Sawit Bukan Tanaman Hutan

Sawit Bukan Tanaman Hutan

sawit bukan tanaman hutan apakah sawit termasuk pohon apakah pohoon sawit bisa menyerap air

DAFTAR ISI

Kelapa sawit sering kali diperlakukan seolah olah ia bagian dari hutan hanya karena bentuknya menyerupai pohon dan tumbuh berjejer rapat. Namun dalam konteks ekologis dan tata lingkungan Indonesia, sawit bukan pohon hutan. 

Tanaman ini adalah komoditas perkebunan yang dirancang untuk produksi minyak, bukan untuk menjaga fungsi ekologis sebagaimana hutan alam. Memahami perbedaan ini penting, terutama ketika isu perubahan tata guna lahan, konservasi, dan keberlanjutan kembali dibicarakan.

Hutan memiliki ciri khas yang tidak bisa digantikan oleh kebun. Hutan berisi beragam jenis pohon yang berbeda ketinggian, struktur, dan fungsi. Di dalamnya hidup berbagai hewan, mikroorganisme, hingga tumbuhan bawah yang menjaga siklus nutrisi dan air tetap berjalan sehat. 

Ketika sebuah area hutan diganti dengan satu jenis tanaman, fungsi ekologis yang rumit itu menyusut drastis. Inilah inti dari pernyataan bahwa sawit bukan pohon hutan.

Kebun sawit bukan hutan

sawit bukan tanaman hutan
unsplash/lingchor

Dalam regulasi Indonesia, hutan memiliki definisi yang jelas: kawasan yang ditumbuhi pepohonan dan memiliki fungsi tertentu, baik sebagai hutan lindung, hutan produksi, maupun konservasi. 

Pemerintah sudah menegaskan perlunya membedakan perkebunan sawit dari hutan. Sikap ini terlihat jelas dalam sejumlah kebijakan, termasuk Permen LHK P.23/2021 yang tidak memasukkan kelapa sawit sebagai jenis tanaman untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Keberadaan pepohonan saja tidak cukup untuk menyebut sebuah kawasan sebagai hutan. Hutan memiliki keanekaragaman hayati tinggi, tutupan vegetasi berlapis, dan ruang hidup yang stabil untuk berbagai spesies.

Kebun sawit tidak memiliki karakter ini. Di perkebunan sawit, satu jenis tanaman mendominasi. Struktur vegetasinya seragam dan rapat, tanpa lapisan kanopi yang berjenjang seperti di hutan alam. Kehadiran flora dan fauna pun terbatas karena sedikit ruang bagi spesies lain untuk bertahan. 

Ketika hutan diubah menjadi kebun sawit, keanekaragaman hayati menurun tajam. Populasi satwa yang membutuhkan habitat spesifik kehilangan rumah, sementara tanah dan mikroorganisme yang biasa bekerja dalam ekosistem hutan ikut terganggu.

Selain itu, kebun sawit tidak menjalankan fungsi hidrologis sebagaimana hutan. Hutan membantu menjaga kelembapan, mencegah erosi, dan mengatur aliran air. Ketika satu bentang hutan luas digantikan tanaman monokultur, keseimbangan ini rentan berubah. 

Inilah alasan mengapa para peneliti sering menekankan bahwa kebun, sebaik apa pun pengelolaannya, tidak bisa menggantikan fungsi hutan.

Persoalan lainnya, sebagaimana dicatat Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), sekitar 3,2 juta hektar mengalami deforestasi karena ekspansi dan pembukaan lahan untuk kebun sawit.

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, mengatakan kalau sawit juga pohon (dan hutan) karena memiliki daun. Pernyataan itu sebagian kecil tepat, tetapi konteksnya tidak jelas.

Menyamakan semua yang memiliki daun sebagai pohon kurang tepat, apalagi mendudukkannya sebagai hutan. Ini berpotensi mengingkari proses pembentukan hutan Indonesia yang sudah berjalan ribuan tahun.

Di lain sisi, hutan Indonesia juga diakui sebagai bentuk keanekaragaman hayati dan rumah bagi banyak sekali spesies fauna. Kebun sawit tidak memiliki karakteristik yang sama.

Apakah pohon sawit bisa menyerap air

Sawit Bukan Tanaman Hutan - sawit
Mongabay/Elvizadian

Pertanyaan lain yang sering muncul adalah apakah pohon sawit mampu menyerap air seperti pohon hutan. 

Jawabannya: sawit memang menyerap air, tetapi kapasitas dan karakteristiknya berbeda dari pohon hutan. 

Tanaman sawit membutuhkan air cukup banyak untuk berproduksi dengan baik. Namun cara ia menyerap air tidak menyamai peran hidrologis yang dijalankan hutan alam.

Banyak orang mengira sawit menyedot air secara berlebihan hingga membuat tanah kering. Penjelasan sebenarnya lebih teknis. Sawit menyerap air sesuai kebutuhan fisiologisnya, tetapi ketika tanaman ini ditanam dalam area luas dan seragam, dampaknya pada cadangan air tanah bisa lebih terasa. 

Perubahan struktur vegetasi menjadi monokultur membuat tanah kehilangan variasi tanaman yang biasanya membantu menjaga kelembapan dan memperlambat limpasan air saat hujan.

Akar sawit

Untuk memahami kemampuan penyerapan air sawit, kita bisa melihat struktur akarnya. Sawit memiliki akar serabut yang menyebar ke segala arah pada lapisan tanah bagian atas. 

Akar ini memang efisien menyerap air di permukaan, tetapi mereka tidak menembus terlalu dalam seperti akar banyak pohon hutan. 

Akar pohon hutan masuk ke lapisan lebih dalam dan berkontribusi pada stabilitas tanah, pengaturan air, serta penyimpanan karbon. Akar pohon hutan menjaga tanah jauh lebih baik.

Akar sawit yang dangkal berarti penyerapannya lebih bergantung pada air permukaan. Dalam jumlah besar, hal ini membuat area perkebunan luas memerlukan ketersediaan air permukaan yang stabil. Jika curah hujan menurun atau tata guna lahan di sekitarnya berubah, potensi kekeringan lokal dapat meningkat. 

Di sisi lain, hutan dengan berbagai jenis pohon memiliki sistem akar berlapis yang membantu menahan air hujan, menyimpannya, dan melepaskannya perlahan.

Dengan memahami sifat akar sawit, kita juga memahami mengapa perkebunan sawit tidak bisa menggantikan fungsi ekologis hutan. 

Sawit tetap penting bagi ekonomi, namun secara ekologis ia tidak memenuhi peran yang sama.

Pada akhirnya, pembahasan mengenai sawit bukan tentang menyalahkan satu komoditas. Yang penting adalah memahami konteks. 

Kebun bukan hutan, dan struktur sawit, termasuk sistem akarnya, menunjukkan alasan ekologis di balik perbedaan itu. 

Baca Juga
bencana nasional yang pernah terjadi di indonesia
bisakah pohon mencegah banjir
apakah pohon sawit bisa mencegah banjir
dampak deforestasi terkait banjir

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel