Sediksi.com – Empat tahun yang lalu, tepatnya September 2019 menjadi saksi bisu terjadinya aksi demo bertajuk “Reformasi Dikorupsi”.
Aksi yang berlangsung mulai 19 September, dan 23-30 September 2019 itu menjadi aksi terbesar mahasiswa setelah reformasi 1998.
Pada hari-hari tersebut, puluhan mahasiswa datang di gedung DPR dengan tuntuannya untuk menolak pembatalan revisi Undang-Undang KPK dan menolak mengesahkan sejumlah RUU yang dianggap bermasalah.
Tujuan Gerakan Reformasi Dikorupsi
Aksi nasional dengan tagar #ReformasiDikorupsi #RakyatBergerak #Tuntaskan Reformasi itu dipicu tidak hanya karena munculnya berbagai peraturan bermasalah oleh pemerintah dan DPR terkait revisi UU KPK, tetapi juga RKUHP.
Puluhan mahasiswa, aktivis, dan lapisan masyarakat lainnya membanjiri jalanan di sejumlah kota seperti Jakarta, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, dan beberapa kota besasr lainnya di Indonesia.
Total ada tujuh tuntutan dalam aksi skala nasional itu, di mana tujuan utama gerakan agar DPR dan pemerintah membatalkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang KPK, selanjutnya disingkat revisi UU KPK dan penghentian pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Berikut ini tujuh poin tuntutan dari aksi demonstrasi tersebut.
- Cabut dan kaji ulang RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU SDA; Terbitkan Perppu KPK; Sahkan RUU PKS dan PRT
- Batalkan Pimpinan KPK yang bermasalah pilihan DPR
- Tolak TNI-Polri untuk menempati jabatan sipil
- Stop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik Papua segera, serta membuka akses jurnalis di tanah Papua
- Hentikan kriminalisasi aktivis dan jurnalis
- Hentikan pembakaran hutan di Indonesia yang dilakukan oleh korporasi dan pidanakan korporasi pembakaran hutan serta cabut izinnya
- Tuntaskan pelangggaran HAM dan adili penjahat HAM termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan, pulihkan hak-hak korban segera.
Pada Kamis, 19 September 2019, para mahasiswa menggelar aksi damai di depan gedung DPR. Waktu itu, para mahasiswa meminta agar anggota DPR menemui mereka, tetapi justru ditolak.
Gelombang protes juga dilakukan melalui media sosial Twitter, sekarang X dengan tagar #ReformasiDikorupsi.
Insiden Kelam Reformasi Dikorupsi menjadi September Hitam
Aksi Reformasi Dikorupsi menambah rentetan kelam dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Pada 23-24 September 2019 di Jakarta, sudah sejak siang para mahasiswa datang ke kawasan Senayan, berada di sekitar Jalan Gatot Subroto, Slipi hingga pusatnya di depan gedung DPR.
Kala itu, puluhan mahasiswa dengan berbagai almamater datang meminta DPR untuk bisa mengabulkan ketujuh tuntutan aksi tersebut.
Sepanjang aksi, para mahasiswa terus solid menyuarakan suara tuntutan mereka. Mereka juga melantunkan lagu-lagu perjuangan.
Semakin malam, aksi mulai panas saat barikade polisi di gerbang DPR menembakkan meriam air di kerumunan masa aksi. Para mahasiswa justru semakin ingin maju dan berusaha merusak gerbang pintu masuk gedung DPR.
Saat itulah, polisi yang mulai menembakkan gas air mata membuat kericuhan semakin pecah.
Polisi juga mulai melayangkan pukulan, tendangan dan benda tumpul lainnya ke arah demonstran.
Mobil water cannon pun dirusak masa beserta berbagai fasilitas umum lainnya di sekitar DPR. Aksi itu juga membuat para korban berjatuhan.
Dalam laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut ada lima orang yang meninggal akibat aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019 lalu.
Di Jakarta ada tiga orang meninggal dan dua sisanya di Sulawesi Tenggara. Kelima korban tersebut adalah:
- Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO)
- Immawan Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO)
- Maulana Suryadi, pemuda asal Tanah Abang
- Bagus Putra Mahendra, pelajar
- Akbar Alamsyah, pelajar
Dari kelima korban yang meninggal tersebut, disebutkan penyebabnya ada yang ditembak polisi, mengalami kekerasan dari aparat, hingga terjatuh saat berusaha menghindari kejaran polisi.
Sementara itu, puluhan orang juga mengalami luka-luka ringan maupun berat akibat dari peristiwa kelam tersebut.
Saat demonstrasi terjadi, aparat kepolisian menggunakan cara-cara represif dalam meredam massa.
Sementara, seusai aksi itu berakhir, aparat justru kerap kali menuduh para pelaku demonstrasi dengan dugaan melanggar hukum.
Seharusnya, ketika aksi ricuh terjadi pihak aparat tetap mengedepankan kemanan dan keselamatan, bukannya malah melakukan tindakan fisik untuk memukul mundur massa.
Reformasi Dikorupsi pun menjadi rentetan dan bagian dari peristiwa September Hitam di Indonesia. Gerakan ini akan terus dikenang sebagai aksi terbesar sesudah reformasi 1998.