Selebrasi Buka Baju Jojo: Pria juga Bisa Jadi Korban

Selebrasi Buka Baju Jojo: Pria juga Bisa Jadi Korban

Opini Jojo Selebrasi Buka Baju Asian Games min
Opini Jojo Selebrasi Buka Baju Asian Games min

Seandainya mas Jojo itu atlet sepakbola atau basket, mungkin komentar netizen tak bakal seliar ini.

Asian Games 2018 masih berlangsung. Lupakan soal teguran OCA kepada Erick Thohir atau polemik absennya smoking area, gak hits dan gak “anget”.

Baru-baru ini video selebrasi buka baju Jojo memenuhi media sosial dan langsung viral. Bukan Jojo Joshua Suherman atau Jonru Ginting loh, ya. Tapi Jonatan Christie. Bagi yang belum tahu, silakan buka mesin pencari, deh. Tapi kalau dunia kalian lebih seru tanpa perlu tahu akan hal ini, ya lupakan saja.

Ngomong-ngomong soal selebrasi buka baju nih, saya jadi teringat pada 1997 dimana striker Liverpool, Robbie Fowler harus rela melewatkan lima pertandingan kedepan dan membayar 80000 euro gara-gara mencopot kaos dan menunjukkan daleman yang berisi dukungan terhadap gerakan salah satu golongan politik.

Sepanjang dunia olahraga, sebenarnya selebrasi buka baju dan jatuh cinta itu biasa saja. Setidaknya sampai pada tahun 2003, FIFA mengeluarkan aturan pelarangan mencopot Jersey. Lalu setahun setelahnya, pelarangan copot jersey diresmikan oleh IFAB dan sifatnya bukan lagi aturan. Melainkan hukum yang dendanya mencapai ribuan euro, lho. Karena yang bermasalah adalah apa yang terjadi setelah momen buka baju itu.

Alasannya cukup jelas. Karena bisa menimbulkan kesan ofensif dimana olahraga seharusnya membawa sikap sportivitas. Kita tidak pernah tahu apa yang disimpan pemain di balik bajunya. Ternyata bukan perut aduhai model roti sobek, tetapi kaos politik. Surprise madafaka.

Pelarangan ini juga berkenaan dengan protes dari para sponsor di kaos jersey. Udah dibiayai mahal-mahal, eh malah dicopot. Selebrasi pasca gol kan momen dimana pencetak goal disorot kamera secara dekat. Eman donk.

Selain sepak bola juga di cabang olahraga basket ada kok pelarangan lepas jersey. Misal dalam aturan NFHS dimana satu-satunya saat pemain basket boleh melepas jersey di lapangan adalah saat di tubuhnya juga ada darah.

Memang sih, di cabang olahraga lain belum ada aturan pelarangan lepas jersey seperti dua cabang olahraga diatas. Tapi yo mosok sehabis berhasil nyekakmat lawan dalam olimpiade catur Anda terus ujug-ujug buka baju? Yah, emang gak semua tempat pantas untuk selebrasi buka baju kok.

Jadi, sedikit saya bisa mafhum dengan histeria mbak-mbak yang histeris melihat pemain buka baju tanpa pernah tahu betapa epiknya momen-momen goal Ronaldo kalau sudah selebrasi buka jersey. Yang jelas, ini semua salahnya FIFA sehingga kita semua tidak bisa menikmati pemandangan dada bidang dan perut kotak-kotak pemain bola di piala dunia kemarin. Pokoknya salah FIFA. Titik.

Maka dari itu soal berita Jojo yang selebrasi buka baju, sebenarnya adalah wajar. Yang membikin risih adalah komentar-komentar di media sosial yang mengarah kepada tindak pelecehan seksual.

Tidak sedikit komentar yang berisikan ungkapan pelecehan. Mulai dari komentar yang relatif ringan seperti: “Abang Jojo, dadamu seakan mengajak berumah tangga.” Atau “Coba deh celananya dibuka sekalian.” Sampai yang paling ekstrim: “Dek Jojo, rahim tante jadi anget, nih.”

Catcalling di Media Sosial

Jika saja media sosial adalah sebuah boulevard, maka betapa mengerikannya bahwa sepanjang jalanan akan dipenuhi catcalling dan siulan mesum. Dear ladies, begitukah cara kita memperlakukan atlet yang membawa nama harum bangsa di atas perut roti sobek pundaknya?

Seandainya saja yang bermain saat itu bukan Jojo dengan perut model roti sobek yang body goals banget itu, tetapi om-om dengan perut model bakpao unyu di pertandingan sumo. Akankah reaksi komentar-komentar di media sosial akan sama? Eits belum tentu. Kalau yang buka baju atlet cewek? Bah! Bisa ada aksi berjilid-jilid lagi.

Respon warganet yang menjurus ke pelecehan ini dengan dalih bahwa hal tersebut sebagai bentuk pujian atau bentuk kebanggaan. Rasa-rasanya tidak perlu banyak teori untuk membedakan yang mana pujian dan mana pelecehan.

Kita begitu terbiasa dengan budaya catcalling terutama di media sosial sebab anonimitas terjamin dan kita tidak menerima penalti secara langsung atas tiap ucapan dan tindakan. Lihat saja betapa banyaknya godaan hingga ajakan bercinta di kolom komentar akun media sosial.

Budaya Rape Culture

Menurut Emilie Buchwald, rape culture adalah kondisi dimana masyarakat menerima bahwa kekerasan seksual adalah hal yang wajar. Hal ini juga mencakup pelecehan verbal sampai tindak pemerkosaan.

Hanya saja mungkin 24 tahun lalu eyang Buchwald mengira bahwa yang bisa melakukan kekerasan seksual itu hanya kaum pria saja. Padahal di era dimana kebebasan berbacot ini dijunjung tinggi, banyak bibit-bibit Zulaekha bermunculan. Faktanya, pada 2015 jumlah pria di usia kerja yang mengalami pelecehan seksual sebesar 17,1%.

Meski begitu, pelecehan pada pria cenderung bersifat dikriminasi gender, bukan kekerasan seksual yang sering terjadi pada perempuan. Pria yang menjadi korban biasanya mereka yang cenderung dipandang bersikap tidak maskulin atau metroseksual.

Tambah lagi, banyak kok pria yang enggan melaporkan pelecehan yang diterimanya karena stereotip yang ada di masyarakat. Ungkapan “cuma gitu doank ah, lebay.” seharusnya dihindari. Sedari kecil pun, pria diajarkan untuk pantang menangis. Dear girls, men are human too. Sometimes we cry. Coba, berapa banyak pria yang minder hanya karena taraf pendidikan atau penghasilannya lebih rendah daripada pasangannya?

Kalau kata Raditya Dika bahwa hanya ada dua tipe pria; kalau tidak homo ya bajingan: jangan percaya. Tidak semua pria sebajingan itu untuk menerima catcalling dari lawan jenis. The Guardian pernah merilis sebuah video eksperimen sosial dengan membalik stigma dimana perempuanlah yang melakukan pelecehan verbal dan coba tebak: semua pria merasa risih. Tanggapannya beragam. Ada yang terang-terangan menolak, ada yang bersikap acuh, bahkan beberapa mengumpat marah.

Sebenarnya bisa saja kita berdalih. Pelecehan verbal yang terjadi pada Jojo hanya terjadi di dunia maya. Tetapi seharusnya juga kita juga sadar, bahwa apa yang terjadi di dunia maya adalah pengejawantahan dan refleksi atas realita yang terjadi. Jika tidak percaya coba hitung berapa orang yang masuk bui gara-gara tidak bisa menjaga mulut di dunia maya. Misalnya Jojo yang lainnya lagi. Hehe. Akhir kata, say no to rape culture!

Editor: M. Erza Wansyah
Penulis
Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Ilustrator Sediksi
Opini Terkait
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel