Rekognisi Seniman (terhadap dan oleh) Daerah

Rekognisi Seniman (terhadap dan oleh) Daerah

Rekognisi Seniman (terhadap dan oleh) Daerah
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Lord Didi sudah merekognisi aneka situs dan lokasi yang mungkin asing bagi pendengar lintas-daerah. Sekarang saatnya warga dan pemerintah daerah, khususnya yang sudah disebut dalam lirik-lirik tersebut, yang perlu merekognisi-balik ‘anak rohani’ beliau.

Pernah baca quotes dari Pidi Baiq di tembok sisi lorong jalan Asia Afrika Bandung? Itu, lho, yang bunyinya: “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.

Kalimat itu berdampingan dengan ucapan dari esais masyhur M.A.W Brouwer yang cukup romantis: “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.

Kalimat yang bertengger di Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) itu dibuat ketika saya masih menginjak fase pertengahan kuliah di Bandung. Nawaitu Ridwan Kamil membangun tempat photogenic kala itu adalah untuk memperingati 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 2015.

Di sini, kita mafhum betapa peran walikota (atau pemimpin daerah) begitu sentral dalam merias sekaligus mempromosikan daerahnya.

Inisiatif tersebut di saat bersamaan juga mendudukkan posisi seniman—dalam konteks ini penulis—sebagai “duta daerah”. Sewujud rekognisi yang semestinya dimiliki para pejabat publik di berbagai lokasi.

Saya membayangkan kalau upaya serupa juga menular ke daerah lain. Dan memang sudah terjadi, salah satunya di Yogyakarta. Dalam area Teras Malioboro, sudah tersemat penggalan sajak Jokpin: “Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.

Ya, meskipun banyak juga yang bersikap nyinyir pada romantisasi tersebut mengingat UMR Yogya yang bikin kecut hati kalau-kalau dipakai mentraktir si doi beli es krim Mixue dan es kopi susu setiap hari.

Tapi, minimal rekognisi terhadap produk kreativitas seniman yang merepresentasikan suatu daerah itu telah terlaksana gitu, lho. Nggak dianggurin macam gorengan dingin sisa satu di langgar saat tadarusan.

Saatnya Balas Budi

Nah, kembali ke soal rekognisi tadi. Saya jadi teringat sosok yang bikin anak muda kangen karena larik-larik ambyarnya. Yap, tentu saja, The Godfather of Broken Heart, mendiang Lord Didi Kempot.

Selaku seniman, karier beliau memang pasang-surut. Jaman bapak-ibu saya dulu masih sering ngobraki saya saat layangan, lagu-lagunya sering disetel di radio, mewarnai warkop, dan menjadi musik hajatan.

Sewaktu saya sibuk menghafal rumus fisika SMA, lagu-lagunya tertindih waktu. Begitu masuk kurun terakhir masa hidupnya, karya-karya beliau mencuat kembali. Bahkan meledak.

Lirik-lirik monumentalnya banyak yang relevan dengan perasaan muda-mudi Milenial dan Gen Z. Walhasil, rasa terenyuh merembes ke batin jutaan generasi kiwari.

Mereka mempuk-puk rasa galau dengan baris-baris melankolik namun sambil jingkrak-jingkrak—hingga menembus kalangan yang bukan penutur bahasa Jawa sekalipun.

Sosok Didi Kempot tentu fenomenal. Itu sebabnya ia perlu mendapat penghargaan lebih. Apalagi, lusinan karya Pakdhe Kempot ini banyak yang merekognisi daerah-daerah terpencil namun berkesan.

Di zaman orang-orang gandrung dengan Jakarta, New York, hingga London dan Tokyo, penyanyi gondrong satu ini justru nguri-nguri sisi puitik dari Pantai Klayar, Taman Jurug, sampai Stasiun Balapan.

Ketika para penghuni alam peralihan tradisional-modern berjibaku dengan No Surprise dari Radiohead hingga Radio/Video dari System of a Down, para Kempoters di pelosok tanah air malah nggelibeti nomor-nomor seperti Jambu Alas, Suket Teki, Cucak Rowo,serta Dalan Anyar yang disemerbaki “kembang tebu sing kabur kanginan.

Itu bukan main-main, lho, ya. Potret kecil tersebut menyandikan suatu hal yang jarang disorot, yakni: ketahanan budaya. Bahasa ndakik-ndakik tapi noraknya itu cultural resilience.

Suatu kapasitas individu/kolektif untuk menjaga-rawat dan menumbuh-kembangkan identitas dan pengetahuan kebudayaan yang berakar kuat melalui praktik sehari-hari hingga menjadi produksi karya. Dan ini sudah dilakoni Lord Didi sedari dulu. Atas dasar itulah, kini saatnya kita membalas budi kepada beliau.

Lord Didi sudah merekognisi aneka situs dan lokasi yang mungkin asing bagi pendengar lintas-daerah. Sekarang saatnya warga dan pemerintah daerah, khususnya yang sudah disebut dalam lirik-lirik tersebut, yang perlu merekognisi-balik ‘anak rohani’ beliau.

Ratusan tembang klangenan yang netas dari berbagai lokasi itu sejatinya sebentuk pengabadian momen. Sebuah upaya yang bukan sekadar melibatkan kunjungan fisik, tetapi juga peziarahan batin, emosional, dan tamasya kenangan syahdu.

Pendidikan Budaya lewat Monumen

Ambil contoh, di lagu Taman Jurug, beberapa baris penggalan lirik bisa dicetak di lokasi aslinya. Misalnya, yang dikutip ini: ing taman jurug, ing pinggir Bengawan Solo//muda lan mudi awan lan mbengi do suko-suko, nanging ojo ngiket janji.

Atau yang agak puitis, ya, ambil bait setelahnya: cahyaning bulan nrajang pucuking cemoro//angin kang teko sasat nggowo gending tresno.

Disertakan pula subtitle agar pengunjung non-penutur juga bisa paham. Untuk lirik barusan, artinya: cahaya rembulan menerjang pucuk cemara, angin yang datang seakan membawa musik cinta.

Ini sekalian sambil belajar bahasa daerah secara sastrawi, lho, lurrr! Jarang-jarang ini.

Makanya, pemerintah daerah, mbok ayo monggo diulik bersama lirik-lirik seniman besar bumiputera ini. Mana yang cocok dinukil, atau mana yang instagramable kalau dijadikan plakat atau monumen.

Bisa juga merangkul Balai Bahasa di daerah masing-masing. Ini, kan, dapat menjadi wujud pelestarian warisan-tak-benda. Nanti kalau direbut tetangga, baru rame. Ngolok-olok secara daring. Keroyokan. Woo, tuman!

Lagi pula, kalau program plakat atau monumen ini benar dilaksanakan, secara tak langsung itu akan menjadi bagian dari pendidikan budaya bagi kalangan anak-anak dan kaum muda.

Lha, kok, bisa? Lewat hal kecil bin sepele, yakni pajangan quotes di lokasi strategis, orang-orang yang sebelumnya tidak sadar menjadi notice dengan keberadaan kalimat beserta sosok penciptanya.

Dari percik perhatian sederhana itu, siapa tahu ada dari mereka yang lantas iseng googling dan mencari tahu lebih lanjut.

Apalagi, karya budaya berupa tulisan, petikan lagu, hingga deskripsi dan pemilihan diksi memang menjadi penanda zaman. Di dalamnya terkandung konteks sosial-politik-budaya masyarakat yang pernah hidup.

Pengenangan ini mungkin tampak remeh, namun catatan simpel itu adalah wujud kepingan impresi (kesan) atau patahan ilustratif tentang suatu hal, tempat, peristiwa, atau kondisi tertentu.

Ia menyimpan kenangan tentang suatu daerah beserta situasi di zaman tersebut. Kelak, siapa tahu, 50 tahun mendatang, ada anak SD atau remaja yang bertanya setelah membaca kutipan di tembok tersebut.

Mereka lantas mencari, dan berterima kasih atas “utang rasa” (istilah Sujiwo Tejo) yang mereka cerap. Seperti di makam-makam para wali, plakat ajaran “wenehono teken marang wong kang wuto, dst.” telah menjadi wejangan sekaligus nilai hidup yang tak lekang oleh waktu.

Kehadiran plakat-plakat kutipan seperti ini juga potensial untuk memupuk benih cinta pada anak-anak dan kaum muda pada daerahnya sendiri.

Lokalitas akan tidak dianggap kuno dan katrok, tetapi justru dibanggakan dan, tentunya, sangat instagramable. Daerah adalah situs di mana hidden gem tempat kita healing bertebaran.

Mengenai biaya pembuatan atau realisasi ide ini, saya pikir tidak usah mahal-mahal dan semegah Candi Prambanan—yang konon dibangun demi simbol cinta Bandung Bondowoso untuk Roro Jonggrang.

Cukup akrilik saja, atau, ya, semen timbul atau logam ringan yang terjangkau. Saya rasa, hal tersebut masih masuk akal, kok, untuk direalisasikan.

Wong dana patungan anak KKN saja cukup buat bangun itu. Masak dana pemda enggak? Ketimbang habis buat rapat di hotel mahal yang nggak produktif-produktif amat, mending dipakai untuk merekognisi putra daerah yang berjasa lewat karya mereka.

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis

Muhammad Naufal Waliyuddin

Tukang mancing yang kecanduan menulis. Calon doktor karbitan.
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel