Sediksi.com – Seorang laki-laki usia 26 tahun berkewarganegaraan Indonesia dipenjara di Prefektur Tochigi, Tokyo bagian utara karena diduga mengemudi tanpa surat izin sejak Oktober 2023.
Pada 25 Januari 2024, media Jepang memberitakan kematiannya yang diduga karena sakit.
Polisi mengatakan berupaya menentukan penyebab kematiannya
Menurut pernyataan polisi, sebelumnya laki-laki tersebut sudah mengeluh tentang masalah kesehatan yang dideritanya dan menemui dokter.
Tapi mereka tidak merespon keluhan tersebut dengan serius dan memutuskan laki-laki tersebut tidak membutuhkan rawat inap. Keputusan tersebut didasarkan pada hasil pemeriksaan kesehatan.
Sampai akhirnya laki-laki tersebut dibawa ke rumah sakit setelah dokter yang bertugas di Kantor Polisi Sano untuk pemeriksaan kesehatan rutin, menemukannya sudah kesulitan untuk mempertahankan fokus dan badannya membengkak pada Rabu siang, 24 Januari 2024.
Ketika dibawa ke rumah sakit, laki-laki tersebut sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Hari Kamis, 25 Januari 2024 pukul 2.50 dini hari waktu setempat, laki-laki tersebut diumumkan meninggal.
Terkait kasus ini, kepala kantor polisi di daerah tersebut buka suara. Yoshinori Mimori mengatakan bahwa dia yakin polisi telah menangani situasi ini dengan tepat dan pihak kepolisian masih berupaya untuk menentukan penyebab kematiannya.
Diketahui, laki-laki tersebut adalah pekerja paruh waktu dari Indonesia yang tinggal di Prefektur Gunma, yang berjarak 136 km dari Tokyo atau sekitar 2,5 jam perjalanan dengan mobil.
Problematika polisi di Jepang
Masalah racial profiling di Jepang cukup signifikan, tidak untuk pemerintahnya
Selama beberapa tahun belakangan, banyak orang yang berasal dari luar negeri dihentikan oleh polisi Jepang. Kasus ini menimpa mulai dari pekerja asing di Jepang, sampai dengan turis.
Tingginya angka kejadian ini, memunculkan kekhawatiran baru bagi orang asing yang datang ke Jepang. Karena mereka berisiko mengalami racial profiling.
Racial profiling atau profil rasial/etnis yang bisa juga disebut sebagai sikap rasialis dalam hukum adalah tindakan mencurigai, menargetkan, atau mendiskriminasi seseorang berdasarkan ras, etnis, atau identitas tertentu dan bukan dari bukti yang tersedia. Dalam hukum, tindakan ini sering menjadi kontroversial karena dapat memunculkan isu diskriminasi dan ketidaksetaraan.
Beberapa kasus yang terjadi di Jepang, banyak orang keturunan asing di Jepang menjadi sasaran profil rasial oleh polisi karena penampilan mereka dan diskriminasi rasial yang tidak disadari oleh petugas.
Dalam survei yang dilakukan oleh sekelompok pengacara berbasis di Tokyo tahun 2022, sebanyak 63% dari total 1.094 responden mengatakan mereka telah dihentikan oleh polisi selama lima tahun terakhir.
Dari persentase tersebut, 73% telah ditanya berkali-kali oleh polisi. Sementara lebih dari tiga perempatnya mengatakan mereka tidak punya alasan untuk dihentikan selain karena berpenampilan asing atau berbicara dalam bahasa asing.
Orang-orang yang berasal dari Amerika Latin paling banyak diberhentikan polisi dengan persentase sebesar 84%. Kemudian Afrika 83%, Timur Tengah 76%, Amerika Utara dan Eropa 60%, dan Asia Timur Laut paling sedikit meskipun persentasenya masih 50%.
Kendati isu ini sudah meluas dan mengancam keamanan orang asing di Jepang, tapi tidak banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki masalah ini.
Karena para polisi dan pemerintah Jepang sendiri juga tidak merasa tindakan mereka sebagai bentuk rasisme. Sehingga masalah yang muncul dari isu ini cenderung tidak ditindaklanjuti secara serius.
Sistem hostage justice Jepang
Sistem ini merupakan salah satu problematika pengadilan di Jepang yang bahkan sudah menjadi perhatian khusus Human Rights Watch.
Sistem hostage justice atau hitojichi-shiho dalam bahasa Jepang mencerminkan bahwa tersangka sering kali ditahan sebelum persidangan dalam jangka waktu yang lama dan mendapatkan perlakuan yang sewenang-wenang dari polisi.
Lamanya proses ini terkadang hingga beberapa bulan atau lebih dari satu tahun yang dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan pengakuan terdakwa.
Sistem ini sudah dikenal luas dan bahkan punya namanya sendiri “enzai”, yaitu tuduhan palsu yang menyebabkan seseorang menjadi korban sistem peradilan ini.
Enzai dideskripsikan dalam sebuah majalah sebagai bahkan jika terdakwa tidak bersalah, tetap akan diperlakukan seperti pelaku kejahatan. Itulah enzai.
Jika seseorang menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyatakan dirinya tidak bersalah, mereka akan mendapati tembok keadilan semakin tebal dan sulitnya mewujudkan keadilan yang murni.
Sekalipun memenangkan putusan tidak bersalah, waktu yang dicuri dari terdakwa tidak akan pernah kembali. Orang tersebut mungkin kesulitan untuk memulihkan stabilitas pekerjaan, keluarga, teman, hingga keuangan.