Pernah suatu ketika, seorang teman memutar lagu Ada Rindu Untukmu yang dibawakan oleh Vanny Vabiola. Sontak, saya berseru, “Paradep! Paradep! Paradep.” Kawan-kawan yang lain lantas tertawa mendengar celetukan itu.
Paradep sendiri merupakan bus asal Pematang Siantar, Sumatera Utara. Lalu, apa kaitannya dengan Vanny Vabiola?
Bisa dibilang, lantunan suara perempuan kelahiran 3 Juli 1986 itu sudah menjadi anthem bus Paradep. Bagi kami semua, yang sudah pernah menjajal bus kawakan itu, begitu intro lagu-lagu Vanny Vabiola mulai mengalun, vibes naik Paradep langsung terasa.
Selanjutnya, di suatu kesempatan lain, kawan saya menyetel lagu cover-an Vanny Vabiola yang lain, kali ini yang berjudul Kucoba Bertahan.
Sekonyong-konyong ada yang menyela, “ALS! ALS!” Tentu saja, yang dia maksud adalah bus legendaris antar pulau, Antar Lintas Sumatera (ALS). Celetukan kawan saya tersebut lagi-lagi membuat kami tertawa.
Tidak hanya Paradep, ternyata album Vanny Vabiola juga menjadi pengiring wajib bus yang tenar di seantero Pulau Sumatera itu.
Dari sini, saya semakin menyadari bahwa penyanyi asal Kota Padang ini sudah menjadi bagian dari sebuah memori kolektif, terutama bagi para penumpang setia armada bus yang saya sebut tadi.
Baca Juga: Pak Jon, Romantisme Bus Jangan Sampai Gembos
Involuntary Memory dan Voluntary Memory
Memori kolektif mengacu pada bagaimana sebuah kelompok sosial mengingat masa lampau mereka. Ia bisa tercipta dalam skala yang luas, seperti pada level bangsa.
Contohnya, ingatan para penyintas dari serentetan pembantaian pasca peristiwa 30 September 1965, atau kenangan kelompok-kelompok gerakan sosial pada Reformasi 1998.
Memori kolektif pula bisa lahir pada kelompok sosial dalam skala yang lebih kecil. Seperti yang sudah saya singgung di atas terkait memori kolektif para penumpang bus, di mana lagu-lagu Vanny Vabiola diputar sepanjang perjalanan.
Perjalanan jauh menumpang bus—sebagai sebuah peristiwa sejarah—telah secara unik membentuk memori kolektif para penumpangnya. Memori kolektif tersebut lantas dibangkitkan lagi, dan berkali-kali, oleh suara merdu Vanny Vabiola.
Dari dua peristiwa yang saya ceritakan di awal, memori kolektif muncul sebagai involuntary memory. Kenangan pada bus Paradep dan ALS muncul begitu saja, atau secara tidak disengaja, saat mendengar lagu Vanny Vabiola.
Selain secara tidak disengaja, memori-memori seperti ini bisa juga dibangkitkan secara sengaja (voluntary memory).
Saya tidak tahu pasti, tapi jangan-jangan ada orang yang sengaja menyeduh kopi hitam kental lalu memutar lagu-lagu Vanny Vabiola untuk membangkitkan ingatannya pada sepanjang perjalanan yang pernah ia tempuh bersama Paradep, ALS, ataupun bus-bus lainnya.
Pembentukan Memori Kolektif: Kesan Personal vs Wacana Dominan
Selain soal bangkitnya sebuah memori kolektif, ada hal menarik lain dari dua peristiwa yang saya ceritakan di atas.
Biasanya, kenangan bersama yang muncul akan diikuti oleh beragam cerita yang mengalir. Tentang perjalanan macam apa yang dulu ditempuh, tentang bagaimana nasib setelah ditempuhnya perjalanan itu, tentang kisah-kisah unik selama perjalanan, dan sebagainya. Ajaib, kan!
Dari cerita tentang lagu yang tak hentinya diperdengarkan di bus, bergerak menjadi cerita tentang berbagai perasaan yang dialami oleh individu. Sempurnalah sudah Vanny Vabiola sebagai bagian dari memori kolektif para pelintas batas.
Memori kolektif yang dibentuk oleh musik tentu bukan sesuatu yang baru. Generasi yang besar di senjakala otoritarianisme Soeharto, misalnya, pasti punya kenangan tersendiri pada lagu Bongkar-nya Iwan Fals.
Atau juga kenangan romantis yang muncul dalam benak remaja-remaja Bandung 90-an pada lagu-lagu Pure Saturday.
Baca Juga: Batak, Rantau, dan Mitos Ketidaksuburan
Sampai sekarang pun, fenomena semacam ini masih terjadi. Lihat saja misalnya, bagaimana fenomena labelling indie telah menciptakan dan melanggengkan berbagi pengasosiasian. Contohnya, folk indie, kopi, dan senja, jadi semacam paketan yang tak afdol jika dipisahkan.
Pola pun terbentuk dengan sendirinya. Lagu-lagu yang diputar di coffeeshop hampir pasti ketebak. Folk indie di coffeeshop sederhana yang “kopi banget”, atau instrumen bossa nova di coffeeshop industrial yang biasanya lebih besar dan elegan.
Ingatan tentang kopi dan senja bisa terbit dengan mudah di kepala kita begitu mendengar lagu-lagu indie. Namun, ingatan itu adalah ingatan pada sesuatu yang memang sudah terbentuk sebagai wacana dominan, alih-alih ingatan pada kesan-kesan personal.
Terbentuknya pola yang gampang terbaca ini memang memungkinkan lagu-lagu tersebut lekas jadi mainstream. Orang jadi malas ngulik. Tahunya itu musik indie saja. Sudah.
Lagu-lagunya memang enak, tapi hanya sepintas lalu saja menghampiri telinga pendengarnya. Nada-nadanya dengan cepat terngiang di kepala, menempel sesaat, lalu pudar digantikan oleh lagu-lagu baru.
Berbeda dengan lagu-lagu Vanny Vabiola yang akrab di telinga penumpang bus. Dia tak cuma menempel di bawah sadar, tapi juga membekas dan terasosiasi dengan kisah-kisah personal individu yang mendengarnya.
Memori kolektif memang tak melulu soal fakta, tapi juga interpretasi terhadap fakta tersebut. Vanny Vabiola meretas memori kolektif para penumpang bus, yang kemudian menginterpretasikannya pada perjalanan yang pernah mereka tempuh.
Ketika secara tak sengaja mendengar lagu Vanny Vabiola, mereka bukan saja mengingat bahwa mereka pernah naik bus dari satu pulau ke pulau lain, dari satu kota ke kota lain. Lebih dari itu, mereka mengenang salah satu fase yang sangat berkesan dalam hidup mereka.
Lagu-lagu Vanny Vabiola memang sudah menjadi bagian dari memori kolektif para penumpang bus. Para perantau. Para pelintas batas.