Sebelumnya, alangkah baiknya jika saya menegaskan terlebih dahulu kalau saya bukan termasuk orang Jakarta. Alasannya jelas. Saya tak punya darah Betawi, secara administratif tidak lahir atau berdomisili di Jakarta, dan saya tak cukup gaul atau fasih mengucapkan kata gue a.k.a gua seperti para pemuda Jakarta.
Saat saya mengucapkan kata “gue”, mungkin anda akan mendengar sebuah nada yang hampir sama,seperti ketika mas Anang Hermansyah mengucap kata “Aku” sebagai kata ganti penyebutan atas dirinya.
Sebagai warga negara dan daerah yang baik, kita memang harus (dipaksa) serba tahu tentang apa yang terjadi di ibukota. Saking banyak tahunya seputar ibukota, bahkan saya sendiri lebih akrab dengan kabar warga Kampung Pulo, Penjaringan, atau Kalijodo, daripada kabar warga di Kecamatan saya sendiri.
Pasalnya, segala hal tentang begitu banyak rupa Ibukota hampir tiap hari kita konsumsi dalam ragam bentuk pemberitaan arus media. Bagi warga daerah seperti saya, dilihat dari sudut pandang apapun, proporsi pemberitaan media nasional antara Ibukota dan daerah lainnya yang tak berimbang seringkali terasa membosankan.
Namun hal yang berbanding terbalik justru terjadi beberapa hari ini. Setidaknya menurut survei yang saya lakukan, dengan sampel tetangga samping rumah yang suara TV nya terdengar dari kamar saya. Masyarakat (baca: tetangga saya) justru lebih tertarik dengan berita yang berbau politik dan Jakarta.
Hal ini terlihat, eh terdengar, saat tayangan berita politik di salah satu stasiun TV terhenti oleh jeda iklan atau berita lain tentang bencana banjir bandang di Garut. Tetangga saya dengan sigap menggantinya pada saluran lain yang juga seputar politik dan Pilkada DKI. Padahal biasanya, saya dengar dengan telinga kepala saya sendiri, kalau tetangga saya itu lebih suka menonton acara ajang pencarian bakat dan juga sinetron penuh drama yang seolah-olah bermanfaat untuk diambil hikmahnya.
Bisa dimungkingkan, tetangga saya menganggap Pilkada DKI yang sebentar lagi akan dihelat adalah perpaduan ajang pencarian bakat dan sinetron yang menjadi hiburan murah juga menarik untuk ditonton. Hingga tanpa disadari dalam waktu yang singkat, dapat merubah tetangga saya menjadi pengamat politik dadakan. Dan disaat yang bersamaan saya berubah menjadi pengamat tetangga.
Daripada terus membicarakan tetangga dan saya bisa dituduh ghibah, lebih baik membicarakan diri sendiri saja. Karena hal yang terjadi pada tetangga itu ternyata juga saya rasakan sendiri. Belakangan, saya juga jadi lebih suka memarkir saluran TV secara bergantian di beberapa program berita. Padahal beberapa hari sebelumnya saya cukup eneg, ketika hampir semua saluran berita tak henti menyiarkan berita seputar “Kopi Sianida” yang miskin faedah.
Sekedar untuk diketahui, setelah menghadirkan drama yang cukup panjang dan membuat banyak orang penasaran, Persaingan Pilkada DKI resmi diikuti oleh 3 pasangan calon yang mendaftar.
Bukan main-main para pasangan yang diusung adalah pasangan dengan nama tenar penuh kejutan. Diantaranya adalah Ahok dan Djarot Sang Petahana yang diusung Golkar, Nasdem, Hanura dan (akhirnya) PDIP. Pasangan kedua adalah Trah Yudhoyono yang sering disebut Soo Jong Ki dari Indonesia oleh para penggemar drama Korea. Agus Harimurti Yudhoyono berpasangan dengan Sylviana Murni. Keduanya diusung kelompok hijau-biru: Demokrat, PPP, PAN dan PKB. Dan yang terakhir adalah pasangan ter-kalem, Anis Baswedan dan Sandiaga Uno, yang akhirnya dimajukan oleh duet terpanas abad ini, Gerindra dan PKS setelah melewati mekanisme tarik ulur yang panjang.
Ibarat sebuah film kontestasi Pilkada DKI 2017 adalah film mahal bertabur bintang yang mampu menyedot banyak animo masyarakat. Semacam Warkop DKI Reborn, dengan trio Vino, Tora dan Abimana.
Jika diibaratkan sebuah pertarungan, awalnya Pilkada DKI yang diprediksi hanya diikuti oleh 2 pasangan calon antara petahana dan penantang adalah sebuah pertarungan besar. Seperti pertarungan, Pacquaio melawan Mayweather, atau McGregor melawan John Cena, atau mungkin Juga MU melawan City (maaf ralat: MU dan City bukan termasuk tim besar, maksud saya Real Madrid melawan Barcelona).
Namun yang terjadi, pertarungan yang terjadi nyatanya akan diikuti oleh 3 bintang sehingga susah untuk dicarikan padanan. Jika boleh diibaratkan ulang, pertarungan yang akan terjadi mungkin akan lebih pas jika disamakan dengan pertempuran pelatih Top Dunia, di English Premiere League. Pertempuran pelatih bintang yang masih susah untuk diprediksi siapa pemenangnya. Walaupun dalam aspek hiburan, rasanya tanpa kehadiran Haji Lulung, Yusril, Wanita emas, dan Ahmad Dhani Pilkada Pertempuran terasa kurang menghibur dan semarak.
Jika kehadiran pelatih papan atas dunia, terbukti menaikan jumlah penonton di lapangan, di layar kaca dan nilai hak siar. Semoga kehadiran para calon gubernur dengan kualitas (ketenaran) papan atas juga tak sekedar menjadi hiburan murah untuk kami warga daerah. Minimal memberikan alternatif pilihan yang lebih banyak untuk pendukung fanatik dan kalangan kaum muda. Seperti kawan kontrakan saya, seorang pemuda Jakarta (yang tidak gaul) berinisial R dan Za yang memilih telah jalan Golput seumur hidupnya.
Buseet daah tong!