Sediksi.com – Tragedi Semanggi II turut menjadi peristiwa kelam bagi masa lalu bangsa Indonesia.
Salah satu kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ini lagi-lagi menjadi bukti kesewenangan aparat dalam “menertibkan masyarakatnya”.
Di bulan September 2023 ini, kita akan mengenang 24 tahun Tragedi Semanggi II. Peristiwa kelam meninggalnya seorang mahasiswa dan warga biasa itu terjadi pada 24 September 1999 silam.
Ketika itu, ratusan mahasiswa dan warga melakukan demonstrasi turun ke jalan di kawasan Semanggi untuk menuntut disahkannya RUU PKB.
Bagaimana kronologi tragedi Semanggi II ini terjadi? Siapa saja yang terlibat di dalamnya dan bagaimana perkembangan kasusnya hingga saat ini?
Simak penjelasannya dalam artikel berikut ini.
Kronologi
Peristiwa Semanggi II ini terjadi karena ribuan mahasiswa, buruh, aktivis, dan warga biasa menolak keputusan DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB).
Mereka turun ke kawasan Semanggi, Jakarta Selatan. Sebenarnya aksi protes menentang RUU PKB ini juga terjadi di Medan, Lampung dan sejumlah kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Banyak pihak menentang RUU PKB karena dinilai akan memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan kondisi tertentu sesuai kepentingan militer.
Undang-Undang tersebut dianggap juga akan membatasi gerakan sipil di ranah publik karena TNI atau militer bisa sewenang-wenang masuk dengan alasan menganggapnya sebagai keadaan bahaya.
Dalam aksinya, kasus Semanggi II ini juga menuntut pencabutan dwi fungsi ABRI.
Aksi demo ini sebenarnya sudah terjadi sejak awal September 1999. Akan tetapi, barulah sejak 22 September 1999, aksi demonstrasi itu semakin besar dan merata terjadi di seluruh Indonesia.
DPR yang bersikukuh untuk tetap mengesahkan RUU PKB itu, membuat masa ingin masuk ke Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta.
Alhasil aparat keamanan mulai menghadang mereka dan melakukan sejumlah tindakan brutal. Mereka mulai menembaki masa dengan gas air mata yang lalu dibalas mahasiswa dengan lemparan batu.
Para mahasiswa dan warga lainnya juga mulai digebuk, diinjak, dipukul, ditembaki peluru dan gas air mata tanpa henti.
Mulai 23 September 1999, korban pun terus bertambah. Puncaknya pada 24 September 1999, seorang mahasiswa melemparkan bom molotov serta batu.
Akibatnya, baju Pasukan Penindak Rusuh Masa (PRRM) terbakar di bagian punggung. Melihat itu, aparat langsung melakukan rentetan tembakan secara membabi buta hingga malam hari.
Bahkan tembakan brutal itu dilakukan di atas truk yang sedang melaju ke arah mahasiswa dan warga, akibatnya dua orang mahasiswa tewas.
Salah satunya bernama Yun Hap, mahasiswa semester 7 jurusan Elektro, Fakultas Teknik UI yang dinyatakan meninggal karena lubang tembakan di bagian punggung kiri atas.
Yun Hap terkena tembakan saat berada di depan Universitas Atma Jaya, yang lokasinya sekitar 3 km dari Gedung DPR/MPR Jakarta.
Dalam laporan amnesty, selain Yun Hap, total ada 11 orang tewas dan 217 lainnya mengalami luka-luka.
Siapa yang Terlibat?
Tragedi kelam yang terjadi setelah kejatuhan masa pemerintahan Soeharto itu, hingga kini masih menyisakan tanda tanya, siapa sebenarnya dalang atau pelaku dibalik peristiwa Semanggi Ii.
Sejumlah literatur tidak menyebutkan siapa sajakah yang harusnya bertanggung jawab bagi hilangnya 11 nyawa korban. Juga tidak jelas, siapa saja aparat yang sudah melakukan penembakan kepada para korban.
Sekali lagi, kasus ini menjadi rentetan kasus pelanggaran HAM sekaligus menunjukkan suramnya keadilan bagi para korban.
Perkembangan Kasus
Ketidakjelasan pemerintah dan pengadilan menangani tragedi Semanggi II terlihat usai DPR membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II (TTS) atas desakan mahasiswa dan keluarga korban.
Setahun kemudian, pansus yang juga menyelidiki kasus Semanggi II itu menyebut bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus tersebut.
Mahasiswa dan keluarga korban yang tidak puas dengan hasil dari tim pansus, akhirnya bersama-sama dengan Komnas HAM melakukan penyelidikan.
Penyelidikan ini memang dilakukan bersamaan dengan tragedi Trisakti dan Semanggi I, mengingat kasusnya sama-sama tidak diurus negara seadil-adilnya.
Hasilnya, ditemukan 50 perwira TNI/Polri yang terlibat dalam kasus penembakan dari ketiga tragedi tersebut.
Komnas HAM pun menyerahkan hasil penyelidikan kepada Kejaksaan Agung. Namun, setahun berlalu Kejaksaan Agung menolak hasil tersebut dengan alasan sudah disidangkan melalui pengadilan militer.
Adapun pengadilan militer itu hanya menjerat para pelaku di lapangan bukan pelaku utama.
Di masa kepemimpinan Presiden Jokowi, tragedi Semanggi II sama seperti kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang hingga kini tidak jelas penyelesaiannya.
Pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut peristiwa Semanggi II ditetapkan sebagai kasus yang tidak masuk pelanggaran HAM berat. Hal tersebut ia sampaikan saat menggelar rapat dengan Komisi III DPR di Jakarta.
Dalam kasus ini, negara sama saja mengubur keadilan bagi para korban dan keluarga korban. Sementara, tragedi Semanggi II dan kasus pelanggaran HAM berat lainnya akan terus diingat sebagai suramnya keadilan di negeri ini.