Sediksi.com – Dingin di malam hari menyeruak memadati dapur, perlahan menjadi hangat berkat gegeni – penghangat badan di depan tungku api tradisional. Terlihat Wita Artatik, masih saja sibuk menyiapkan aneka sesajen yang harus ia bawa di acara Nyadran pada esok harinya, Senin (7/8), meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Nyadran menjadi rangkaian berakhirnya Hari Raya Adat Karo bagi masyarakat Tengger sebelum mulihe ping pitu, di Desa Jetak, Kecamatan Sukapura, Probolinggo.
Sebelum Nyadran berlangsung, ada begitu banyak proses yang harus dilakukan Wita, panggilan akrabnya. Selain menyiapkan sesajen, ia juga harus menyiapkan persembahan kepada leluhur sebagai ungkapan bakti kepada leluhur yang sudah meninggal.
Sembari menyiapkan masakan, wanita berusia 32 tahun itu dibantu suaminya, Ocek membuat takir untuk sesajen. Takir itu berisikan aneka masakan seperti nasi, iwak (daging sapi) dan mie. Sementara, di bagian atas takir diletakkan jajanan seperti pisang, roti kukus dan jajan pasar.
Barulah, esoknya Wita menyiapkan masakan yang akan dihaturkan kepada leluhur. Persembahan itu tidak ada menu khusus. Wita sendiri mengaku bahwa tidak ada ketentuan dalam sesembahan tersebut.
“Apa aja sih, tergantung dari kita sendiri, ada lauk yang seperti kita makan, ada eseng-eseng, telur kayak gitu sama kue juga ada, terserah nggak harus ini nggak harus itu,” jelasnya.
Kunci Ikhlas dalam Nyadran
Sebelum melakukan Nyadran ke makam leluhur, ada rangkaian proses yang harus dijalani Wita dan keluarga.
Sesembahan yang sudah ia tata di meja dapur itu, tertata rapi aneka jajanan dan masakan. Di antaranya, ada nasi berjumlah tujuh, makanan dan jajanan.
Bagi Wita, niat memberikan sesembahan kepada leluhur itu harus ikhlas. Meski dirinya sudah begadang selama beberapa hari dalam pelaksaan Hari Raya Adat Karo, terlihat masih penuh semangat menyiapkan sesajen dan sesembahan kepada leluhur.
“Penting intinya harus ikhlas, kita memberikan niatnya kepada leluhur yang sudah tiada,” ungkapnya.
Sementara, ada yang menarik dari sesembahan tersebut. Terlihat ada gedang ayu (jenis pisang) dengan uang di atasnya.
Gedang ayu bagi masyarakat Tengger dipercaya sebagai rumahnya leluhur. Bersamaan dengan gedang ayu ada juga suruh ayu dan jambe ayu sebagai bentuk untuk mengundang leluhur datang.
Masyarakat Tengger sendiri memang sangat percaya terhadap leluhur. Selama Hari Raya Karo, mereka melibatkan leluhur sebagai “yang harus dihormati dan didoakan”.
Sementara, uang kertas dan koin receh yang berada di gedang ayu disebut dengan sesari. Sesari inilah yang dilambangkan sebagai cara masyarakat Tengger meminta maaf apabila selama tradisi Hari Raya Adat Karo, mereka memiliki kesalahan dan kelalaian.
Di sesembahan itu, ada juga kemenyan yang sebelumnya sudah diberi mantra-mantra oleh dukun pandhita.
Suami Wita, sebelumnya sudah pergi ke rumah dukun padhita untuk meminta doa dan dibawakan kemenyan.
Ocek, lalu memimpin doa bersama usai membawa kemenyan tersebut. Di belakangnya ada Wita dan anaknya, Utari mengikuti.
Doa dan sesembahan itu bermaksud untuk memberi tahu leluhur bahwa ada Nyadran. Perkakas itu juga berfungsi untuk mengumpulkan roh leluhur jika mereka diundang ke rumah pemilih hajat. Mereka dibimbing untuk berkumpul bersama keluarganya.
Ada Harapan dan Doa dalam Memaknai Nyadran
Selepas itu, tibalah nyekar ke makam leluhur. Wita bersama Ocek dan anaknya pergi bersama-sama ke makam umum Desa Jetak, sembari membawa kembang dan sesajen.
Mereka mengikuti tradisi Nyadran ini dengan khidmat. Sembari menunggu proses memberikan sesajen dan menaburkan kembang, dukun pandhita dan jajaran petinggi desa memberikan sambutan.
Barulah, berlanjut pada rangkaian di mana Wita, begitu juga masyarakat Desa Jetak yang lainnya memberikan sesajen di makam leluhur dan menaburkan kembang.
Bagi Wita, Nyadran tidak hanya sekedar tradisi, tetapi juga ada harapan dan doa yang ia bawa pada Hari Raya Adat Karo ini.
“Kita berharap sama yang kuasa itu, mudah-mudahan kita diberi kelancaran, kesehatan terus kita bisa mendoakan leluhur yang sudah tiada,” ungkapnya.
Ia juga mendoakan leluhur agar mendapatkan tempat yang layak.
“Semoga leluhur itu bisa diberikan tempat yang layak di sisi Sang Hyang Widi, terutama kita meminta maaf kepada leluhur bila ada sesuatu yang kurang (selama tradisi Hari Raya Karo) dari leluhur,” imbuhnya.