, dan lokasi keluarnya Dajjal.

Segala keabsurdan keunikan Bekasi ini telah mendapatkan pengakuan dari masyarakat dalam bentuk pemberian julukan planet. Di sisi lain, julukan planet menunjukkan betapa Bekasi sangat berkesan.

Julukan planet yang dilekatkan ‘orang Jakarta’ terhadap Bekasi merupakan hasil dari akumulasi keluhan dan kekesalan. Julukan tersebut juga mencerminkan hegemoni wacana oleh ‘Orang Jakarta’ yang menginginkan Bekasi menyerupai kota dengan ikon Monas itu.

‘Orang Jakarta’ kemungkinan mulai intensif membandingkan tata ruang kota dan infrastruktur Bekasi dengan Jakarta pada 1990-an. Saat itu, terjadi lonjakan pertumbuhan penduduk yang terlalu besar di Jakarta, sehingga meluber ke wilayah-wilayah luasan aglomerasi, termasuk ke Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi.

Menurut Jerome Tadie dalam Jakarta Upaya Mengendalikan Ibu Kota di buku Revolusi Belum Selesai, Presiden Soeharto membangun poros timur-barat yang memanjang pada ruas jalan menuju Bekasi dan Tangerang demi menyangga perkembangan Jakarta. Di situ, dibangun kota-kota satelit swasta, kawasan perumahan baru bagi kelas menengah, serta zona-zona industri.

Jerome menilai bahwa pelaksanaan pembangunan terkesan semrawut, penuh penyimpangan, serta tanpa kendali karena pengerjaan berbagai proyek tersebut diserahkan kepada kroni-kroni Presiden Soeharto.

Terlebih, tidak ada penyerasian kebijakan pemanfaatan fungsi lahan, khususnya dalam mengantisipasi ancaman banjir, dan kurangnya sistem angkutan terpadu.

Tapi Membekas di Hati

Farid, seorang pemuda dari Kepu Dalam, Kemayoran, Jakarta Pusat, merasakan pengalaman tak terlupakan di Bekasi pada 1945. Sebelumnya, Farid telah mendengar banyak cerita tentang Bekasi, tempat yang membekasi.

Farid merupakan tokoh utama novel Di Tepi Kali Bekasi karya Pramoedya Ananta Toer, yang mengisahkan perjuangan orang-orang Indonesia menghadapi pasukan Belanda dan Inggris.

Menurut Pramoedya, dalam keterangan penutup novel Di Tepi Kali Bekasi edisi 1957, seluruh kisah didasarkan atas kejadian, percakapan, tokoh, dan situasi yang sebenarnya. Dalam konteks itu, Farid menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah yang mengalami peristiwa berkesan di Bekasi.

Novel itu diawali prolog liris yang mengagungkan Bekasi dan memuji perjuangan rakyatnya demi meraih kemerdekaan. Dari bertempur melawan marsose (Belanda), Giyugun (Jepang), tentara Serikat (Inggris), sampai barisan garong (perampok di Jawa Barat).

Pramoedya menghargai sejarah perjuangan rakyat Bekasi dengan mengabadikan mitos mengenai toponimi tempat tinggal mereka yang memberi bekas di hati.

Pada akhirnya, tidak peduli berapa kali rezim berganti, Bekasi tetap selalu mengukir kenangan di sanubari. Maka, ketika Anda mengalami kejadian yang aneh maupun menjengkelkan di Bekasi atau menyaksikan petir menggelegar saat cuaca terik dengan suhu udara terasa lebih panas, ingatlah kata-kata Pramoedya dalam novelnya, ‘Bekasi….. berbekas di hati…… kota yang membekasi….

Penulis

Manda Firmansyah

Seseorang yang bercita-cita menjadi Menteri Urusan Tanah Jajahan
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel