Sediksi.com – Nikel adalah salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Indonesia adalah negara penghasil nikel terbesar di dunia. Tidak heran, banyak investor dan pihak asing berlomba-lomba menggaet Indonesia untuk mendapatkan nikel.
Sejak 1 Januari 2020, Indonesia memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel dan melaksanakan hilirisasi nikel. Sejak itu juga, pihak asing tidak berhenti mengusik kebijakan tersebut. Termasuk diminta IMF untuk menghapuskan kebijakan tersebut, sampai dengan digugat oleh WTO.
Indonesia kalah dari WTO dalam sengketa larangan ekspor nikel
Desember 2022 lalu, Indonesia kalah dari sengketa larangan ekspor nikel yang digugat oleh World Trade Organization (WTO). Kemudian, Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan Indonesia akan mengajukan banding atas putusan tersebut.
Berdasar putusan yang ditetapkan pada 17 Oktober 2022, kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia tidak sesuai dengan peraturan WTO.
“Putusan ini sudah jelas bahwa larangan ekspor nikel Indonesia tidak sesuai dengan peraturan WTO,” komentar Valdis Dombrovskis, Wakil Presiden Eksekutif dan Komisaris Perdagangan Uni Eropa dalam pernyataannya pada 30 November 2022.
“Saya harap Indonesia mematuhi peraturan WTO dan menghapus segala persyaratan dari Indonesia dengan segara. Uni Eropa mendukung hak semua negara atas pembangunan ekonomi, tapi bukan berarti memberikan hak untuk mengesampingkan peraturan WTO.”
IMF meminta Indonesia mengkaji ulang larangan ekspor nikel
Baru-baru ini, giliran International Money Fund (IMF) yang meminta Indonesia untuk mengkaji ulang larangan ekspor nikel, bahkan menghentikan peraturan tersebut.
IMF melancarkan pernyataan tersebut dalam dokumen “IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia.”
Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi merespon hal ini dengan mengatakan akan menemui IMF di Washington.
“Saya mau jelasin sama dia dan sudah pernah jelasin sama dia dulu. Ya saya mau bilang sama dia apa salah yang kami buat? Apa kami salah buat diri kami sehat dulu, baru orang lain,” ucapnya dikutip dalam acara Economic Update CNBC Indonesia yang diselenggarakan pada hari Senin (10/7).
“Ngapain kami nolong negara-negara maju, orang kalian sudah maju kok. Kami dijajah 350 tahun, kalian kan nggak pernah dijajah,” lanjutnya.
Selain berjanji bertemu di Washington, IMF juga setuju untuk berkunjung ke Indonesia atas undangan presiden selama tiga hari setelah bulan Agustus.
Tiga hari sebelumnya, Arifin juga memberikan komentar yang sama terkait permintaan IMF, “jangan dong.”
“Ini barang enggak bisa diperbarui. Jadi kalian mau dapat apa dong? Kita berjuang untuk masa depan,” ucapnya saat ditemui wartawan di Kementerian ESDM Jakarta pada hari Jumat (7/7).
Kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia dan hilirisasi akan terus berjalan. Jika Indonesia digugat lagi soal nikel, “bagaimana lagi, kita harus mempertahankan semaksimal mungkin.”
Apresiasi untuk kebijakan Indonesia
Meski sudah kerap kali mendapat kritik sampai kalah gugatan dari pihak asing sekalipun, Indonesia masih berusaha mempertahankan kebijakan tersebut.
Ketidak goyahan pendirian Indonesia atas masalah ini mendulang apresiasi dari pihak asing lainnya seperti Australia dan Papua Nugini, khususnya terkait hilirisasi nikel. Pernyataan tersebut diklaim oleh Luhut melalui tweetnya pada Kamis lalu (6/7).
Apresiasi positif juga datang dari pihak dalam negeri.
“Kebijakan hilirisasi sudah berjalan dengan baik. Terutama di sektor mineral, beleid tersebut berhasil meningkatkan investasi dan nilai tambah ekspor hasil pengolahan mineral,” ucap Fathul Nugroho, Ketua Maritim, Kelautan, dan Perikanan Badang Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi)
“Pemerintah harus berani dan siap menghadapi pihak luar negeri yang kontra kebijakan tersebut, termasuk IMF,” lanjutnya dalam wawancaranya kepada wartawan pada Sabtu lalu (1/7).
Di samping apresiasi, kritik terhadap kebijakan nikel Indonesia ini juga datang dari dalam negeri.
“Sebenarnya hilirisasi tidak masalah, tapi cara hilirisasi perlu dievaluasi. Soal model proteksi datang lewat pelarangan total bijih nikel memicu retaliasi atau balasan dari negara mitra dagang,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS kepada Kumparan pada Minggu (9/7).
Direktur dari lembaga riset ekonomi dan hukum tersebut juga juga melanjutkan, “pelarangan total ekspor juga tidak sejalan dengan upaya pemerintah misalnya di berbagai forum internasional untuk mendorong kerja sama perdagangan.”
Hal ini dikarenakan Indonesia belum bertindak untuk potensi adanya ekspor nikel ilegal karena lemahnya pengawasan dan pemberian intensif pajak saat ini dinilai kurang tepat sasaran.
Hilirisasi nikel adalah kebijakan Indonesia untuk mengolah bijih nikel hingga menjadi produk akhir sehingga bisa diperdagangkan dengan nilai dan harga yang lebih tinggi.
Pada umumnya, nikel digunakan untuk bahan pembuatan stainless steel, koin, rangka otomotif, baterai isi ulang, pembuatan kawat, pelapis anti karat, dan campuran pada besi baja.