Sediksi – Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak lahir hingga sepanjang hayatnya.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi dan sumber hukum tertinggi di Indonesia mengatur HAM warga negaranya melalui pasal 27 ayat 2 dan pasal 28A-28I.
Di bawah hierarki UUD 1945, ada dua undang-undang Republik Indonesia (UU RI) yang secara umum mengatur tentang HAM yaitu UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
HAM dalam UUD 1945
UUD 1945 sebagai sumber hukum pokok di Indonesia, berdasarkan amandemen ke-II pasal 27 ayat 2 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Selanjutnya, HAM warga negara Indonesia dirangkum pada Bab XA tentang HAM berdasarkan amandemen UUD 1945 tahun 2000 yang berisi pasal 28A-28J.
Pasal 28A menyampaikan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidupnya.
Sementara pada pasal 28B-28I UUD 1945 menyebutkan hak-hak setiap orang yang meliputi,
- Hak untuk hidup berkeluarga.
- Hak anak untuk dilindungi dan tidak didiskriminasi.
- Hak untuk mendapat pendidikan.
- Hak mendapat jaminan dan kepastian hukum.
- Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
- Hak untuk mendapat status kewarganegaraan.
- Hak untuk memeluk agama dan beribadah.
- Hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
- Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta menyampaikan informasi melalui saluran media yang ada.
- Hak untuk mendapat perlindungan, bebas dari penyiksaan dan diskriminasi.
- Hak atas hidup sejahtera, bertempat tinggal, mendapat lingkungan yang baik, dan pelayanan kesehatan.
- Hak penghormatan atas identitas budaya dan masyarakat tradisional.
Khusus pasal 28J disebutkan tentang batasan dan kewajiban masing-masing individu untuk menghormati HAM individu lainnya sesuai ketertiban yang ada dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Baca Juga: Apa itu Hak Asasi Digital? Ini Penjelasannya
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
UU tentang HAM disahkan oleh Presiden Bachruddin Jusuf Habibie pada tanggal 23 September 1999.
Rangkuman isi dari UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM inilah yang dicantumkan pada UUD 1945 amandemen atau perubahan kedua Bab XA tentang HAM.
Perubahan kedua UUD 1945 baru dilakukan di periode kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan disahkan MPR tanggal 7-18 Agustus 2000.
Secara garis besar UU No 39 Tahun 1999 merinci hak-hak warga negara yang disebutkan pada UUD 1945.
Spesifik pada bagian kesembilan, UU ini menyebutkan hak-hak wanita meliputi hak berpolitik, keterwakilan perempuan di pemerintahan, mengenyam pendidikan, serta berkeluarga.
Selain mengatur tentang hak dasar hidup manusia, UU No 39 Tahun 1999 juga mengatur kembali tentang Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan pembentukan Pengadilan HAM.
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengesahkan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada tanggal 23 November 2000.
UU RI tersebut dibentuk dengan tujuan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat sesuai ketentuan yang diatur pasal 401 ayat 1 UU No 39 Tahun 1999.
Melalui UU ini dijelaskan mengenai kedudukan pengadilan HAM, lingkup kewenangannya, hukum acara, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga sidang untuk menuntut pelaku pelanggaran HAM.
Hak korban dan saksi serta jaminan akan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi juga disebutkan pada UU ini.
Selain itu, pada Bab VIII pasal 43 dan pasal 44 diatur terkait Pengadilan Ad Hoc untuk menyelesaikan kasus HAM berat yang terjadi sebelum UU ini berlaku.
UU RI ini juga mencakup definisi genosida dan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran berat atas HAM.
Namun, berdasarkan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Badan Pemeriksa Keuangan (JDIH BPK), status UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dicabut sebagian karena pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Beberapa pasal yang dicabut antara lain pasal 8 tentang definisi genosida dan pasal 36 tentang hukuman untuk pelaku yang terbukti melakukan genosida.
Kedua pasal tersebut lalu diatur lagi pada UU Nomor 1 Tahun 2023 KUHP yaitu pada Bab XXXV Tindak Pidana Khusus, bagian kesatu Tindak Pidana Berat terhadap HAM, pasal 593 poin a-e tentang genosida.
Selain dua pasal tersebut, KUHP baru juga mencabut pasal 9 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan pasal 37-40 dari UU No 26 Tahun 2000 yang meregulasi hukuman pidana pelaku yang dinyatakan bersalah.
Sebagai gantinya, diatur pada UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru pada pasal 599 poin a-d tentang tindak pidana terhadap kemanusiaan.
Sayangnya KUHP baru mereduksi tindakan yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan di pasal 9 UU No 26 Tahun 2000.
Sebagai contoh kecil, pada pasal 599 UU No 1 Tahun 2023 yang menggantikan pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, tidak ditemukan tindak penghilangan orang secara paksa sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pro-kontra hukuman mati dalam penegakan HAM
Mengutip website resmi DPR, UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP mengatur tentang hukuman pidana mati yang diancamkan secara alternatif atas pelaku tindak pidana khusus.
Langkah tersebut diambil sebagai jalan tengah karena adanya pro-kontra penerapan hukuman mati di Indonesia.
Artinya, pidana mati merupakan pidana perkecualian yang putusannya sebisa mungkin dihindari oleh hakim.
Tindak pidana khusus yang bisa diancam hukuman mati berdasarkan KUHP baru antara lain pelaku yang terbukti bersalah dalam kasus narkotika, terorisme, korupsi, dan pelanggaran berat terhadap HAM.
Masih berlakunya hukuman mati di KUHP Indonesia dikritik oleh pegiat HAM karena dianggap bertentangan dengan penegakan hak dasar manusia untuk hidup dan memertahankan kehidupannya.
UU terkait HAM lainnya
Selain dua UU RI tentang HAM dan Pengadilan HAM, pemerintah membuat beberapa UU yang lebih khusus terkait HAM, diantaranya bisa dicermati pada tabel berikut.
Isu HAM | Peraturan |
Hak dasar mendapat pelayanan kesehatan reproduksi | UU Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi |
Hak dasar dan perlindungan anak | UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak |
Hak perlindungan dari tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) | UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT |
Hak korban akibat tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) | UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS |
Hak mendapat pelindungan dalam bekerja untuk Pekerja Migran Indonesia | UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI |
Hak warga memperoleh pekerjaan, kesehatan, pendidikan. | UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibuslaw Ciptaker) |
Hak bebas dari diskriminasi rasial | UU Nomor 29 Tahun 1999 mengenai Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 |
UU Nomor 8 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis | |
Hak warga difabilitas/disabilitas | UU Nomor 19 Tahun 2011 Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas |
UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas |