Mencari Kontrakan, Mencari (R)uang: Sebuah Refleksi Pengalaman

Mencari Kontrakan, Mencari (R)uang: Sebuah Refleksi Pengalaman

Kontrakan di Malang
1. Mencari Kontrakan Fadrin Fadlan min

Refleksi mahasiswa tingkat akhir yang merasakan sulitnya mencari kontrakan di Kota Malang yang mulai padat oleh bangunan-bangunan.

Bagi mahasiswa rantau, ada beberapa pilihan tempat tinggal sementara selama mejalani masa studi di kota rantaunya. Bisa berupa kos-kosan, tinggal bersama kerabat yang kebetulan tinggal di kota yang sama, tinggal di apartemen, dibelikan rumah, tinggal di sekret organisasi, dan terakhir ngontrak. Khusus yang terakhir, saya merasakan betapa mulai sulitnya cari kontrakan di Malang.

Sebagai tulisan perdana saya di blog sediksi, saya ingin berbagi pengalaman atau lebih tepatnya merefleksikan pengalaman saya bersama tiga rekan saya mencari rumah kontrakan yang layak ditinggali. Pengalaman dan proses pencarian kontrakan membuat saya sadar, betapa susahnya mencari ruang privasi yang murah dan layak di dekat lokasi strategis (pusat kota, pusat pendidikan, pusat perbelanjaan, atau pasar).

Bagaimana pemerintah kota mau menyediakan ruang privasi yang murah, ruang publik di Malang saja sudah dilacurkan kepada minuman isotonik, rokok, dan krim pelembut kulit. Ya, di era otonomi daerah, ruang sudah jadi komoditas bagi pemerintah setempat. Hal yang lazim, saya kira, terjadi di berbagai kota-kota besar Indonesia.

Logika Pembangunan dan Sulitnya Mencari Kontrakan di Malang

Radhar Panca Dahana, kolumnis kondang, dalam orasi budayanya di FISIP UB pertengahan Desember lalu, menyebutkan bagaimana makna kata “ruang” direduksi sedemikian rupa oleh logika kapitalis, kehilangan huruf “R”-nya.

Tanpa dana berlebih, jangan harap mahasiswa bisa mendapat kontrakan atau kos-kosan,  yang dekat kampus, dekat Mall, apalagi yang ada parkiran mobilnya. Tak terkecuali ketika kita sedang mencari rumah kontrakan di Malang.

Saya dan rekan mengurungkan niat mencari kontrakan di sekitaran kampus atau pusat Kota Malang karena keterbatasan dana. Orang-orang seperti kami hanyalah beban bagi kota, seperti halnya tukang becak, pemulung, tukang bakso, dan buruh-buruh pabrik yang sudah berkeluarga. Tidak ada tempat yang layak bagi kami untuk menikmati, apalagi sampai menempati ruang-ruang dalam kota.

Okey mungkin tadi agak lebay, karena saya belum pernah merasakan bagaimana harus bertempat tinggal di pinggir rel kereta, di bawah kolong jembatan, atau harus berbagi ruang dengan jiwa-jiwa yang tenang di tempat pemakaman. Sempat terpikirkan mencari kontrakan di Malang saja begini susahnya, apalagi mencari rumah bersama pasangan hidup nanti.

Singkat kata, saya bersama rekan bersepakat mencari kontrakan di derah pinggiran, daerah pedesaan.  Daerah yang jauh dari peradaban kota besar, ditandai dengan jauhnya letak Indomaret dan Alfamart dari lokasi kontrakan. 

Perjalanan mencari kontrakan membawa saya dari satu batas ujung Malang ke batas ujung lainnya. Dari Gadang, Kedungkandang, Pendem, hingga Karanglo. Dari proses pencarian itu saya mengetahui, hanya secara dangkal dan permukaan saja tanpa dasar ilmu planologi yang jelas, bagaimana arah pembangunan dan perkembangan Kota Malang nantinya.

Pembangunan Kota Malang semakin melebar ke arah Kabupaten Malang, saya melihatnya karena harga rumah dan kontrakan sana hampir sama dengan harga rumah dan sewa rumah di pusat Kota Malang dan tiap tahun harga akan semakin naik. Juga daerah Gadang semakin banyaknya lahan-lahan yang dibuka dan dialihfungsikan sebagai satu dari banyak kawasan perumahan di Malang.

Dan jangan juga menutup mata bagaimana perkembangan Kabupaten Malang, khususnya Kepanjen. Belajar dari pengalaman, berkembang pesatnya Kota Batu, membuat harga tanah dan property daerah Malang menuju Batu menjadi naik, bahkan satu Mall sudah berdiri di sana, berbagi dinding dengan satu universitas swasta yang cukup besar di Malang. Grand Petruk Palace.

Hampir tiga bulan mencari, usaha keras tak mengkhianati. Yakusa! Begitu kata salah satu kawan kontrakan saya yang kebetulan anggota dari Himpunan Mahasiswa Islam alias HMI.

Berkat platform jual beli online di facebook, kami akhirnya mendapat rumah kontrakan yang cukup murah. Lebih tepatnya sangat murah, terutama bagi anak-anak konglo.

Saking murahnya masing-masing dari kami hanya iuran kurang dari satu juta rupiah. Setidaknya setahun ke depan jika tidak ada kabar kelulusan kami masih memiliki tempat berteduh.

Rumahnya sederhana, terdiri dari dua kamar, satu dapur, satu ruang tamu, satu ruang tengah (foto ruanganya menjadi header picture blog ini), dan satu kamar mandi. Berlokasi di Dusun Balong, Karanglo, Kabupaten Malang. Akan menyulitkan petugas Pos Indonesia atau kurir JNE mencari kontrakan kami, tak ada alamat lengkap dan nomor rumah yang jelas. 

Kami berharap ini menjadi ruang terakhir kami untuk melepas status mahasiswa kami. Kami tidak sedang bercanda.

Penulis
sdk-men-placeholder

Fadrin Fadhlan Bya

Berkacamata dan pemakai ear hook. Banyak yang bilang mirip Sholeh Sholihun.
Opini Terkait
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel