Ultimatum Buat Omah Diksi yang ‘Menuduh’ Saya Tak Bahagia

Ultimatum Buat Omah Diksi yang ‘Menuduh’ Saya Tak Bahagia

Opini Tertuduh Tidak Bahagia min min
Opini Tertuduh Tidak Bahagia min min

Lulus lama membuat aku sadar bahwa rencana Tuhan itu indah

Tulisan ini dibuat karena muncul ancaman dari Muhamad Erza Wansyah, salah seorang kru Omah Diksi alias Omdik.. Tepatnya, ketika saya datang ke Omdik buat minum Teh Ginastel (Legi Panas Kentel) minggu lalu. Saya terpaksa menulis ini manteman. Demi bisa menikmati racikan Ginastel di kemudian hari.

Oh ya, Saya juga turut berduka cita atas meninggalnya Mbah Loso, peracik Teh Ginastel legendaris di Karanganyar. Dunia perwedangan kehilanganmu, Mbah.

Kembali ke latar belakang saya menulis. Ancaman bakul Omdik itu maut banget, “Nun, nulis di Sediksi. Kalo gak kirim tulisan, gausah main-main ke Omdik lagi!” Waahh! Mana boleh begitu?! Saya tidak rela kehilangan para penggemar saya di Omdik dong!

Lha, iya kan? Orang-orang Omdik perhatian banget sama saya. Tiap main ke sana, saya sering didoakan supaya cepat lulus kuliah. Doa itu misalnya lewat pertanyaan ‘sopan’ seperti, “Durung lulus nun, adik tingkatmu si A ae wis lulus nun?!” atau pertanyaan sableng macam: “Udah DO nun?”

Tapi, kadang-kadang saya jadi terharu, karena mereka pengertian. Lewat kata-kata beracun yang hampir bikin saya terlena seperti, “Udah mending nulis di Sediksi aja, daripada nulis skripsi gak selesai-selesai! Jadi terkenal lagi kalo dimuat!” Betapa baiknya kannn? :’))

Mereka juga pada tanya-tanya kabar kapan saya wisuda. Sepertinya mereka sudah tidak sabar menunggu dan ingin agar saya segera wisuda. Dan, pertanyaan seperti itu hanya bisa saya jawab dengan dua cara: “Pingin banget dateng yaaa?? Cie..cie..” atau “Segera mas, mohon doanya ya..” (sambil kedip-kedip manjaah).

Kata-kata anak-anak Omdik memang nylekit banget! Sukses bikin ngilu ati plus migrain. Yaa, walaupun suka rusuh dan absurd, tapi mereka itu kadang bisa bener juga se.

Berhubung saya males main jauh-jauh dari kampus dan karena saya hafalnya cuma jalan ke Omdik, jadi saya buat tulisan ini yang sebenarnya sebuah lagu lama dari mahasiswa yang memasuki babak injury time di dunia perkuliahan.

Tulisan ini sekaligus jawaban karena lewat beberapa kali kunjungan, makhluk-makhluk di Omdik sering menuduh saya tidak bahagia. Memang saya mengeluh, tapi yaa itu kan biar ada bahan omongan. Gara-gara tuduhan itu, saya ada PR buat penghuni Omdik. Jawablah satu pertanyaan berikut ini! Apakah alasan saya jadi tertuduh tidak bahagia?

Pilihan jawaban:

a.) Gara-gara saya tidak segera lulus,

b.) Muka saya yang memang dari sono-nya udah stress face (yang ini nggak mungkin, saya kan cantik..ehm),

c.) Ngeluh terus.. (yang ini mungkin benar!),

d.) Jawaban lainnya.. atau

e.) pilihan a, b, c, dan d benar semua…(ehhehe).

Baiklah. Karena saya masih belum dapat jawabannya, saya akan merasionalisasi tuduhan tidak bahagia ini dengan pilihan jawaban: a.) Gara-gara saya tidak segera lulus.

Tuduhan tidak bahagia gara-gara tidak segera lulus itu 50:50 antara benar dan salah. Saya Alhamdulillah-nya masih tahan dari godaan untuk kebelet lulus cepat-cepat, dan berusaha untuk tidak nangis gero-gero karena putus asa nggak punya cerita lulus cepat seindah teman-teman.

Yaah pernah juga sih seperti itu, misalnya waktu diceritain kisah-kisah sukses lulus cepat, kerja mapan, duit mayan, saya ya cuma ngiler dan silau.

Zaman gini, lulus lama itu berat… di ongkos. Tapi setidaknya sekarang, saya sudah tidak terlalu guncang. Saya masih merasa hidup ini patut disyukuri dan layak dijalani.

Saya bukan mau berbangga atau sombong karena bisa lebih lama jadi penghuni di sebuah universitas negeri di Kota Malang, sementara teman-teman atau adik-adik saya sudah duluan purna sebagai mahasiswa.

