Bisa dibilang saat ini adalah era dimana memilih makanan telah menjadi urusan gaya hidup. Bukan hanya soal rasa dan harga, tampilan makanan dan konsep desain tempat makan seolah juga menjadi prioritas yang harus diperhatikan sebelum menentukan sebuah pilihan. Bukan apa-apa, karena di era berkuasanya generasi Y dan Z yang ditunjang perkembangan gadget, Semua hal termasuk urusan makanan, kini menjadi bahan wajib untuk diabadikan dan di bagikan lewat beragam akun sosial media yang dimiliki.
Maka tak heran, khususnya di kawasan urban yang mempunyai banyak kampus dan pendatang mahasiswa seperti kota Malang, banyak kafe beragam konsep bermunculan dengan begitu pesatnya. Mulai dari yang berkonsep minimalis vintage, jappanese, modern western, hingga literasi dan edukasi semua lengkap dengan tawaran menu unik ciri khas masing-masing.
Namun kenyataannya dalam hal kuliner di Kota Malang, kemunculan yang begitu pesat bukan hanya terjadi pada kafe dengan beragam konsep saja. Dalam hal jajanan pinggir jalan, baru-baru ini muncul fenomena “Sempol effect“.
Bak musim undangan nikah setelah wisuda, kehadiran jajanan ini tanpa disadari muncul dengan begitu cepat dan masif. Khususnya di seputaran kawasan kampus dan hunian kos mahasiswa di Kota Malang. Menurut salah seorang alumni Pers Mahasiswa di Kampus Unibraw angkatan 2000 an yang tidak mau disebutkan namanya, sebenarnya jajanan inil sudah ada sejak dahulu namun, namun yang jual hanya di tempat-tempat tertentu, seperti di kawasan-kawasan wisata di daerah Malang Selatan.
Menurut salah seorang pedagang di kawasan Sukarno-hatta, yang identitasnya dirahasiakan, Ia baru berjualan sempol lebih kurang 2 minggu terakhir. Karena tergiur melihat kawannya di daerah Sigura-Gura yang pendapapatannya mencapai 350 ribu rupiah sehari.
Asal-mula jajanan ini memang belum diketahui secara pasti, namun beberapa informasi mengatakan jika jajanan ini berasal dari daerah Malang selatan. Jika benar, dimungkinkan jajanan ini berasal dari desa dengan nama yang serupa yaitu Desa Sempol, yang terletak di Kecamatan Pagak. Berjarak 19 KM utara Ibukota Kabupaten Malang: Kepanjen.
Jika dilihat dari keberadaannya, kemunculan “sempol effect” hampir mirip dengan fenomena “food truck” di kota-kota besar Amerika. Muncul di era 1800-an dan berkembang di Area pertanian Texas dan New Mexico. Food truck yang masih berbentuk kereta kuda memulai dengan menjajakan kopi, biskuit daging dan kacang untuk para petani dan penggembala di kawasan tersebut. Lambat laun budaya konsumsi dari kawasan pertanian tersebut menyebar ke daerah urban sekitarnya yang cenderung lebih maju dengan kawasan Industri.
Sedangkan sempol yang berasal dari kawasan pertanian Malang selatan, juga cukup sukses bersaing di pasar kuliner khas anak muda. Bertahan dengan kesederhanaan di tengah arus kekinian dan gempuran budaya luar dengan segala rupa kafe dan streetfoodnya. Betapa tidak, jika di kafe dan tempat makan kekinian kerap disediakan instalasi untuk sudut foto bagi mereka yang hobi pamer di sosmed, di lapak penjual jajanan ini biasanya hanya terdapat satu desain sederhana saja sebagai identitas nama sempolnya. Semacam; Sempol Arema, Sempol Bunda, Sempol Nayamul, Sempol Barokah, Sempol Maknyuuz, atau juga Sempol Kerinduan. Jika di kafe dan tempat nongkrong hits biasanya makanan akan diantarkan kemeja oleh pelayan-pelayan bening atau keren, di lapak penjual sempol biasanya pembeli akan menuangkan sendiri saus ke bungkus plastik karena sam-sam sangar penjual sempol sedang sibuk menjaga sempol agar tidak gosong di wajan penggorengan.
Sempol terbuat dari tepung terigu dan tapioka yang diberi potongan kecil daging ayam dan dilekatkan pada tusuk lalu dikukus. Kemudian digoreng dengan balutan telur dan yang terakhir diberi saus atau bumbu kacang sesuai selera. Yang menjadi unik, tusuk dari jajanan ini cukup besar dan panjang. Perbandingannya 1 tusuk bambu sempol hampir lebih besar dari 5 tusuk bambu sate. Jadi jika membeli sempol dalam jumlah yang banyak, seolah sedang memegang light saber untuk digunakan dalam bertempur.
Selain memiliki cita rasa yang unik, jajanan yang pro rakyat cilik ini juga memiliki harga yang terjangkau. Memang harganya variatif, mulai dari harga 500 rupiah per tusuk, hingga yang cukup mahal 5000 rupiah per 3 tusuk. Tergantung kualitas, lokasi jualan, dan amal ibadah si pembeli. Sedangkan untuk tempat berjualan hampir semua tempat seputaran kampus tak luput dari ekspansi penjual makanan yang kian hits dan merajalela ini. Seolah menjadi pengikut paham anti evolusi para pedagang itu ramai-ramai membuktikan jika jajanan ini tak perlu berubah bentuk untuk mengadaptasi perubahan zaman dan perkembangan sosial.
Kemunculan fenomena “sempol effect” memang bisa menjadi renungan, jika mempertahankan identitas adalah hal berharga dalam bertahan di tengah kencangnya arus perubahan. Dan mengubah persepsi romantis yang melekat di “sepiring berdua” menjadi “setusuk berdua”.