Transportasi Publik Jogja Memang Nggak Begitu Bagus, Tapi Jelas Beda dengan Jakarta

Transportasi Publik Jogja Memang Nggak Begitu Bagus, Tapi Jelas Beda dengan Jakarta

Transportasi Publik Jogja Memang Nggak Begitu Bagus, Tapi Jelas Beda dengan Jakarta
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Membandingkannya transportsasi publik Jogja dengan Jakarta tentu merupakan persoalan lain. Meski Jogjakarta mengandung leksem Jakarta, namun dua kota besar ini memiki banyak perbedaan yang mendasar.

Jika transportasi publik merupakan nadi gerak laju ekonomi, maka Jakarta layak untuk menggeber pembangunan transportasi publiknya. Transjakarta, MRT, LRT, dan KRL saling melengkapi untuk menjadi alternatif tumpangan menuju tempat kerja di pusat kota maupun pinggirannya.

Transportasi publik itu silih berganti datang dan pergi tanpa perlu mangkal berlama-lama. Revitalisasi transportasi publik benar-benar mejadi pekerjaan yang getol digawangi pemerintah DKI Jakarta pasca tahun 2000-an.

Perubahan dan pembangunan di sektor transportasi publik ini perlahan diikuti kota-kota besar lain di Indonesia. Dalih efisiensi dan kemudahan akses publik tak lain dan tak bukan menjadi alasan yang melatarbelakangi pembangunan tersebut.

Tentu dengan tujuan yang lebih jauh lagi–percepatan laju ekonomi. Meskipun begitu pembangunan ini tak lepas dari kritik dan lolos dari cela. Pada kenyataannya tak semua daerah mampu mengakomodasi kebutuhan warganya, salah satunya Jogja.

Dalam artikel berjudul Jogjakarta Itu Nerakanya Transportasi Publik, Jangan Merantau ke Sini Kalau Gak Punya Kendaraan Pribadi!, Rizky Fajar NA benar-benar merutuki transportasi publik Jogja yang baginya seperti neraka. Ia mengeluhkan akses yang terbatas dan target pasar Trans Jogja yang condong ditujukan kepada wisatawan. Ditambah lagi persoalan trotoar yang masih belum teratasi hingga saat ini.

Namun, membandingkannya dengan Jakarta tentu merupakan persoalan lain. Meski Jogjakarta (ejaan resmi: Yogyakarta) mengandung leksem Jakarta, namun dua kota besar ini memiki banyak perbedaan yang mendasar.

Transportasi Publik dan Keresahan Warga

Transportasi sektor publik seringkali memang menjadi tumpuan untuk memudahkan akses masyarakat dalam berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi yang lain.

Ia malah bisa jadi merupakan akses satu-satunya yang memudahkan masyarakat kelas dua berpindah dengan cepat. Ini menjadi persoalan yang erat kaitannya sebab tak semua masyarakat memiliki kendaraan pribadi yang memadai untuk memudahkan berkendara kemanapun hati berkata.

Namun, pada kenyataanya, tak semua daerah memiliki transportasi publik yang memadai untuk menjadi tulang punggung laju ekonomi. Tentu dapat dipahami bahwa skala prioritas pembangunan setiap kota masing-masing berbeda.

Tak semua daerah memiliki urgensi untuk memajukan transportasi sektor publik. Lha wong masih banyak daerah yang akses jalan penghubung antarwilayahnya saja masih belum terurus dengan baik.

Jalan berlubang yang nangkring di sana-sini, jarak antar-SPBU yang jauhnya bisa menghabiskan setangki bensin RX King, sampai penerangan jalan yang nggak pernah seterang janji politisi.

Jika persoalan yang baku saja belum terselesaikan, maka membicarakan cita-cita transportasi publik yang memadai merupakan sebuah paradoks. Alih-alih merencanakan anggaran untuk membangun akses transportasi, seringkali rencana pembangunan jembatan antar desa menjadi urgensi yang dicanangkan setiap tahun.

Namun, bukan berarti kita tak boleh memiliki cita-cita memliki transportasi publik yang baik. Toh, andai pun akses jalan sudah memadai, transportasi publik yang baik bukanlah harapan yang tak mungkin.

Jogja yang Kota Pendidikan, Jakarta yang Kota Metropolitan

Barangkali, membandingkan Jakarta dan Jogja dalam konteks visi kotanya merupakan sesuatu yang tak pernah ketemu ujungnya. Dua kota besar di Indonesia ini memiliki fasad dan visi kota yang jelas-jelas berbeda sama sekali. Oleh karenanya, akses transportasi yang tersedia pun tak bisa pula disandingkan.

Jogja telah lama menjadi Kota Pendidikan yang menjadi jujukan bagi setiap insan muda dari berbagai penjuru Indonesia untuk mengenyam pendidikan, baik formal maupun non-formal.

Puluhan sekolah, kampus, pesantren dan lembaga pendidikan lainnya berdiri tegak di tanah Jogja. Ditambah lagi, Jogja selalu menjadi alternatif jujukan wisatawan dari berbagai daerah untuk melihat berbagai destinasi wisata yang tersedia di sini.

Berbeda dengan Jakarta yang di tanahnya bercokol ratusan gedung-gedung pencakar langit dan pabrik yang tak pernah berhenti melumat tulang punggung keluarga. Akses transportasi yang memadai tentu menjadi prioritas yang tak terelakkan lagi. Apalagi bagi pekerja yang berangkat semenjak pagi dan pulang di ujung hari.

Khusus pekerja dengan pendapatan menengah, transportasi publik menjadi harapan untuk pulang dan pergi setiap harinya. Oleh karenanya, transportasi publik menjadi fasilitas yang dituntut berkembang ke arah lebih baik dari hari ke hari.

Oiya, yang perlu diingat dan perlu diberi garis tebal, Jakarta–setidaknya hingga hari ini–merupakan Ibukota Negara. Ia tak ayal bakal menjadi cermin Indonesia di mata dunia.

Melihat fakta yang ada, dapat dimaklumi jika saat ini transportasi publik Jakarta cenderung lebih maju dibanding daerah lain di Indonesia. Meskipun begitu, bukan berarti transportasi publik yang ada di Jakarta sudah sempurna.

Tentu banyak hal yang bisa dikembangkan lagi. Baik dari sisi kemudahan akses maupun kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas tersebut.

Lantas, apakah daerah lain boleh serampangan dalam mengelola transportasi publiknya? Jawabannya tentu tidak. Memang setiap daerah punya prioritas masing-masing dalam visi pembangunannya. Namun, alangkah baiknya jika transportasi publik diberikan porsi lebih sebagai prioritas untuk menopang laju ekonomi daerah tersebut.

Terkhusus Jogja, yang setiap harinya ramai dengan pelancong, akses transportasi publik yang mudah menjadi harga mati. Dan lagi, transportasi publik yang ada harus inklusif dan dapat mengakomodasi semua kalangan, baik wisatawan maupun warga lokal.

Oleh karenanya, rute dan penambahan armada yang memadai mestinya masuk dalam rencana pengembangan transportasi publik di Jogja.

Rendahnya Budaya Jalan Kaki di Antara Kita

Untuk saat ini, rute Trans Jogja barangkali sudah bisa memenuhi kebutuhan berkeliling Jogja untuk para wisatawan. Namun, barang tentu belum bisa mengakomodasi semua permintaan penggunanya untuk mendirikan halte dan memasukkan rute baru, di luar rute yang sudah tersedia.

Akses jalan dan urgensi rute baru bisa jadi merupakan persoalan yang membuat belum adanya penambahan rute Trans Jogja sampai pelosok jalanan Jogja, seperti Selokan Mataram, gang kecil di Pogung, maupun daerah ujung selatan macam Wonosari.

Toh, sebenarnya transportasi publik di Jogja bukan hanya Trans Jogja. Masih ada bus antar kota dalam provinsi (AKDP) dan KRL yang bisa mengantarmu ke daerah yang tak tersentuh Trans Jogja.

Dan sebenarnya, kalau mau jujur, akses halte Trans Jogja tidak sesulit itu. Barangkali kita saja yang agak malas berjalan kaki di bawah langit Jogja yang jarang terasa dingin.

Memang, kebiasaan jalan kaki belumlah membudaya bagi kebanyakan orang di Jogja. Hanya sebagian kecil dari kita yang mau dan ikhlas berjalan kaki untuk menuju tempat tujuan, atau setidaknya halte transportasi publik. Lha wong mau pergi ke Warung Madura saja kita lebih sering rela memanasi motor dahulu ketimbang jalan kaki langsung.

Trotoar dan Jalur Sepeda yang Semenjana

Akan tetapi, persoalan minimnya minat untuk berjalan kaki bukanlah tanpa alasan. Seringkali kita melihat trotoar yang kondisinya tak layak dan penuh lubang. Sekalinya mendapati trotoar yang bagus malah sudah ditutup dengan jajaran tenda-tenda PKL yang berjejer menggusur lintasan pejalan kaki.

Persoalan ini telah mengakar dan tak pernah benar-benar diperhatikan oleh pemerintah. Makanya, jangan tanya mengapa orang cenderung malas untuk berjalan kaki, di samping alasan kemalasan yang sudah mengerak di hati masing-masing.

Tak hanya trotoar yang masih menjadi persoalan. Jalur sepeda juga menjadi urgensi yang mesti diselesaikan secepatnya. Di berbagai titik, jalur sepeda hanya tampak seperti garis pemanis dan pemantas saja, tanpa benar-benar peduli dengan pesepeda.

Bagaimana tidak? Jalur sepeda seringkali terletak di jalur lubang pembuangan air, sehingga akan membahayakan pesepeda jika tak benar-benar hati-hati melewatinya. Belum lagi dengan jalur sepeda yang malah digunakan sebagai lahan parkir. Benar-benar sudah tak tertolong.

Oleh karena itu, persoalan transportasi publik, khususnya Trans Jogja, bukan hanya soal penambahan rute dan armada. Lebih jauh lagi, akses jalan yang memadai juga menjadi urgensi yang mesti dirampungkan pula.

Namun, tetap saja, membandingkan transportasi publik di Jogja dan Jakarta bukanlah sesuatu yang bijak. Jika berkaca dan mencontoh saja, mungkin tidak masalah. Tetapi, jika membandingkan keduanya, barangkali saat ini belum saatnya.

Penulis

Ahmad Raditya Alam

Penjaga Bunker Collective Space. Menulis apa saja yang dilihat, didengar, dan dirasa. Kadangkala ikut-ikutan pentas musik dan pertunjukan.
Opini Terkait
Menyoal Stigma PNS, Benarkah Realitasnya Demikian?
FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel