Selain tentang perburuhan, Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan DPR pada 5 Oktober lalu, menyisakan banyak pasal bermasalah. Salah satunya adalah pasal 111 tentang Perpajakan. Pada poin pasal 4 ada peraturan tentang pajak gratifikasi.
Menjadikan gratifikasi sebagai objek pajak berpotensi menimbulkan kerancuan hukum. Sekaligus kontradiktif dengan klaim Jokowi yang menyebut pemangkasan aturan pada UU Ciptaker sebagai langkah pencegahan korupsi.
Masyarakat umum tentu tidak asing dengan istilah gratifikasi dalam konteks tindak pidana korupsi. Jika punya sedikit waktu, boleh anda cek di Wikipedia, situs paling mudah menemukan istilah buat yang awam. Melalui situs opensource tersebut, istilah gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian yang mengarah pada penyuapan.
Btw, keterangan soal gratifikasi sebagai objek pajak ini benar adanya. Bukan hoax. “Kalau saya bilang bukan hoax ya bukan”. Memang hanya pemerintah yang boleh ngotot.
Jika menelusuri naskah UU Cipta Kerja dalam berbagai versi, kata kunci ‘gratifikasi’ dapat anda temukan di beragam halaman. Pada naskah UU Ciptaker versi 905 halaman, dapat ditemukan pada halaman ke 486. Jika mengacu UU Ciptaker versi 1035 halaman, dapat ditemukan di halaman 506. Versi lain, gratifikasi terdapat di halaman 516 UU Ciptaker versi 1052 halaman dan halaman ke 394 UU Ciptaker versi 812 halaman. Sedangkan UU Cipta Kerja versi naskah terakhir setebal 1187 halaman yang disosialisasikan pemerintah pada sejumlah Ormas, belum sampai pada publik. Uniknya, pada naskah versi 1028 halaman keyword gratifikasi tidak ditemukan.
Jadi terkesan ribet seperti gratifikasi itu sendiri.
Dalam kamus perkorupsian, gratifikasi jelas dilarang karena dapat mempengaruhi indepedensi penyelenggara negara. Kecuali jika penerima gratifikasi melaporkan barang pemberian tersebut kepada KPK. Maka menurut pasal 12 C UU No 31 Tahun 1999 Tipikor, penerima yang telah melaporkan tidak dapat dijerat pasal gratifikasi.
Baca Juga: 3 Negara Bebas Pajak, Solusi Bagi Orang Kaya Tukang Nunggak
Jadi Objek Pajak ‘Sedjak 1983’
Menurut penuturan Staff Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, gratifikasi lebih dahulu dikonotasikan sebagai fee bisnis swasta dalam konteks hubungan kerja. UU No 7 Tahun 1983 mewajibkan subjek pajak perorangan, tak terkecuali pegawai negara, untuk membayar atas gratifikasi mereka sebagai bagian dari pajak penghasilan. Jadi dulu semasa orde baru, gratifikasi itu wajar asal kamu taat pajak.
Jika mengacu pada Buku Saku Memahami Gratifikasi KPK (2014), Verhezen mengungkapkan adanya perubahan mekanisme pemberian hadiah pada masyarakat jawa modern. Pemberian tersebut digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi. Pemberian hadiah (Gratifikasi) dalam hal ini berubah menjadi cenderung ke arah suap.
Hingga akhirnya, setelah pemerintah mengesahkan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, gratifikasi yang tidak dilaporkan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Gratifikasi Tipikor vs Gratifikasi Pajak
Prastowo mengatakan ketentuan objek pajak gratifikasi yang terdapat pada UU Ciptaker berkaitan dengan hubungan kerja. Menurutnya, konsep penghasilan di Indonesia ini luas dan tidak melihat asal usul. Gratifikasi bisa dikenai dua ketentuan yaitu mengacu ke UU Tipikor dan UU Pajak Penghasilan.
Dalam kajian hukum, tumpang tindih aturan semacam kasus di atas dapat diselesaikan dengan asas lex specialis derogat legi generalis. Hukum yang lebih khusus dapat mengesampingkan hukum umum. Asas ini dapat berlaku dengan beberapa ketentuan, di antaranya aturan yang tumpang tindih harus sederajat serta harus pada lingkungan hukum yang sama.
Seperti kita tahu, aturan pemberantasan tindak pidana korupsi dan perpajakan merupakan aturan yang sederajat, yaitu undang-undang. Namun, korupsi dan pajak bukanlah lingkungan hukum yang sama. Pajak gratifikasi mungkin hal wajar, tapi menjadi pelanggaran serius kala dibawa ke dalam ranah tipikor.
Sebetulnya sering kita temui permasalahan apakah akan dibawa ke perpajakan atau tipikor. Seperti tidak membayar pajak kendaraan bermotor. Secara literal, kita merugikan keuangan negara karena tidak bayar pajak dan sudah memenuhi unsur pasal 2 tipikor. Tapi secara yuridis, si pembuat UU jelas tidak punya maksud agar si pelaku yang ngeyel gamau bayar pajak ini dipakaikan rompi oranye KPK.
Lalu jika ditarik pada perpajakan, apa yang sebenarnya pembuat UU Ciptaker inginkan terkait gratifikasi? Jawabannya ada di poin d Pasal 3 UU Ciptaker, menyesuaikan aturan-aturan agar investasi dan proyek pembangunan nasional meningkat. Heuheu.
Aset Gratifikasi Harusnya Disita, Bukan Dipajakin
Untuk meningkatkan pendapatannya, negara tentu tidak hanya mengandalkan pajak sebagai sumber utamanya. Negara juga memiliki pendapatan yang bukan pajak kok, wisata premium komodo misalnya.
Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2019 mengatur, barang serta uang rampasan oleh KPK, termasuk gratifikasi, merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kemudian menurut Permen Keuangan Nomor 03/PMK.06/2010 barang gratifikasi tersebut dikelola lalu dilelang ke masyarakat umum.
Saya yakin beberapa dari barang tersebut adalah barang branded, lumayan juga pasti kan yang minat. Kalaupun gak laku toh masih bisa dimanfaatin lagi. Pokok statusnya masih milik negara dan negara tetap untung dari pemasukan barang gratifikasi tersebut.
Melihat sogeh-nya pendapatan bukan pajak, terus gratifikasi masih mau dipajakin juga. Biar apa, sih? (zen/whd)