Saya salut sama teman-teman yang bisa berbagi cerita sukses lulus cepat dan tepat waktu. Tapi boleh-lah ya kalau saya juga menuliskan pengalaman saya, sebagai salah satu suara mayoritas—para mahasiswa veteran, pejuang tua skripsi—supaya saya gak kelihatan sedih-sedih amat.

Lewat bincang-bincang singkat yang rutin dan berkualitas antar sesama mahasiswa veteran dari berbagai lintas angkatan, jurusan, maupun perguruan tinggi, saya merangkumkan sedikit kebijaksanaan dan upaya kami saling menguatkan dengan memandang hidup dari sudut pandang yang sederhana nan penuh syukur…hmmm (sambil tangan di dagu dan mantuk-mantuk). Beberapa orang yang saya kenal dan senasib dengan saya mengaku:

Ketertundaan ini, membuat kita menjadi lebih sabar, ikhlas, dan tabah. Sabar menunggu untuk bimbingan dengan dosen terdjinta yang kadang jadwalnya bisa berubah mendadak atau malah batal. Nah, kalau sudah begitu keikhlasan dari usaha kita seharian bertapa di kampus sedang diuji. Semakin tabah, kalau sudah menunggu hampir sembilan jam dan bimbingan berlangsung kilat sepuluh menit. Well, very nice.

Lebih religius: memahami bahwa rencana Tuhan jauh lebih indah dari rencana kita. Kita menghayati dan sampai hafal rasanya seminar karena berkali-kali dinyatakan gagal. Ketika akhirnya kata ‘selamat anda lulus’ itu terdengar, rasanya ‘Wow yeah! Akhirnya! Thank you God!’ Kita jadi semakin meyakini kalau ada yang lebih berkehendak dibandingkan keinginan pribadi.

Pemegang kehendak itu jelas, yang pertama Tuhan dan yang kedua, tangan-tangan Tuhan (dosen). Untuk menghadapi ketakutan dan uji nyali berhadapan dengan dosen, saat bimbingan atau sidang, ‘senjata pemungkas’ yang perlu disiapkan yaitu baca Al-Fatihah tujuh kali, kadang-kadang Ayat Kursi juga (lah, mbok pikir iku demit opo?). Syukur-syukur manjur, hati kita lebih tenang, belas kasih itu datang, dan usaha-usaha dilancarkan. Aamin.

Jadi lebih memaknai arti pertemanan dan solidaritas. Inii! Memang gak bisa dipukul rata sama di setiap kasus sih. Lagian, lulus bersama-sama itu sebagian besar adalah mitos. Yang nyata: masuk kuliah bareng, lulus dewe-dewe. Dunia itu keras ma men!

Biasanya karena harus mendatangkan ‘pasukan’ untuk memenuhi kuorum pelaksanaan seminar skripsi, hal ini bisa jadi tolok ukur. Tapi, saya tidak menyarankan untuk mengambil kesimpulan berlebihan tentang arti pertemanan ini.

Kalau teman baik kita tidak bisa datang mungkin yaa belum jodoh aja, tempat dan waktunya. Alasan-alasan masuniawi itu masih berlaku kok. Siapa tahu, semalaman dia ikut cemas karena besok kawan baiknya seminar, lalu begadang gak bisa tidur, masuk angin, dan paginya pas waktu seminar malah murus? Yaah siapa tahu?

Terbiasa patah hati. Lah sangking seringnya ditolak mister dan madam dosen! Mulai dari materi skripsi, sampai ‘php’ jadwal ‘kencan’ skripsi dan persetujuan revisi. Ini sulit buat mahasiswa yang move on-nya lama, kayak saya misal.

Nah, tampaknya omong kosong ini harus segera diakhiri karena semakin nggak asyik dan buang-buang waktu buat yang nulis, apalagi untuk pembaca Sediksi yang baik. Jangan bully saya ya…hehe. Tapi, kalo tetep di bully, yaudah! Mendingan saya lanjut garap skripsi lagi aja.

Jadi, kembali ke alasan saya menulis tulisan ini. Karena saya sudah bela-belain menulis untuk Sediksi, boleh kan saya main-main lagi ke Omdik? Dan tolong, sadar diri dong, tabayyun:

Sebutkan anak Omdik yang bisa lulus tepat waktu?

Saya yakin gak ada! Jadi, besok kalian gak boleh buka Omdik lagi!

Editor: M. Erza Wansyah
Penulis
woman placeholder

Ainun Syahida A.

Alumni Hubungan Internasional Universitas Brawijaya. Menulis tentang topik politik, kebijakan maupun topik yang relevan untuk anak muda.
Opini Terkait
Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB
Budaya Toksik Pasca Sidang Tugas Akhir
Kampanye Politik di Kampus dan Dampak Undangan BEM UI
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel