Salah Kaprah Nasionalisme dalam Pendidikan

Salah Kaprah Nasionalisme dalam Pendidikan

Salah Kaprah Nasionalisme dalam Pendidikan
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Nasionalisme ditempatkan pada tiga konsepsi dasar, yakni sebagai bahasa suci, pusat kekuasaan, dan mitos sejarah. Padahal ketiganya adalah bahan bakar yang paling mudah menyulut api chauvinisme.

Merasa nggak kalau nasionalisme dalam dunia pendidikan, selalu salah kaprah untuk dipahami? Apalagi dipraktikkan.

Salah kaprah tersebut terletak pada cara pandang. Yang menempatkan nasionalisme pada tiga konsepsi dasar, yakni sebagai bahasa suci, pusat kekuasaan, dan mitos sejarah.

Padahal ketiganya adalah bahan bakar yang paling mudah menyulut api chauvinisme atau kebanggaan yang berlebihan pada ras tertentu berkobar-kobar.

Terus gimana?

Baca Juga: Mengenang Taman Sriwedari, Merindukan Pendidikan yang Memanusiakan

Nasionalisme pada dasarnya adalah perikemanusiaan. Jadi, nggak heran jika dalam pidato 1 Juni 1945, di depan sidang BPUPKI yang sedang membahas tentang dasar-dasar pendirian negara, Bung Karno menempatkannya sebagai sila atau dasar pertama dari dasar negara Republik Indonesia yang dikenal dengan Pancasila.

Sayangnya, sejarah terlalu terpukau dengan istilah Pancasila-nya daripada sila-sila yang membentuknya.

Akibatnya, Pancasila yang dirumuskan ulang oleh para tim dan semakin dikebiri dengan P4-nya era Orde Baru hanya tinggal, seperti diungkap oleh Iwan Fals, mirip “kode buntut”.

Ironis, memang.

Salah Kaprah Tiga Konsepsi Dasar Nasionalisme

Yang paling penting dan mendesak untuk dicatat adalah, pertama, nasionalisme bukanlah “bahasa suci”.

Artinya, meski nasionalisme berakar pada budaya dalam “komunitas religius”, namun tidak serta merta nasionalime bertujuan mengorbankan sesama warga di seluruh dunia, bahkan nyawanya sendiri pun direlakan.

Hal ini menjadi batas, atau yang membedakan, antara nasionalisme dengan agama.

Kedua, nasionalisme juga bukan sebuah “pusat kekuasaan”. Di sini nasionalisme sama sekali tidak berurusan dengan “hasrat untuk berkuasa” (will to power).

Namun sebaliknya, justru “berkuasa atas hasrat” (power to will) yang selama ini selalu dilupakan, bahkan diabaikan, hanya demi kepentingan sepihak belaka.

Itulah mengapa nasionalisme tidak bertujuan untuk menjadi “komunitas religius”, atau “komunitas politik” sekalipun.

Melainkan, komunitas yang dibentuk dari pembayangan para pembaca surat kabar atau novel (baca: kapitalisme cetak) agar dapat berbahasa bersama demi membebaskan dan memerdekakan diri dari kolonialisme misalnya.

Dan ketiga, nasionalisme bukan mitos sejarah yang biasanya dibuat untuk melindungi kepentingan para elit politik.

Contohnya, film “Pengkhianatan G30S/PKI”, yang di masa Orde Baru selalu dipertontonkan pada malam 30 September di layar kaca televisi nasional, yakni TVRI. Masih inget nggak?

Bahkan tak jarang anak-anak sekolah usia sekolah dasar pun dimobilisasi untuk menonton film itu di gedung bioskop tertentu.

Tontonan dari film yang memperlihatkan salah satu momen bersejarah itu tampak cenderung untuk menyalahkan pihak yang satu dan membenarkan pihak yang lain.

Akibatnya, historisitas dari film itu menjadi tidak lagi faktual, karena hanya menampilkan adegan-adegan yang reka-reka, bahkan sarat dengan rekaan dan rekayasa.

Dengan kata lain, film itu tak lebih hanya sebagai anakronisme (kesalahan) sejarah lantaran lebih tampak sebagai mitos daripada fakta sejarah.

Maka tak heran jika pasca Orde Baru, film itu tidak lagi menjadi tontonan wajib, meski masih diputar oleh sejumlah stasiun televisi swasta.

Perlunya Pengkajian Ulang Nasionalisme dalam Pendidikan

Nasionalisme dalam pendidikan masih perlu dikaji ulang, agar tidak sekadar menjadi formalitas belaka. Dengan modal ketiga catatan di atas, nasionalisme dalam pendidikan dapat diajarkan bukan hanya demi kepentingan praktisnya saja, seperti upacara bendera, namun juga demi kedalaman dan keluasan maknanya.

Hal ini sebenarnya telah difasilitasi oleh beragam kajian lintas ilmu dan budaya. Seperti yang dikerjakan oleh Benedict Anderson, dalam bukunya yang berjudul Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang.

Melalui bukunya itu, Ben memperlihatkan bahwa nasionalisme adalah sebuah pembayangan yang serba terbatas dalam suatu komunitas.

Karena itu, nasionalisme tidak dapat diwujudkan secara instan hanya pada upaya bela negara atau cinta tanah air. Sebab nasionalisme bukan sebuah “jimat” yang dapat digunakan untuk menyelesaikan beragam masalah.

Dalam konteks pendidikan, nasionalisme menjadi “bahasa bersama” yang dapat mengajarkan semangat hidup bersama dan bersesama.

Dengan bahasa inilah, pendidikan yang bertujuan untuk semakin mencerdaskan dan menghumaniskan kehidupan dapat menjadi wahana pembangunan bangsa yang efektif dan operatif.

Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menghasilkan tenaga-tenaga ahli semata, melainkan juga pribadi-pribadi yang tangguh dan nasionalis.

Editor: Mita Berliana
Penulis

Anicetus Windarto

Peneliti di Lembaga Studi Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Bermukim di Solo bersama seorang istri dan dua orang anak remaja belia.
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Salah Kaprah Perihal Matematika
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB
Seberapa Penting Metode dan Akademisi Sejarah?

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel