Batak, Rantau, dan Mitos Ketidaksuburan

Batak, Rantau, dan Mitos Ketidaksuburan

Batak, Rantau, dan Mitos Ketidaksuburan
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Tak dapat dipungkiri bahwa orang Batak memang melihat peluang lebih besar di tempat lain. Tapi, akan menjadi keliru ketika kemudian muncul kesimpulan bahwa di kampung seakan tidak ada apa-apa.

Menurut saya, makna merantau bagi orang Batak menjadi sesuatu yang makin problematis. Bagaimana konsep merantau (jika memang ada) dalam pemahaman orang Batak?

Apa yang dibayangkan orang-orang Batak ketika merantau? Apakah merantau jadi semacam kewajiban bagi orang Batak?

Sebelum mencoba menjawab apakah orang Batak punya konsep tentang merantau, kita tentu harus menyibak dulu terkait apa yang kita maknai sebagai merantau hari ini.

Satu pengertian yang mungkin masih konsisten ialah bahwa merantau berarti meninggalkan kampung halaman di mana kita lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja lalu menuju tempat yang tak punya pertalian apa-apa dengan kita.

Lalu, demi tujuan apa kita meninggalkan kampung halaman? Nah, pada titik inilah kita harus mulai teliti.

Motif Awal Orang-orang Batak Merantau

Moyang orang Batak dahulu meninggalkan teritorinya dan mencari wilayah lain untuk mereka tinggali. Alasannya karena tanah tak bertambah sebagaimana manusia.

Tanah yang tersedia tak lagi cukup untuk dibagikan pada orang-orang. Sehingga, mengembara mencari tanah-tanah baru jadi kebutuhan mendesak. Dari sini, tersebarlah orang-orang Batak di tempat-tempat baru.

Pengembaraan tersebut tentu saja tidak sesederhana yang kita pikirkan. Jika kelompok pencari wilayah baru ini menemukan wilayah yang sudah dihuni, konflik boleh jadi sebuah keniscayaan. Perang menjadi tak terelakkan.

Hal ini kemudian dapat berujung pada persebaran lanjutan, buntut dari eksodus yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang kalah berperang.

Tidak hanya lewat konflik antar kelompok, konflik internal kelompok pun bisa memicu terjadinya eksodus serupa.

Misalnya, ada kondisi ketidakpercayaan dalam kelompok marga di sebuah kampung. Lalu, salah seorang di kampung itu mulai memposisikan orang-orang di kampung itu sebagai musuh dan kemudian menyerang mereka.

Akhirnya, kelompok yang diserang serta tak sanggup melawan memilih keluar dari kampung dan mencari wilayah baru untuk mereka diami.

Fenomena semacam ini dapat dilacak dari keberadaan perkampungan kelompok marga di wilayah-wilayah yang sama sekali tak punya kait kelindan dengan sejarah marga mereka.

Tapi, ini dulu. Lantas, bagaimana dengan sekarang? Apa motif orang-orang Batak keluar dari teritorinya dan menjajal wilayah-wilayah baru?

Merantau dan Perihal Kesuburan

Ada beberapa kemungkinan yang membuat orang-orang Batak pergi merantau, seperti untuk bersekolah, mencari pekerjaan dengan upah besar, mencari pengalaman bertahan hidup, atau mencari sensasi baru karena bosan pada keseharian di kampung yang begitu-begitu saja.

Ragam motif di atas tentu terdengar masuk akal. Akan tetapi, ada satu motif problematis yang telah sekian lama direproduksi sampai-sampai menyelusup ke dalam kesadaran orang-orang Batak dan dianggap sebagai kebenaran.

Motif tersebut adalah tanah di kampung dianggap tidak subur!

Berbeda dengan motif-motif lain yang saya sebut sebelumnya, motif yang terkait dengan persoalan kesuburan ini, bagi saya, terasa janggal.

Coba bandingkan dengan merantau untuk bersekolah, misalnya. Untuk hal ini, orang Batak tentu harus keluar dari wilayahnya sebab di luar terdapat pilihan yang lebih variatif untuk bersekolah.

Begitu pula dengan merantau demi memperoleh pekerjaan dengan upah yang lebih besar. Di luar kampung halaman hal ini dimungkinkan karena perputaran uang yang lebih kencang serta pilihan pekerjaan yang lebih bervariasi.

Sama halnya dengan motif-motif lain di atas yang bisa dipahami dengan logika sederhana.

Tapi, bagaimana dengan masalah kesuburan? Adakah penelitian yang bilang kalau tanah di kampung-kampung orang Batak tidak subur? Lagipula, tidak ada tanah yang tidak subur dengan sendirinya.

Maksudnya, bisa saja ia disebut tidak subur karena tidak cocok untuk tanaman tertentu. Atau, disebut tidak subur karena tingkat produksi yang rendah. Tapi, ya, ini semua relatif.

Tidak cocok untuk satu jenis tanaman, tapi cocok untuk jenis tanaman yang lain. Tidak memproduksi banyak karena keterbatasan teknologi. Atau memang tak ada kemendesakan untuk itu (kembali ke prinsip ‘menanam apa yang dikonsumsi’).

Ihwal ketidaksuburan ini dengan demikian adalah motif yang mengawang. Belum pernah dijelaskan secara komprehensif. Dengan kata lain, ia hanya mitos. Penjelasan yang didapatkan terkait merantau berkebalikan dengan mitos ini.

Berhenti Menganggap Kampung Halaman Tidak Menghasilkan Apa-apa

Penelitian Togar Nainggolan, dalam disertasinya berjudul “Batak Toba di Jakarta: Kontinuitas dan Perubahan Identitas”, tidak menyebutkan ketidaksuburan sebagai motif orang Batak Toba bermigrasi.

Tak dapat dipungkiri bahwa orang Batak memang melihat peluang lebih besar di tempat lain. Tapi, akan menjadi keliru ketika kemudian muncul kesimpulan bahwa di kampung seakan tidak ada apa-apa.

Dugaan saya, kesimpulan prematur semacam itu bermula dari narasi yang disebar-luaskan oleh perantau itu sendiri. Hal-hal yang tidak mereka peroleh di kampung halamannya banyak mereka peroleh di perantauan.

Lalu, secara serampangan menyimpulkan kampung halaman sebagai tanah yang tidak subur. Narasi ini pula ditanamkan kepada generasi yang lahir kemudian, yang lantas melihat kampung halamannya sendiri sebagai daerah yang tidak subur.

Cara pandang seperti ini lantas diteruskan ke generasi-generasi berikutnya serta dilanggengkan dengan romantisasi pada pencapaian-pencapaian di daerah rantau.

Dengan pemahaman bahwa kampung halaman tidak subur, maka pencapaian di perantauan tampak sebagai sesuatu yang wah banget. Lihat saja, misalnya, bagaimana politisi Batak mem-branding dirinya di musim-musim pemilu.

Poltak, Anak Petani dari Desa menuju Senayan

Polan, Si Anak Kampung

Maksud saya, so what gitu, lho? Narasi semacam ini seakan-akan hendak mengatakan bahwa ada jurang dalam yang memisahkan keterbatasan kehidupan pedesaan dengan ke-serbaadaan kehidupan perkotaan dalam indikator yang sama.

Salah satu implikasinya, ya, itu tadi, desa (kampung halaman) ditampilkan sebagai lebih tandus ketimbang kota (daerah perantauan).

Peluang yang lebih besar di daerah perantauan barangkali membuat orang Batak perantau berhasil meningkatkan taraf hidupnya. Tetapi, hal ini tidak serta merta menjadikan kampung halamannya seolah antah berantah yang tidak bisa menghidupi penghuninya.

Kampung halaman juga punya kehidupannya sendiri, sebagaimana daerah perantauan punya kehidupannya sendiri. Menghadap-hadapkannya dalam konteks ‘mana lebih baik, mana lebih buruk’ adalah sesuatu yang problematis!

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis

Christiaan

Menulis esai, sajak, dan cerita pendek. Suka bersepeda dan mendengarkan lagu-lagu Pure Saturday.
Opini Terkait
FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel