Selamat Datang di Era Dunia Nyata yang Tidak Lagi Interaktif

Selamat Datang di Era Dunia Nyata yang Tidak Lagi Interaktif

Selamat Datang di Era Dunia Nyata yang Tidak Lagi Interaktif
Ilustrasi oleh Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Harus diakui bahwa kehidupan interaktif di dunia maya memang begitu mengasyikkan. Namun, keasyikan tersebut tidak terbawa dalam interaksi di dunia nyata.

Sebagai seorang Gen Z, saya merasa sedikit tersentil ketika membaca buku Going Offline karya Desi Anwar yang membahas bagaimana menemukan jati diri di dunia yang dipenuhi oleh distraksi. Hampir setiap babnya mampu membuat saya berpikir. Bagaimana tidak?

Salah satu distraksi itu adalah ponsel pintar yang selalu menemani setiap saat, bahkan sejak detik pertama bangun tidur. Sehingga, ponsel pintar kemudian bisa diamini membawa pengaruh besar terhadap bagaimana interaksi antara manusia dengan dunianya.

Manusia saat ini memang lebih akrab dengan dunia maya daripada dunia nyata, tidak memandang usia berapa. Bahkan anak di bawah umur pun sudah punya ponsel pintar sendiri.

Apakah memang dunia nyata saat ini sudah tidak seinteraktif itu? Bahkan untuk berbicara saja perlu usaha untuk mengalihkan benda berteknologi mutakhir tersebut.

Para orang tua sering mengeluhkan anaknya yang sepanjang hari mendekam di kamar bersama ponsel pintar ketika hari libur sampai lupa makan, minum, bahkan mandi. Jika tidak ada yang mengingatkan, mungkin saja mereka betul-betul akan melewatkan semua itu.

Ponsel pintar memang memiliki daya tarik yang sangat besar seolah punya kemampuan menghipnotis untuk terus dibawa dan dimainkan. Tidak heran kalimat “Hape teros!” adalah kalimat pamungkas para ibu abad 21.

Keluhan-keluhan para orang tua tersebut sejatinya memang benar adanya. Bahwa kehadiran ponsel secara tidak langsung membuat interaksi sosial di dunia nyata merosot jauh.

Jangankan dengan masyarakat, dengan orang tua saja terasa begitu sulit untuk berinteraksi atau sekadar ngobrol ringan di malam hari. Tapi, tidak demikian dengan main hape yang terasa begitu mudah, mengasyikkan, dan tahu-tahu waktu sudah berlalu begitu cepat.

Interaksi di Dunia Nyata Tidak Sesederhana Kelihatannya

Mungkin banyak yang menilai bahwa kehidupan sosial akan berjalan jauh lebih interaktif tanpa kehadiran ponsel pintar di tengah-tengah kita. Namun, persoalan sosial seringnya tidak sesederhana kelihatannya.

Misalnya, banyak orang, terutama yang satu generasi dengan saya, yang menyatakan ketakutannya berinteraksi di lingkungan yang baru. Mereka sering menjadi sosok yang sangat pendiam, tidak banyak bicara, bahkan sangat penurut ketika awal-awal masuk sebuah lingkungan baru.

Makanya, ungkapan-ungkapan seperti, “Gimana, ya, nanti kalo pindah kelas?”, “Dulu pendiam banget, ya, sekarang bobrok,” “Kalo kamu gak kesana, aku juga gak, deh. Gak ada yang ajak soalnya” sudah menjadi konsumsi sehari-hari.

Ketika saya mengobrol dengan beberapa teman tentang hal ini, mereka mengatakan melakukan hal tersebut karena takut dikira sokab (sok akrab) jika memulai komunikasi atau interaksi lebih dulu.

Ditambah mereka juga tidak terlalu tahu bagaimana cara memulai interaksi untuk pertama kalinya dengan orang yang tidak dikenal. Mereka tidak memiliki topik pembicaraan yang pas yang bisa mencairkan situasi agar tidak canggung. Jika sudah demikian, ponsel pintar seringnya menjadi pelarian.

Namun, ini bukan semata karena kurangnya kemampuan komunikasi. Beberapa teman saya tadi merasa lebih tenang atau nyaman ketika berkomunikasi lewat internet karena tidak bertemu secara langsung.

Mereka tidak perlu khawatir dengan mimik wajah, intonasi suara, dan respon langsung satu sama lain.

Selain itu, dalam komunikasi di dunia maya, apabila respon yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan, ada pilihan untuk tidak membalas pesan atau membalasnya dengan slow response dan menyertakan kalimat “Maaf chat-nya tenggelam” atau “Maaf lupa balas chat.”

Ya, memang mungkin ada beberapa yang benar-benar lupa atau memang tidak sempat membuka ponsel karena kesibukan. Namun, tidak sedikit yang menjadikan kalimat-kalimat semacam itu sebatas alasan untuk mengakhiri interaksi.

Tidak Melulu Karena Teknologi Juga, sih

Persoalan kehidupan dunia nyata yang semakin tidak interaktif juga sebenarnya tidak melulu akibat distraksi teknologi.

Saya yakin banyak di antara kalian yang pernah mengalami atau setidaknya menyaksikan fenomena pergi ke kantor, sekolah, ataupun kampus dengan terburu-buru.

Terburu-buru yang membuat kita tidak sempat untuk sarapan dan duduk sebentar. Terburu-buru yang menyebabkan pergi dengan wajah panik tanpa menghiraukan siapa yang ada di sekitar.

Tergesa-gesa menyebabkan banyak hal, salah satunya ialah sering melewatkan interaksi dengan mereka yang ada di sekeliling.

Bagi kalian yang selalu disibukkan oleh rutinitas, pernahkah di pagi hari menyempatkan untuk berdiam diri setidaknya lima menit saja?

Pernahkah di pagi hari memulai obrolan dengan saudara serumah? Pernahkah di pagi hari menengok ibu atau nenek di dapur dan membantunya membuat masakan? Pernahkah di pagi hari membuatkan ayah atau kakek kopi dan menemani mereka di teras atau ruang tamu?

Apakah hal-hal semacam itu masih sempat dilakukan atau sudah hampir tidak pernah sama sekali?

Bahkan ketika sudah tiba di tempat tujuan, sempatkah menyapa teman yang kita jumpai, atau barangkali mereka yang satu meja? Jika ditelisik, justru hal seperti ini terasa sudah mulai jarang.

Akibatnya, banyak yang beranggapan orang-orang di zaman sekarang lebih individualis dengan jiwa sosial yang kurang. Ya, meskipun penilaian itu tidak sepenuhnya benar karena masih kerap dijumpai berbagai kegiatan organisasi, forum-forum, hingga kegiatan amal dan penggalangan dana.

Tapi, terlepas dari itu, untuk urusan interaksi di dunia nyata nampaknya sudah tidak seperti dulu lagi. Sudah tidak seinteraktif itu.

Harus diakui bahwa kehidupan interaktif di dunia maya memang begitu mengasyikkan. Namun, keasyikan tersebut tidak terbawa dalam interaksi di dunia nyata.

Perubahan memang sesuatu yang tak dapat dielakkan, namun bagaimana seterusnya, ya, tergantung masing-masing individu yang menjalaninya.

Penulis

Luh Indiarila

Penikmat secangkir kopi dengan sebuah buku menemani.
notix-opini-retargeting-pixel