Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Jadi, tidak ada salahnya ketika ranking anak tetap dicantumkan di rapor. Toh, giliran mau mendaftar PPDB, ranking itu nyatanya masih dibutuhkan.

Fiuhh …

Mungkin begitu helaan napas ratusan (atau jangan-jangan ribuan) para orang tua yang baru saja melewati masa-masa War Sekolah di bulan Mei-Juli kemarin buat anak-anak tercintanya.

Ternyata bukan hanya mau nonton konser saja yang perlu war tiket. Cari sekolah negeri yang bagus pun sekarang ini rasanya juga demikian.

Tahun ini, anak sulung saya melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMA, sementara anak saya yang kedua masuk ke jenjang SMP. Oleh karenanya, sejak awal tahun, saya sudah mempersiapkan segala dokumen untuk ikut dalam ajang perebutan sekolah negeri melalui PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) DKI Jakarta 2024 jalur prestasi.

Jalur prestasi adalah jalur yang ditentukan berdasarkan rapor dengan keterangan peringkat nilai rapor peserta didik dari sekolah asal serta prestasi-prestasi di bidang akademik maupun non-akademik.

Cilakanya, sejak Kurikulum 2013 diterapkan, rapor sudah tidak lagi mencantumkan ranking. Artinya, dalam beberapa tahun terakhir ini, para orang tua tidak mengetahui peringkat anaknya di antara teman-teman sekelasnya maupun di antara teman-teman satu angkatannya.

Lalu, kalau tidak dicantumkan, bagaimana para orang tua bisa mengikutkan anaknya di jalur prestasi, yang mana membutuhkan ranking sebagai salah satu komponen penentu nilai akhir yang akan diadu ketika war sekolah?

Alhasil, para orang tua harus kembali bertanya ke sekolah asal, dan kemudian terkejut ketika mengetahui peringkat anaknya ternyata tidak sesuai ekspektasi mereka.

Bagi yang mau masuk SMA Negeri, banyak di antara orang tua yang menyesal karena tidak mengetahui peringkat anaknya sejak kelas 7. Sebab, hal ini diperlukan sebagai salah satu komponen penentu Nilai Akhir Jalur Prestasi. Hal yang sama juga berlaku bagi yang mau masuk jenjang SMP Negeri.

Andai saja para orang tua sudah tahu jauh-jauh hari, kami pasti memiliki waktu untuk mempersiapkan ranking anak kami. Tapi, yang namanya penyesalan memang selalu datang belakangan…

Hilangnya Sistem Rangking di Sekolah

Saat ini kami sudah tidak memberikan ranking pada anak didik kami, Pak!

Kira-kira seperti itulah kalimat yang selalu saya dapatkan dari para wali kelas anak saya. Meskipun kolom ranking tetap ada, tetapi angkanya dikosongkan.

Ini berbeda jauh dengan kondisi saya dulu ketika sekolah (era tahun 80-an). Walaupun saya jarang masuk sepuluh besar, saya setidaknya selalu diberitahu ranking saya di setiap jenjang kelas.

Pada 20 Desember 2023 lalu, detik.com menerbitkan berita berjudul Tidak Ada Ranking di Rapor Siswa, Ternyata Ini Alasannya. Dari situ bisa dilihat bahwa Satuan Pendidikan dan guru menganggap setiap anak itu istimewa dan dilahirkan dengan potensi kecerdasannya masing-masing.

Selain itu, alasan tidak adanya ranking di rapor juga agar para peserta didik dapat merasa setara di kelasnya tanpa perlu ada yang merasa lebih unggul maupun lebih lemah. Dengan demikian perasaan rendah diri dapat dihindari.

Okelah, di sini saya dapat mengerti maksud baik Satuan Pendidikan. Tapi…

Presentil Rerata Nilai Rapor

Ketika saya sedang menyusun strategi pemilihan sekolah-sekolah tujuan, satu hal yang saya ketahui menjadi poin persaingan ialah nilai akhir untuk jalur prestasi.

Nilai akhir ini, sebagaimana dijelaskan pada sosialisasi PPDB Jakarta tahun 2024, didapatkan dari perhitungan rerata nilai rapor, presentil rerata nilai rapor, prestasi akademik, prestasi non-akademik, dan presentil non-akademik.    

Untuk komponen rerata nilai rapor didapatkan dari nilai rapor rata-rata untuk enam pelajaran selama lima semester terakhir. Sementara untuk prestasi akademik dan non-akademik didapatkan dari sertifikat-sertifikat kejuaraan yang diselenggarakan induk organisasi resmi atau instansi kedinasan.

Lalu, untuk komponen presentil rerata nilai rapor didapatkan melalui penghitungan tertentu. Untuk sekolah dengan akreditasi A, peringkat siswa/i (1 sampai 15%) dari seluruh peserta didik di angkatan sekolahnya akan mendapatkan skor 100 dari komponen presentil rerata nilai rapor dengan indeks sebesar 30% untuk jalur prestasi akademik dan 5% untuk jalur prestasi non-akademik

Dengan kata lain, kalau anak kita peringkat 1 dari seluruh siswa/i di angkatannya, maka bobot komponen presentil rerata nilai rapornya adalah 30%.

Selanjutnya, untuk peringkat 16 sampai 30% akan mendapatkan skor 90, peringkat 31 sampai 45% mendapatkan skor 80, dan seterusnya hingga peringkat 61 sampai 100% yang mendapatkan skor 60.

Angka ini cukup signifikan mempengaruhi nilai akhir anak yang akan dipertandingkan. Jadi, meskipun nilai yang tertulis di rapor untuk enam mata pelajaran itu cukup tinggi, ternyata masih ada komponen presentil rerata nilai rapor yang harus menjadi perhitungan.

Katanya Tidak Penting, Tapi, kok, Masih Diperlukan?

Nah, lho, katanya ranking tidak lagi penting agar anak-anak merasa setara di kelasnya dan perasaan rendah diri dapat dihindari.

Namun, kenapa ketika pendaftaran peserta didik baru ujung-ujungnya ranking tetap menjadi salah satu komponen yang diadu? Padahal, kami selaku orang tua tidak pernah mendapatkan informasi terkait hal ini.

Lagian juga kenapa, sih, kalau ranking siswa/i di kelas tetap diberitahukan, baik itu ke orang tua maupun anak-anak? Bukankah kehidupan itu penuh dengan kompetisi?

Masalahnya, anak-anak yang tidak mengetahui posisi ranking mereka di kelas saat ini suka menggampangkan belajar, termasuk anak saya.

Setiap kali saya menanyakan perihal pekerjaan rumah atau materi kelas yang tidak dimengerti, mereka seringnya hanya menjawab: “tenang saja, Yah, pasti lulus, kok. Yang penting, kan, memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).”

Mana semangat kompetisimu, Nak? Kenapa kamu tidak berusaha jadi yang terbaik? Apakah hidup masih menarik ketika tidak ada persaingan?

Kompetisi dan Persaingan Ketat Masuk Sekolah Negeri di DKI Jakarta

Sekolah negeri di DKI Jakarta saat ini masih menjadi rebutan dan incaran para orang tua karena gratis dan sarana-prasarananya sudah bagus.

Memang pantas sekolah-sekolah ini jadi rebutan karena sesuai informasi ketika sosialisasi PPDB Jakarta tahun 2024, untuk jenjang SMP Negeri, daya tampung sekolah hanya 71 ribuan calon siswa dibandingkan dengan 151 ribu calon peserta didik yang akan mendaftar.

Sementara itu, di tingkat SMA lebih sadis lagi. Daya tampung SMA Negeri hanya 29 ribuan, dibandingkan dengan jumlah calon peserta didik sebanyak 139 ribu.

Jelas pertarungan para orang tua untuk war sekolah ini perlu dipersiapkan dari berbagai amunisi, seperti jalur terbaik yang dipilih, dokumen yang mumpuni, dan strategi pertempuran terbaik.

Bila anak tidak terbiasa untuk berkompetisi dan menyerahkan hidupnya sebagaimana bumi berputar, bagaimana dia mengerti bahwa kehidupan setelah sekolah nantinya akan lebih keras.

Jangankan begitu. Pada saat akan masuk universitas nanti, mereka tetap akan dites. Selain itu, penerimaan calon mahasiswa didasarkan pada ranking terbaik juga. Apabila anak kita tidak terbiasa berkompetisi di luar, ada kemungkinan dia akan tergilas di dunia pekerjaan.

Rangking Sekolah: Sebuah Evaluasi, Motivasi, dan Penghargaan untuk Anak

Sementara bagi kami orang tua, sistem ranking juga membantu kami memantau dan mengevaluasi perkembangan anak. Kami bisa membantu seandainya nilai-nilai yang tertulis di rapor anak kami mengecewakan tetapi benar-benar mencerminkan perkembangan mereka.

Lucunya, ketika saya melihat nilai rapor anak saya dan juga teman-temannya rata-rata dari mereka mendapatkan nilai di atas 80, sebuah angka yang sangat sulit saya capai ketika sekolah dulu, namun bertebaran dengan mudahnya di rapor-rapor anak-anak.

Menurut saya, usaha dan kerja keras anak berprestasi patut dihargai. Bukankah mereka sudah berjuang dengan belajar lebih keras dibandingkan teman-temannya.

Ketika dulu saya pernah mendapatkan peringkat lima di sekolah, rasa lelah belajar saya seketika hilang dan berubah menjadi rasa puas. Saat saya bersama Ibu dipanggil wali kelas maju ke depan untuk mengambil rapor, saya merasa tersipu. Benar-benar jadi penyemangat bagi saya kala itu.

Jadi, tidak ada salahnya ketika ranking anak tetap dicantumkan di rapor. Toh, giliran mau mendaftar PPDB, ranking itu nyatanya masih dibutuhkan.

Tau gitu, kan, dari awal masuk sekolah saya tagih terus wali kelasnya untuk mencantumkan rangking di rapor anak. Bawel aja kalau menurut saya, sih. Supaya kita para orang tua tidak mendadak-dadak dapat kejutan ketika memasuki proses PPDB.

Penulis

Robby Rachmat M Siagian

Lulusan S1 dan S2 Hukum. Lulusan S1 Teknik Mesin Juga. Berprofesi sebagai Konsultan.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel